15 Desember 2008

Lanjutan Diskusi tentang Interpeace ALA (2)

Lanjutan Tulisan Bang Win Wan Nur tentang Interpeace ALA:

Makin lama saya membaca tulisan-tulisan serinen saya Kosasih, semakin banyak saya menemukan kesamaan antara kami. Saya dapat merasakan kecintaan serinen saya Kosasih yang bahkan tidak lahir dan tidak pernah menetap di Gayo ini terhadap Gayo. Meskipun secara ide besar, seperti Edhie Kelana, saya juga tetap tidak setuju dengan serien
Kosasih bahwa ALA bisa menjadi solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh orang Gayo.

Besarnya rasa cinta serinen Kosasih terhadap Gayo ini misalnya dapat dilihat dalam tulisan Kosasih yang mengomentari tulisan saya tentang Isu ALA di Konferensi Interpeace. Ada banyak alasan logis yang dikemukakan Kosasih mengenai pentingnya pembentukan ALA dan terus terang saya setuju dengan garis besar argumen serinen saya Kosasih secara garis besar, tapi bukan pada detail. Saya tidak setuju dengan detailnya karena seperti biasa data-data dan argumen yang dikemukakan oleh serinen Kosasih seringkali 'ngelantur' dan 'prematur' serta tidak berbasis fakta. Data-data dan argumen Yang diajukan serinen Kosasih saya sebut PREMATUR karena terlalu banyak faktor penting yang tidak diperhitungkan oleh serinen Kosasih ketika memaparkan impiannya.

Supaya serinen Kosasih tidak berprasangka kepada saya, perlu saya jelaskan kalau saya tidaklah sepenuhnya menolak ide pemisahan Provinsi. Saya sepenuhnya mengerti kalau pembentukan sebuah administrasi pemerintahan berdasarkan kelompok etnis adalah
kecenderungan dari setiap etnis manapun di dunia. Suatu etnis yang bisa mencapai tingkat peradaban (SDM) yang setara dengan etnis yang lebih besar yang menguasai wilayahnya memang cenderung untuk memisahkan diri. Contohnya bisa kita lihat dari seluruh negara di Eropa, selain Swiss, Belgia dan Luksemburg bisa dikatakan seluruh
negara eropa adalah 'etnostate'.

Sebagai orang Gayo, seperti yang saya ulas dalam tulisan saya tentang Konferensi Interpeace. Sayapun mengakui adanya rasa tertekan sebagai minoritas. Ada tekanan, ada represi dan ada arogansi suku Aceh yang ditujukan terhadap kita suku Gayo dan suku-suku minoritas lainnya. Dan terus terang pula seandainya ide tentang ALA seperti yang serinen dukung itu diajukan dengan konsep yang rasional dan matang. Saya
sendiri akan berdiri bersama serinen di barisan terdepan untuk memperjuangkan terbentuknya provinsi impian ini.

Saya menolak ide pembentukan ALA adalah karena saya sepenuhnya sependapat dengan Tengku Ali Jadun yang sempat saya wawancarai di rumah beliau saat saya berada di Takengan beberapa waktu yang lalu. Kami berdua memiliki pandangan yang persis sama tentang ALA ini. Kalaupun harus pisah Tengku Ali Jadun dan juga saya menginginkan
pisahnya Gayo dengan Aceh itu adalah pisah yang seperti istilah yang diungkapkan oleh Tengku Ali Jadun, pisahnya adalah pisah 'JAWE' bukan pisah 'CERE'.

Ada perbedaan besar dalam dua cara berpisah ini, serinen.

JAWE adalah pisah dengan alasan rasional, JAWE adalah pisah yang merupakan keharusan untuk mencapai kemandirian. Kalau pisah dengan cara JAWE maka apa yang Serinen Kosasih sampaikan seperti "SDM Gayo akan maju, baik dengan cara transfer knowledge dengan pihak luar, memperkuat pendidikan, membangun budaya lokal. Yang terpenting adalah SDA dataran tinggi Gayo bisa dikelola penuh oleh orang Gayo dan dipergunakan untuk kemashalatan orang Gayo" . Akan bisa kita capai.

Sebaliknya dengan CERE, ini adalah cara berpisah yang EMOSIONAL, perpisahan model ini hampir selalu meninggalkan rasa sakit dan permusuhan. Pisah dengan cara seperti ini disamping menghabiskan energi di masa pembentukan, sampai kapanpun kita bakal terus dihantui permasalahan kebencian dan permusuhan. Alih-alih membangun SDM Gayo
yang maju, pisah dengan cara ini akan membuat kita orang Gayo akan terus ribut sesama kita sendiri di dalam dan dimusuhi oleh etnis Aceh di luar.

Akan ada banyak permasalahan sosial rumit yang akan terjadi kalau serinen tetap berkeras tetap membentuk ALA secara emosional.

Diantaranya coba saya uraikan :

Benar kalau ALA terbentuk orang Gayo bisa melepaskan ketergantungan dari Aceh dengan lebih berafiliasi ke Medan. Tapi bagaimana nasib lebih dari 6000 Orang Gayo yang tinggal di Banda Aceh?, apakah mereka akan serinen biarkan sebagai tumbal untuk dijadikan sasaran kemarahan dan bulan-bulanan orang Aceh atas pilihan PISAH serinen yang emosional itu?. Apakah untuk itu supaya tidak dijadikan tumbal solusinya mereka
harus serinen pindahkan secara massal ke Medan atau sekalian ke Takengen dan Redelong?.

Kemudian pertanyaannya lagi apakah dengan dipindahkan itu mereka itu semuanya akan merasa nyaman dengan suasana Medan yang rasis dan barbar?. Pertanyaan ini perlu saya ajukan karena selama saya berada di Banda Aceh ini saya menemui banyak sekali orang Gayo yang sudah merasa nyaman berbaur dengan Orang Aceh dan merasa nyaman berada dalam relasi sosial yang setara secara individu.

Seiring dengan mencuatnya isu ALA yang dipropagandakan dengan nada-nada penuh kebencian seperti yang serinen lakukan ini. Banyak diantara 6000-an orang Gayo ini yang merasa sangat terganggu relasi sosialnya dengan rekan-rekan etnis Aceh yang merupakan teman bergaul mereka sehari-hari.

Permasalahan seperti ini yang saya lihat sama sekali tidak ada sedikitpun dijadikan bahan pertimbangan oleh serinen dan pendukung ALA lainnya yang mengaku sebagai intelektual Gayo dalam mengambil sebuah tindakan. Kalau saya, saya bisa memaklumi alasannya, itu karena serinen dan rekan-rekan pendukung ALA yang mengaku intelek lainnya hampir semuanya berbasis pendidikan tinggi di luar Aceh. Jadi serinen dan pendukung ALA lainnya sama sekali tidak bisa merasakan permasalahan orang Gayo yang sehari-harinya tinggal dan bergaul dalam komunitas besar etnis Aceh.

Cuma masalahnya tidak semua orang bisa memaklumi dan mengerti latar belakang orang seperti serinen dan para pendukung ALA lainnya. Sekarang ada indikasi orang Aceh menganggap stereotip Orang Gayo adalah yang seperti serinen itu. Dan saya lihat dari
postingan-postingan serinen selama ini. Stereotip bahwa Orang Gayo adalah orang yang seperti KOSASIH inilah yang ingin serinen bangun. Belakangan ini pula saya melihat ada kesan dan opini yang ingin diciptakankan bahwa Orang Gayo hanya bisa disebut intelek kalau dia mendukung ALA (menempuh pendidikan tinggi di luar Aceh).

Padahal faktanya ada banyak orang Gayo yang juga memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Bukan cuma serinen dan orang-orang Gayo yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi di luar Aceh. Ada ribuan orang Gayo yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi di Aceh. Dan bisa saya pastikan tingkat intelektual mereka tidak lebih rendah dibandingkan tingkat intelektual serinen dan pendukung ALA lainnya yang mendapatkan pendidikan tinggi di luar Aceh. Dan merekapun tidak sama seperti Stereotip Orang Gayo yang sedang serinen bangun. Dan mereka juga merasakan permasalahan yang sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan serinen itu.

Pertanyaan lain, jika ALA serinen bentuk secara emosional begini, salah satunya karena seperti serinen Kosasih yang sangat membenci GAM. Lalu kalau bagaimana dengan nasib orang Gayo yang secara kultural adalah pendukung setia GAM. FAKTA, ada beberapa kampung di Gayo yang selama konflik dimasukkan ke dalam daftar hitam. Bahkan sebelum ALA terbentukpun ketika Bener Meriah dikomandani seorang Bupati yang merupakan Ikon perjuangan ALA. Orang-orang Gayo di kampung ini sudah merasa sangat tertekan dan merasa dianak tirikan. Lalu, kalau provinsi ALA yang sangat anti GAM nantinya terbentuk bagaimana nasib orang-orang yang tinggal di kampung ini?. Apakah kalau ALA yang sangat anti GAM ini terbentuk orang seperti serinen Kosasih yang lahir
dan besar di Jawa akan mengusir mereka dari Tanoh Gayo, dari kampung halaman mereka tempat mereka dan seluruh nenek moyang mereka tinggal turun temurun?.

Atau apakah oleh serinen Kosasih yang lahir dan besar diJawa serta tidak pernah menetap di Tanoh Gayo ini. Mereka yang hidup dan mencari nafkah di Gayo ini akan kembali diperlakukan seperti di masa konflik dulu? dijemput satu persatu dari rumah dan dihari berikutnya disuruh diambil oleh sanak keluarga mereka dalam kondisi tubuh babak belur, kadang tercabik-cabik dan sudah menjadi mayat?.

Lalu bagaimana pula kalau mereka resisten, tidak bersedia dengan ikhlas dijemput paksa begitu saja tanpa perlawanan dan kemudian meminta bantuan ke Aceh, mempersenjatai diri dan kemudian menyerang balik Orang Gayo pendukung ALA atau orang Jawa?. Detail-detail berdasarkan fakta nyata seperti ini tidak pernah sama sekali saya lihat dipikirkan oleh semua 'pejuang' ALA yang mengaku intelek.

Kalau ALA dibentuk dengan cara penuh kebencian seperti yang serinen promosikan sekarang ini, yang saya khawatirkan serinen. Bukannya impian serinen tentang Gayo yang sejahtera, Gayo yang makmur dan impian muluk lainnya yang kita dapatkan. Tapi justru PERANG BODOH yang tidak berkesudahan.

Karena itulah serinen, saya dalam kapasitas saya sebagai ketua Forum Pemuda Peduli Gayo, yang dari nama forumnya saja ada kata PEDULI. Yang artinya forum ini kami bentuk karena kepedulian kami terhadap Gayo. Apa yang kami perjuangkan adalah sesuatu yang membawa kemaslahatan bagi orang Gayo. Bukan yang membawa kemudharatan.

Jadi kembali sebagai kesimpulan akhir tulisan saya yang panjang dan bisa jadi membosankan bagi sebagain orang ini. Sebagai orang yang PEDULI Gayo, saya bukanlah sepenuhnya dalam posisi menolak pembentukan Provinsi baru yang akan bisa mengakomodir kepentingan seluruh orang Gayo.

Jika serinenku yang lahir dan besar diJawa serta tidak pernah menetap di Tanoh Gayo ini melihat sampai sejauh ini saya tidak sepakat dengan ide pembentukan ALA. Perlu serinenku yang lahir dan besar diJawa serta tidak pernah menetap di Tanoh Gayo ketahui, itu adalah karena SAYA YANG LAHIR, BESAR, TUMBUH, MENGALAMI DAN MERASAKAN SENDIRI APA YANG TERJADI DI TANOH GAYO melihat ada banyak resiko yang tidak perlu yang akan terjadi kalau Provinsi yang serinen cita-citakan ini dibentuk SEKARANG.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare. blogspot. com

NB : Sedikit koreksi buat serinen Kosasih, Kosovo bukan bagian dari Rusia tapi Sebia, secara geografis itu sangat jauh serinen. Poso itu di Sulawesi bukan di Philipina. Yang di Philiphina itu MORO, bukan di Thailand. Betul di Thailand juga ada konflik di provinsi-provinsi selatan yang berbasis Melayu, seperti Pattani, Narathiwat dan Yala.

Tapi konflik di Thailand itu tidak sepenuhnya berbasis agama melainkan wilayah. Tiga Provinsi di selatan Thailand yang saya sebutkan di atas secara kultural dan sejarah merupakan bagian dari Malaysia. Putra Mahkota kerajaan Pattani bernama Tengku Ismail Denudom yang sekarang tinggal di pengasingan dalam suatu bincang-bincang saat makan siang pernah mengatakan kepada saya kalau di Pattani, selain melayu muslim juga ada sekelompok suku Melayu Tua yang bukan muslim yang juga ikut bergabung dengan Melayu muslim Pattani menuntut pemisahan dari Thailand. Jadi bukan hanya Melayu yang islam yang ingin memisahkan diri.

Di Thailand, juga ada sebuah provinsi di Selatan bernama Songkla yang juga bekas kerajaan melayu dan sampai sekarang tatap dihuni oleh mayoritas Melayu-muslim yang tidak ikut dalam tuntutan memisahkan diri ini. Itu terjadi karena memang secara kultural dan sejarah mereka bukan bagian dari Malaysia. Padahal jumlah penduduk melayu-muslim di provinsi ini lebih besar dibandingkan Narathiwat dan Yala.

Kalau dikaitkan dengan konflik antara muslim dan penduduk non-muslim, benar Aceh tidak bisa disamakan dengan Kashmir, Chechnya, Moro. Tapi kalau isunya negara mayoritas Islam dan penduduk islam, Aceh juga tidak bisa serinen samakan dengan pemberontakan Tamil di Sri Lanka. Karena ada dua masalah di sana, pertama Tamil yang ingin memisahkan diri dari Sri Lanka bukan Islam, Kedua pemberontakan Macan Tamil
itupun seperti Chechnya, Isu utamanya perbedaan agama dan budaya antara Tamil yang Hindu dengan Sri lanka yang Buddha.

Kalau konteksnya pemberontakan wilayah islam terhadap negara yang berpenduduk mayoritas Islam juga, Aceh bisa serinen kaitkan dengan Ide pemisahan diri Kurdi dari Irak dan Turki atau pemberontakan kelompok-kelompok mujahiddin di Afghanistan. Serta
pemberontakan- pemberontakan lain di Kazakhtan, Uzbekistan dan negara-negara Asia Tengah lainnya.

Jawaban Kosasih Bakar:

Pemulo berijin aku sawahen ku Bang Win Wan Nur atas koreksian ne, gelah tulisen aku si gere semperne ni mujadi lebih sempurne. Ike salah turah I peren salah, ike benar turah I peren benar. Ini turah mujadi peraturen te berdikusi.

Gere sepakat antara kite oya biasa we Bang Win Wan Nur, si paling penting sara, tujuante mubangun tanoh gayon te. Beribu maaf pe tangkuh ari tulisenku karena aku peg ere we ilen sepakatmengenai ALA ken Serinen.

Mengenai data yang menurut Bang Win Wan Nur masih ‘ngelantur’ atau ‘prematur’, tidak sepenuhnya saya bisa mengakuinya, karena sepertinya saya tidak mengungkapkan data yang real, saya hanya mencoba mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang Serinen setujui. Alasan saya tidak menampilkan data real karena saya mengetahui bahwa saya belum mendapatkan data yang betul dengan sebetul-betulnya. Walau demikian saya sudah mendapatkan beberapa data tentang Aceh dengan sebenarnya dari buku “Beranda Perdamaian, Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinky”, banyak data dan pemikiran yang kiranya bisa dijadikan rujukan dalam diskusi kita ke depan.

Ketika Bang Win Wan Nur mengatakan tidak setuju dengan pemekaran ALA akan tetapi Bang Win Wan Nur setuju dengan kemajuan yang dicapai melalui persukuan atau 'etnostate' menurut serinen. Begitu juga ketika Bang Win Wan Nur mengatakan bahwa antara Aceh dan Gayo itu bukan di ‘cere’ akan tetapi di ‘jawe’. Menurut kesimpulan saya Serinen menyatakan setuju akan tetapi dengan sebuah persayaratan.

Kemudian persayaratan- persayaratan tersebut lantas di uraikan oleh Bang Win Wan Nur dalam beberapa alenia.

Sebelum saya menjawabnya, satu hal yang menurut saya penting untuk dijadikan sebagai prinsip dasar kita dalam memperjuangkan orang Gayo, yaitu menghargai perbedaan yang ada, menghargai setiap sejarah urang Gayo, menghargai adat dan marwah orang Gayo.

Bang Win Wan Nur saya mengerti maksud Abang, perpisahan yang diperjuangkan adalah dengan sebuah perdamaian, dengan sebuah hujjah, dengan sebuah pendekatan secara cultural.

Sebelum saya menjawabnya saya akan sedikit bercerita tentang Sejarah Gayo, Kekeberen, sebuah sejarah yang terkadang dilupakan oleh anak cucu kita, sebuah sejarah yang dianggap dongeng belaka tanpa mau melihat ada beberapa kebenaran yang ada disana. Dalam kekeberen tersebut terungkap bahwa Reje-Reje Gayo dan keturunannya berhasil menjadi Raja Pase yang pertama, menjadi Raja Aceh yang pertama sekaligus menjadi Raja Linge yang pertama, bahkan menjadi Raja-raja di daerah Pesisir Barat dan Selatan.

Salah satu hal yang menyebabkan orang Gayo bisa menguasai pesisir utara Sumatera ini adalah sebuah ketegasan, dan ketika kita belajar sejarah maka kita akan menemukan bahwa dalam kepemimpinannya Sultan-Sultan Kutereje bersifat tegas dengan menggunakan pendekatan Agama Islam. Itu juga yang terjadi ketika masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda atau sebelumnya Sultan Ali Mugayat Syah Al Kahhar, mereka keras dalam menegakkan syariat Islam, banyak kisah atau sejarah yang bisa kita dapatkan dari buku sejarah.

Kenapa saya mengungkapkan ini, saya ingin mengatakan bahwa untuk berhadapan dengan orang Aceh ini perlu sebuah ketegasan-ketegasan , perlu sebuah prinsip, perlu sebuah jati diri. Bukan lantas menjadi lemah, menjadi amat tergantung, menjadi ‘pegeson’.

Bang Win Wan Nur sudah 30 tahun rakyat Aceh dalam PERANG BODOH ini dengan alasan untuk mencapai seperti 30 tahun ZAMAN KEEMASAN SULTAN ISKADAR MUDA,belum cukupkan korban bagi Bang Win Wan Nur ? Tidakkah Serinen merasa takut akan penerus kita yang dalam pikirannya hanya ada PERANG BODOH dengan segala dampaknya.

Sebagai klarifikasi kepada Bang Win Wan Nur bahwa saya tidak pernah mengatakan bahwa Aceh adalah musuh yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini, saya hanya tidak menyukai GAM yang telah mengorbankan puluhan ribu rakyat Aceh hanya karena mengatakan ingin membebaskan diri dari Penjajah Indon –Jawa. Menurut saya ini amat tidak pantas, karena orang Aceh tidak pernah membenci suku manapun, ketika zaman Iskandar Muda di Kutereje ada sebuah Kampung Jawa. Dengan alasan itu pula mereka melakukan pembunuhan-pembunuh an terhadap orang-orang Jawa di Gayo, Aceh Barat dan Aceh Selatan, saya rasa tidak perlu saya ungkapkan satu persatu tempatnya.

Atau ketika TNI juga melakukan hal yang sama dengan membunuh orang-orang Aceh yang dianggap GAM atau mata-mata, seperti juga halnya dengan GAM membunuh TNI atau mata-mata TNI.

Bang Win Wan Nur dalam berbagai tulisan saya mengatakan bahwa sampai kapanpun Aceh tidak akan pernah merdeka selama tujuan mereka hanya untuk kepentingan golongan, bukan kepentingan untuk menegakkan Agama Allah atau melawan kuffar.

Bahkan Bang Win Wan Nur, salahkah saya ketika mengatakan bahwa TNI itu adalah orang luar, orang yang bertugas menjaga daerahnya ketika ada pemberotakkan disana. Salahkah GAM disebut dengan Pemberontak ? Ketika Daud Beureuh dan seluruh rakyat Aceh menyatakan bersatu dengan NKRI lantas kemudian Hasan Tiro melakukan pemberontakkan dengan konsep yang salah. Tidak kah Hasan Tiro pernah berpikir berapa banyak Tengku yang menjadi korban dari peta konflik yang dibuat oleh Soeharto dan LB Moerdani.

Ketika Soekarno menangis, ia menangisi mengapa Aceh bisa sedemikian merdeka ketika Indoensia selalu dalam penjajahan. Ketika Megawati menangis, ia menangisi rakyat Aceh yang menjadi korban Perang ini. Ketika Megawati memberikan DOM, maka ia memberikannya kepada GAM. Siapa yang salah Bang ? Siapa ? Megawatikah ? GAM kah ? Atau semuanya adalah ego dengan mengorbankan rakyat Aceh.

Bang, saya tidak pernah membenci saudara-saudara kita yang berasal dari Aceh yang berdagang, bertani, berkebun di Tanoh Gayo. Bahkan saya juga seringkali mengatakan bahwa banyak dari saudara saya yang menikah dengan orang Aceh, saya tidak membenci mereka sedikitpun.

Tulisan pembuka dalam blog saya mengisahkan bahwa seorang manusia tidak pernah tahu ia akan lahir dari rahim siapa, dari rahim ibu yang bersuku Jawa, dari rahim ibu yang bersuku-suku di Aceh atau dari rahim ibu yang bersuku Gayo. Namun demikian saya juga mengatakan bahwa perbedaan itu adalah rahmat dari Allah SWT, perbedaan itu yang akan membuat kita saling mengenal, perbedaan itu yang akan membuat kita menjadi satu. Dengan catatan kita harus menghargai perbedaan tersebut, dengan catatan kita tidak berupaya menyatukan dengan pemaksaan-pemaksaan . Seperti yang Bang Win Wan Nur katakan dengan Cere dan Jawe.

Mengenai persoalan rumit yang Bang Win Wan Nur ungkapkan adalah sebuah ketakutan yang tidak pada tempatnya, dan ini pulalah yang dahulu menjadi bahan diskusi awal kita, hanya kali ini Serinen menambahkan data-data dalam tulisannya.

Abangku, Serinenku, ketika bang mengungkapkan bahwa sebanyak 6000 orang Gayo yang tinggal di Banda Aceh dalam bahaya, atau dikatakan tumbal itu menjadi tidak benar. Karena tidak mungkin sekian ribu orang kemudian akan merubah sekian ratusribu orang di Banda Aceh. Minoritas itu tidak akan menjadi tumbal dalam pemekaran ini. Saya yakin itu, karena mereka sudah lama bertempat tinggal disana dan bergaul di sana.

Namun apakah Abang pernah memikirkan puluhan ribu orang Gayo yang tinggal di ALA, yang selama ini dalam keadaan tertekan sehingga kehilangan segenap potensinya menjadi orang yang pintar, cerdas, dan mampu menjadi yang terbaik.

Pernahkan Abang berpikir dengan pola perjuangan GAM yang begitu membenci orang Jawa, sehingga orang Jawa yang tinggal di Gayo akan ketar-ketir, padahal begitu banyak saudara kita yang sudah menikah dengan orang Jawa, bahkan jumlah penduduk antara Gayo dan Jawa sekarang sudah hampir sama. Tidakkah Abang takut dengan konflik horizontal yang akan terjadi jika Jawa kemudian diusir orang Aceh, akan tetapi tetap di bela orang Gayo.

Ketakutan serinen sepertinya tidak menjadi rasional, karena puluhan ribu orang Aceh dan 6000 orang Gayo yang sudah hidup bersama sudah barang tentu tidak akan kemudian menjadi bertempur dengan adanya ALA. Begitu juga dengan puluhan ribu orang Gayo yang sudah berpadu dengan puluhan ribu Jawa ditambah dengan ribuan Aceh tidak akan mungkin berperang bila tidak ada yang memprovokasi mereka.

Nah, yang menjadi permasalahannya adalah orang yang memprovokasi tersebut, dan selama ini yang menyebut-nyebutnya adalah Gerakan Aceh Merdeka atau GAM yang tidak setuju dengan pemekaran hanya karena kepentingan golongan atau isu kejayaan masa lalu yang semu.

Bang Win Wan Nur yang saya hormati, apakah salah ketika saya sebagai orang Gayo mengeluarkan apa yang selama ini ada pda hati orang Gayo, yang sudah muak dengan PERANG BODOH, apakah salah saya mengankat harkat dan martabat orang Gayo dengan marwahnya, apakah salah saya mengatakan bahwa orang Gayo itu bukan Pegeson atau suku yang bisa terus diinjak dan dikatakan sebagai suku terkebelakang. Apakah salah ?

Anda salah kalau mengatakan yang mendukung ALA itu hanya kaum intelek saja, yang mendukung ALA ini adalah para milisi korban PERANG BODOH, yang mendukung ALA ini adalah para Petani yang tidak bisa bertani dan berkebun lagi, yang mendukung ALA ini adalah pemuda dan anak-anak yang marah karena kampong halamannya yang selalu dinistakan dan dihina, yang mendukung ALA ini adalah anak-anak muda yang sudah sangat kasihan melihat Gayo hancur dalam tekanan, yang mendukung ALA adalah wanita-wanita yang kasihan melihat anaknya tidak mendapatkan pendidikan yang baik. Kaum intelek seperti kami hanya bisa menulis di mailing list ini, mengungkapkan apa yang dirasakan mereka yang selama ini terdiam, menceritakan kegundahan mereka yang selama ini diam.

Serinenku Win Wan Nur, Win yang selalu di dalam cahaya Allah, takutkan kau hidup sebagai orang Gayo? Malukah kau hidup sebagai orang Gayo? Banggakah kau hidup sebagai orang Gayo? Kami tidak pernah meragukan intelektualitas dari serinen-serinen kami di Banda Aceh, kami hanya menyesalkan pola pikir mereka yang tidak mendukung ALA.

Apakah karena mereka sudah lama tinggal tinggal di Gayo, sudah lama peninggalkan tanoh datunya lantas ia merasa bahwa telah berhutang kepada orang Aceh untuk kemudian menjual tanah muyang datunya dengan harga yang teramat murah.

Janganlah kau jual tanah kami ini dengan harga murah, dengan harga engkau mendapatkan harta di sana, mendapatkan rumah disana, mendapatkan beasiswa disana, tapi tolong berpikir sebagai rakyat Gayo yang ada di tanoh Gayo, bukan seperti rakyat Gayo yang berada di Aceh. Jangan lagi rakyat Gayo ini menjadi melempem kembali, kembali tertekan, potensi akal pikiran yang sering dikatakan sebagai manusia pilihan Aceh kini menjadi manusia yang selalu dalam tekanan.

Serinenku Win Wan Nur, Win yang selalu dalam cahaya Allah, ALA adalah untuk kemashalatan rakyat Gayo yang ada di Gayo, jadi ketika Engkau sedang menuntut ilmu, sedang merantau, maka bantulah rakyat Gayo ni dengan tulus dan ikhklas.

Bang Win Wan Nur, salahkan rakyat Gayo membenci GAM? Salahkah orang Jawa membenci GAM? Apa yang mereka perjuangkan MoU Helsinky hanya untuk anggota GAM ? Apa yang bisa diharapkan, hanya orang-orang mantan combatan yang banyak tida berpendidikan dan tidak mempunyai keterampilan hidup. Apa yang bisa dilindungi, hanya intelektual yang begitu bangga dengan Acehnya tapi begitu membenci Jawa, sehingga pikiran mereka menjadi begitu rendah dan picik.

Nah, ketika ada Kampung di Gayo yang GAM, silahkan saja, namun tentu mereka mengerti resikonya. Begitu juga ketika ALA mau lepas dari NAD, tentu kami tahu resikonya bukan. Peperangan, intimidasi, kecemburuan, dan lain sebagainya. Yang paling penting adalah bagaimana mereka membawa diri, karena mereka tidak berpihak kepada NKRI.

Selain itu Serinen, seharusnya perlu anda ceritakan juga kepada seluruh dunia bahwa GAM juga banyak membunuh rakyat Aceh, ceritakan juga bahwa di NAD itu tidak semuanya mendukung GAM, katakana juga bahwa GAM itu merupakan minoritas yang bersenjata, menggunakan senjatanya untuk mencari dukungan, dengan ancaman. Jangan lupa juga katakana bahwa ternyata ALA dan ABBAS itu aspirasi rakyat bawah yang sudah muak dengan PERANG BODOH, bukan karena keinginan segelintir elit.

Sekali lagi Serinen, nasib mereka sudah tentu akan baik, kami bukan pemakan daging manusia, kami bangsa yang beradab. Adat istiadat kami sangat tinggi. Sudah tentu mereka akan hidup dengan bahagia setelah ALA lahir. Anak-anak mereka akan tenang bersekolah dari pikiran PERANG BODOH.

Serinen Win Wan Nur, Pemuda yang selalu dalam cahaya Allah, saya memang besar di Jawa tapi saya sering ke Takengon dan kerap kali mengikuti berita di sana. Seperti juga hanya Bang Win Wan Nur yang baru saja tiba di Takengon setelah bertahun-tahun lamanya tinggal di negeri orang yang merantau.

Bang Win Wan Nur tampaknya terlalu menganggap rendah budaya kami, sepertinya anda terlalu picik dengan budaya kami. Kami bukan suku pemberontak, kami termasuk suku yang diam bila tidak diganggu. Namun ketika kami diganggu maka kami akan lebih buas dari binatang yang paling buas sekalipun.

Lihatlah adat istiadat kami, mungkinkah kami dapat berbuat itu ? Jangan lah terlalu melebih-lebihkan.

Anda begitu bangga mengatakan lahir, besar, tumbuh, mengalami dan merasakan sendiri apa yang terjadi di tanoh Gayo. Tapi anda melupakan bahwa anda telah PULUHAN TAHUN meninggalkan tanoh Gayo, dan SEPERTINYA ABANG TIDAK TAHU PERSIS SESUNGGUHNYA APA YANG TERJADI SEKARANG BILA ALA TIDAK SECEPATNYA MENJADI PROVINSI.

Baiklah, saya akan menceritakan sedikit bila ALA tidak segera terbentuk.

Sesungguhnya perdamaian di NAD ini masih bisa dikatakan semu, karena masing-masing pihak sedang mempersiapkan senajatanya masing-masing. Permasalahan utamanya adalah Keamanan, ketika dana BRR habis untuk membayar tunjangan bagi anggota GAM, Pemilu 2009, Partai Lokal seperti Partai ACEH, Partai SIRA dan Partai Rakyat Aceh mengalami kekalahan. Maka yang terjadi adalah instabilisasi kembali. Peperangan kembali. Hal ini dipicu oleh mantan anggota GAM yang tidak punya pendidikan dan keterampilan, karena hanya pandai membunuh dan mengangkat senjata, mereka akan kembali ke hutan. Dalam keadaan demikian peperangan akan berkobar untuk tebas habis anggota GAM.

Belum lagi dengan adanya prediksi Partai Lokal Menang maka yang akan terjadi adalah gejolak di Aceh yang berimbas kepada Gayo. Sebagian dari GAM menginginkan tetap Aceh Merdeka, yaitu dengan cara menguasai Pimpinan Daerah, menguasai legislative dengan Partai Lokalnya, kemudian mendeklarasikan Kemerdekaan. Pernyataan ini sudah barang tentu tidak sesuai dengan MoU Helsinky,namun demikian GAM telah megatakan bahwa bila ada persoalan maka aka dibawa ke Uni Eropa danAustralia, pertempuran kembali terjadi yang kemudian berimbas kepada Gayo. Bahkan Gayolah dan Jawa yang terlebih dahulu melakukan kekacauan bila ini terjadi.

Aceh aman bersama Gayo, namun masih ada ketakutan kami disni, sekali lagi saya katakana bahwa Gayo SDA nya akan diambil alih hanya untuk kepentingan yang belum tentu ada ujungnya.

Pemarin ku Abang Wan Win Nur si kuhormati, mari ini ike nguk si kite diskusinen kune carae kite membangun tanoh Gayo ni.

NB : Tolong jangan samakan Aceh dengan Afganistan, karena perjuangan Aceh ini tidak punya konsep yang jelas. Afganistan hanya berotak kepada Penjajah USA dan URRS serta boneka-boneka mereka. Perjuanga Taliban juga jelas untuk menegakkan kalimah Allah, buka mencari kekayaan dari MoU Helsinky. Sedangkan perang ashobiyah lainnya silahkan saja, karena itulah konsep PERANG BODOH yang dilaknat Allah.

13 Desember 2008

Kekeberen Gayo Ver Bahasa Indonesia

Sejarah Gayô Berdasarkan “Kekeberen”

Kekeberen merupakan bahasa Gayô yang berarti berita-berita atau cerita turun menurun, sama halnya dengan hikayat Pase atau Hikayat Aceh. Perbedaannya hanyalah orang Gayô lebih suka menggunakan metode ini kepada anak cucunya untuk mengingatkan sejarah dari masa lalu mereka, berbentuk lisan

Kekeberen ini berasal wawancara dengan Tengku Ilye Lebee, yang juga bila didengarkan ucapan dari Beliau mengambil bahan dari A. Djamil seorang Sejarawan Gayô dan Acih.

Dalam cerita ini ada cerita yang sedikit mistis akan tetapi ini lebih merupakan kepada sebuah perumpamaan. Seperti ketika mereka berubah dikutuk menjadi batu, maka ini bisa jadi merupakan perumpaan adanya sebuah pertikaian yang menyebabkan terjadi saling bunuh. Oleh karena itu, sebenarnya terdapat kebenaran disitu.

Dalam kekeberen ini diceritakan 2 Kerajaan yang merupakan asal dari Gayô yaitu Kerajaan Lingë dan Kerajaan Malik Ishaq. Kerajaan Lingë berdiri pada abad ke 10, sedangkan Kerajaan Malik Ishaq pada saat adanya Kerajaan Pérlak (abad ke 8 s.d. 12 M) dan Sri Wijaya (abad ke 6 s.d. 13, sedangkan masa kejatuhannya pada abad 12 M atau 13 M)

Asal Mula Kata Gayô

Ketika akhirnya diketemukan Merah Mege pada saat itu di Luyang datu terucap kata-kata Sansekerta yaitu Dirgahayu, kemudian dilafazkan menjadi DirGayô = Sehat Walafiat, ini semua terucap karena Mérah Mégé berhasil selamat walau sudah lama di Loyang Datu tadi.

Atau ada lagi yang mengisahkan bahwa kata-kata Gayô berasal dari sebutan sebuah daerah yang penuh dengan gerep (Kepiting). Sewaktu masyarakat membawa-bawa Depik mereka selalu mengatakan akan ke Gayô, berjangkat ke Isak, owak, Blang Kéjérn. Bertemu dengan orang Rikit, saya dari Pegayôn. Begitu juga ketika Kuté Bélang masih belum diketemukan, didapat akhirnya dibelakang kampung toran, ada satu paya (payau) yang hidup gerep (kepiting), dalam bahasa Gayô sedangkan bahasa Karônya Gayô. Waktu itu ada sebuah budaya bahwa sebutan Gayô penting buat Karô, begitu pula sebaliknya. Seperti jug sebutan untuk orang Karô bahwa di kuté panyang (Kuté panjang) ada pertempuran antara orang Gayô dan Karô karena tidak mau masuk kedalam Islam. Karena lari maka disebut dengan Karô, yang berarti Kejar atau buru dalam Basa Gayô.

Ada sejarah Aceh, bahwa orang Gayô berasal dari Kayô atau mutérih, takut masuk ke agama Islam, maka lari ke gunung. Ini tidak benar, karena yang pertama kali Islam adalah orang Gayô. Sedangkan yang tidak masuk Islam ada kemungkinan ada sebuauh nama yang bernama marga Ginting Pasé terasing dan tidak ada hubungan dengan yang lain. Ada kemungkinan ini adalah ini berasal dari keturunan Lingë.

Kerajaan Lingë

Kerajaan Lingë berasal dari Kerajaan Rum atau Turki, asal kata Lingë berasal dari bahasa Gayô yang berarti Léng Ngé yang artinya suara yang terdengar. Raja Lingë I ini beragama Islam bernama Réjé Genali atau Tengku Kawe Tepat (Pancing yang lurus dalam bahasa Acih) atau Tengku Kik Bétul (pancing yang lurus dalam Bahasa Gayô).

Agama Islam yang dianut bisa dililhat dari bendera Kerajaan Lingë tersebut, dimana ada Syahadat di atas benderanya dan di bawahnya bernama 4 sahabat nabi, sedangkan warnanya belum diketahui karena sudah kusam, antara merah dan putih (bendera ini masih bisa dilihat dan disimpan di daerah Karô, sebagai pusaka dari anak salah satu Raja Lingë yang pergi ke Karô).

Raja Lingë mempunyai 4 anak, 3 laki-laki dan satu perempuan. seorang perempuan bernama Datu Beru, dan ketiga anak laki-lakinya bernama Djohan Syah, Ali Syah dan Malam Syah.

Ketika besar khusus anak laki-lakinya akan disunat seperti halnya ajaran Islam, anak yang ke-3 bernama Ali Syah tidak bisa disunat karena kemaluannya tidak dimakan pisau. Hal ini tentu saja membuat malu. Hal ini menyebabkan ia meminta ijin kepada Raja Lingë untuk pergi ke daerah Karô.

Walau pada mulanya Raja tidak mengijinkan namun akhirnya dengan berat hati sebelum kepergian mereka dibagikan pusaka untuk anak laki-lakinya yaitu Kôrô Gônôk, Bawar, Tumak Mujangut, Mérnu dan élém (Bendera Pusaka). Sedangkan Datu Béru memegang kunci khajanah Kerajaan Lingë.

Ali Syah, anak ke-3 Raja Lingë I

Ali Syah bersama rombongan berangkat menuju Karô menuju daerah yang disebut Blang Munté. Pada daerah tersebut Ali Syah bersama rombongannya memutuskan untuk berhenti dan menetapkan bahwa tempat itu sebagai tempat ia terakhir bersama rombongan.

Tinggallah Ali Syah seorang diri selama berbulan-bulan tinggal disitu, dalam sebuah kesempatan ketika kemudian mencari ikan di Uih Kul Renul, bertemu dengan gadis dan bujang sedang menyekot (mencari ika) yang kemdian diketahui berasal dari negeri Pak-Pak. kemudian menjadi teman dan bergaul, akhirnya menikah dengan beberu pak-pak tersebut sampai berketurunan. Ali Syah pun akhirnya belajar bahasa dan hidup disana.

Terdapat sebuah kisah yang menarik yaitu ketika suatu saat Bélah dari Ali Syah yang sudah tua tersebut akan pergi bersawah yang sebelumnya diadakan kenduri (dinamai kenduri Mergang merdem). Acara kenduri tersebut diadakan agak jauh dari tempat Ali Syah tinggal sehingga keturunannya atau cucunya ditugaskan untuk memberikan nasi beserta ikan kepadanya. Ternyata ketika sampai di sana didapatinya ikannya hanya tinggal tulang belulang saja karena telah dihabisi oleh anak cucunya, mendengar ini ia amat murka dan mengutuk semua (kélém-lémén) anak cucu keturunannya menjadi batu semua, semua nya masih bisa dilihat buktinya disana di Blang Munté perbatasan Karô dan Alas.

Namun, ternyata ada yang lolos dari kutukkannya seorang aman mayak (pengantin Pria), inén mayak (Pengantin Wanita) yang sedang hamil dan satu lagi adiknnya inén mayak tersebut. Melihat tersebut Aman Mayak pergi meninggalkan daerah tersebut untuk menceritakan hal ini kepada Raja Lingë. Mendengar hal tersebut segera dikirimkan rombongan kesana untuk mencari tahu atau menguburkan bila ada yang meninggal.

Setelah lantas diketemukan pohon kelapa yang menandakan ada kampông, yang disebut dengan Kampung Bakal, mereka ingin kesana karena lapar. Saat itu di pinggir sungai tersebut terlihat Giôngén (Kijang) yang sedang minum, mereka mecoba menangkap Giôngén tersebut untuk kemudian membantu mereka berdua melewati sungai tersebut. Dalam suatu ketika mereka hampir terlepas dari pegangan kepada Giôngen tersebut, sehingga Inen Mayak yang sedang mengandung tersebut mengucapkan dalam bahasa Karô ‘ngadi ko lao’, atau ‘berhentilah kau air’, sehingga sampai sekarang ada pusaran air disana. Dan karena ada kejadian inilah orang-orang Gayô disana dilarang memakan daging Giôngén.

Sesampai diseberang sungai Inén Mayak tersebut melahirkan, karena kelelahan iya dibawa arus air sungai (Wih Kul) tersebut. Sedangkan anaknya diselamatkan oleh adiknya di pinggir sungai. Pada saat anak tersebut kehausan datanglah seekor Kerbau atau Kôrô Jégéd, yang kemudian adiknya membiarkan anak kakaknya untuk menyusu terhadap kerbau tersebut.

Akhirnya mereka berdua ditangkap oleh orang kampông tersebut, saat itu mereka sedang mencari Kôrô jégéd (Kerbau berwarna putih Krim) punya Raja yang hilang. Ketika menemukan kerbaunya sedang menyusui seorang anak manusia maka orang-orang Kampung tersebut menganggap bahwa Kerbau keramat tersebut telah melahirkan.

Mereka lantas melaporkan kepada Raja Bakal, lantas oleh Sang Raja anak tersebut dianggp sebagai penerusnya, karena ia sampi saat itu tidak mempunyai seorang anakpun. Adik dari Inen Mayak tersebut di tahan sekaligus memelihara anak kakaknya yang sudah tiada.

Dalam keadaan tersebut sampai rombongan Réjé Lingë. Ketika sampai di kampungnya Aman Mayak mereka sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi, maka mereka pun berusaha mencari istri dan adik istri dari Aman Mayak tersebut.

Mereka pun akhirnya sampai di perkampungan Bakal tersebut, lantas merekapun mendengar berita tentang keganjilan-keganjilan yang terjadi saat itu. Mereka memutuskan untuk dapat menunggu lebih lama untuk mencari informasi. Sampai akhirnya bertemu dengan adik dari istrinya dan bercerita tentang desas-desus tersebut serta kebenaran bahwa sesungguhnya anak dari anak Kôrô jégéd sebagai anak Aman Mayak atau keturunan Raja Lingë.

Mengetahui hal tersebut rombongan dari Lingë menghadap Réjé Bakal, menyampaikan tujuan ke kampông di sini, kemudian menceritakan bahwa anaknya Kôrô Jégéd itu adalah anaknya atau cucunya Réjé Lingë, bahkan mengatakan ada saksi dari adiknnya istrinya. Untuk mengambil keputusan maka diambil keputusan akan ada perkelahian antara Pang untuk bersitengkahan (bacok-bacokan). Pang Sikucil, dan Pang Réjé Bakal bertengkah, panglima Réjé Bakal selalu bergeser bila ditengkah. Sedangakan Pang Sikucil dari Lingë tidak bergeser sedikit pun. Zaman terebut setelah bertengkah maka bersesebutan antara Réjé Bakal dan Réjé Lingë. Akhirnya anaknya ditinggal di Kerajaan Bakal tersebut dengan syarat nama Lingë tersebut jangan ditinggalkan, pagi hari pelaksanaannya. Dukun Kul (Paranormal Hebat), mengeturunkan si Bayak Lingë Karô. Inilah yang menyebabkan adanya hubungan antara Réjé Lingë Di Gayô dan Réjé Lingë (Lingga) di Karô.

Djohan Syah, Anak ke 2 Réjé Lingë

Sepeninggal adiknya Djohan Syah juga ingin pergi mengaji ke Pérlak,Weh Ben, atau Bayeun (dalam bahasa Aceh) di Kuala Simpang. Ingin belajar kepada Tengku Abdullah Kan'an dari Arab, seorang Tengku yang terkenal. Cukup lama Djohan Syah menuntut ilmu hingga mencapai gelar Mualim.

Ketika jumlah muridnya cukup 300 orang muridnya Ia menanyakankepada murid-muridnya bahwa ia berencana akan mencoba mengembangkan Agama Islam ke Kuté Réjé, yang pada waktu itu masih belum Islam.

Ketika rombongan Tengku tersebut sampai di sana Kutéréjé sedang dalam peperangan antara Raja-Raja Besar yang ada dengan utusan dari Nan King atau China yang bernama Nian Niu Lingkë , Pétroneng. Namun kekuatan dari Puteri Cina tersebut tidak terlawan karena ada ilmu sihir, sehingga banyak Raja yang berhasil dikuasai dan takluk kepada mereka, sampai akhirnya sampai kesebuah Kerajaan di Langkrak Sibreh.

Ketika tiba rombongan tersebut ke daerah tersebut Tengku menawarkan bantuannya kepada ke Réjé Lamkrak dengan syarat mereka diberikan tempat khusus serta meminta syahadat dari Raja Langkrak. Dengan alasan tersebut akhirnya masuk Islam Raja Langkra.

Setelah itu akhirnya ia melihat siapa yang akan diangkat menjadi Panglima Perang, satu per satu dilihat hingga akhirnya sampai kepada Djohan Syah, yang akhirnya menjadi Panglima Perang saat itu. Lantas diberi bekal oleh Tengku bekalnya, juga kepada semua murid-muridnya untuk berperang.

Ke 300 orang ini kelak disebut sebagai marga Suke Leretuh atau suku 300, asal mulanya dari salah satu Bangsa Aceh ini.

Setelah itu Djohan Syah memimpin peperangan dengan berbekalkan ilmu Al quran sehingga akhirnya Puteri dari Cina tersebtu akhirnya berhasil dikalahkan, Ratu Petromenk kalah, sehingga ia mundur pada basis pertahannya terakhir di Lingkë.

Melihat hal tersebut Djohan Syah merubah strateginya dalam memenangkan peperangan dengan memblockade saja benteng terakhir ini, hingga Putri Neng meminta damai. Dalam perjanjian damainya Tengku Abdullah megatakan mau berdamai dengan syarat Putri Neng mengucapkan syahadat.

Putri Neng mengatakan sanggup akan tetapi dilakukan secara rahasia. Akhirnya di tengah laut mereka berdamai, ntah kenapa setelah pedamaian terjadi dan sudah memandikan Puteri Cina tersebut Tengku menangis, ia merasa belum sempurna perdamaian sebelum dilangsungkan pernikahan antara Djohan Syah dengan Putri Neng. Lalu dinikahkan Keduanya Oleh Tengku Kan'an.

Kemenangan tersebut megah sampai dengan kerajaan Melayu manapun sehingga diangkat menjadi Sultan Aceh yang pertama bergelar Djohan Syah. Sehingga Raja-raja yang bergabung disana mengangkat menjadi Raja Kutéréjé I Djohan Syah, dan menjadikan Agama Islam berkembang dengan pesat disana.

Malam Syah dan Datu Beru tetap bersama Raja Lingë I, Malim Syah akan meneruskan Pemerintahan Kerajaan Lingë sedangkan Datu Beru akan menjadi pemegang kunci rahasia Kerajaan Lingë.



Kerajaan Malik Ishaq

Islam pertama kali datang dari Ghujarat dan Arab yang singgah di Perlak, sehingga menjadi salah satu Kerjaan Islam di Pesisir Utara Sumatera.

Sewaktu terjadi perangan Kerajaan Perlak dengan Sriwijaya dari Palembang sampai 20 tahun. Sultan Malik Ishaq waktu itu ia menyuruh mengungsikan perempuan dan anak-anak, ada suatu negeri yang ada Kuté-kuté yang akhirnya bernama dengan Ishaq, daerah Ishaq sekarang.

Anak Malik Ishaq adalah Malik Ibrahim, anaknya kemudian adalah lantas Muyang Mersah. Kuburannya sampai sekarang tempatnya masih ada akan tetapi tidak bisa diketahui lagi kuburannya karena sudah diratakan dengan tanah, namun telaga muyang mérsah masih ada.

Muyang Mérsah menpunyai 7 orang anaknya yaitu Mérah Bacang, Mérah Jérnah, Mérah Bacam, Mérah Pupuk, Mérah Putih, Mérah Itém, Mérah Silu dan yang bungsu Mérah Mégé. Namun Mérah Mégé adalah anak kesayangan dari kedua orang tuanya yang kerap kali membuat iri dari adik-adiknya, sehingga mereka merencanakan akan membunuhnya.

Kesempatan itu datang pada saat merayakan Maulid Nabi di Ishaq maka pihak perempuannya menyiapkan kreres (lemang) sedangkan laki-lakinya mungarô (berburu) untuk lauk dari kreres tersebut. Akhirnya si bengsu diajak ngarô untuk kemudian dibunuh, namun kakak-kakaknya ternyat tidak sampai hati membunuh adiknya tersebut sehingga hanya dimasukkan ke Loyang datu. Mengetahui bahwa anak bungsunya hilang membuat marah orang tuanya.

Ketika Mérah Mégé ada di Loyang Datu ia ternyata mendapatkan makanan dari anjingnya yang bernama ‘Pase’. Melihat tuannya dimasukkan kedalam lubang oleh abang-abangnya anjing tesebut kemudian selalu mencarikan makanan untuk Mérah Mégé. Bahkan makanan yang diberikan kepadanya. Dibawanya ke Loyang Datu untuk kemudian diberikan kepada Mérah Mégé.

Keanehan atau keganjilan dari Pase ini tentunya akhirnya mendapat perhatian dari Muyang Mérsah, hingga akhirnya ia memutuskan untuk dapat mengikuti anjing tesebut dengan berbagai upaya, yaitu ketika memberikan makanan kepada anjing tersebut ia juga menaruh dedak sehingga kemanapun anjing tersebut akan meninggalkan jejaknya. Hingga akhirnya diketemukan Mérah Mégé tersebut. Yang kemudian dirayakan dengan besar-besaran oleh Muyang Bersah.

Kemudian Mérah Mégé menjagai pusaka, dan keturunannya tersebar diseluruh Aceh, Meulaboh, Aceh Selatan daerah Kluet, seluruh perairan diseluruh Aceh, didahului dengan nama Mérah.

Keenam Anak Muyang Mérsah

Keenam Saudara Mérah Mégé akhirnyua lari, pertama kali lari ke Ishaq karena malu. Namun begitu diketahui Raja dan kemudian akan disusul mereka lari kembali ke Tukél kemudian membuka daerah yang bernama Jagong, dikejar kembali sampai akhirnya ke Sérbé Jadi (Serbajadi Sekarang). Dikejar terus anaknya, karena rasa sayang, setelah rasa marahnya Raja tersebut hilang. Namun mereka sudah amat malu kepada ayahnya akhirnya mereka sepakat untuk berpisah dengan catatan akan menyebarkan Agama Islam pada daerah yang akan ditempatinya.

Mérah Bacang, si sulung, pergi ke batak untuk mengembangkan Islam ke daerah Barus, Tapanuli.

Yang ke-2 Mérah Jérnang ke Kala Lawé, Meulaboh.

Yang ke-3 Mérah Pupuk Mengembangkan agama Islam ke Lamno Déyé antara Meulaboh dan Kutéréjé.

Yang ke- 4 dan 5 Mérah Pôtéh Dan Mérah Itém di Bélacan, di Mérah Dua (sekarang Meureudu) masih ada kuburannya.

Yang ke-6 Mérah Silu ke Gunung Sinabung, Blang Kéjérén

Mérah Sinabung

Mérah Silu mempunyai seorang anak yang bernama Mérah Sinabung (Dalam bahasa Gayô Mérah Sinôbông). Mérah Sinambung ternyata lebih berwatak sebagai Panglima, sehingga hoby adalah mengembara. Sampai ia berada pada suatu daerah yang sedang berperang. Perang yang terjadi antaran Kerajaan Jémpa dan Samalanga. Kerajaan Jémpa waktu itu sudah beragama Islam, hingga akhirnya ia menawarkan bantuan kepada Raja Jempa tersebut dan berhasil memenangkan peperangan dengan Kerajaan Samalanga. Jasa baiknya tersebut akhirnya membuat Raja Jémpa menikahkan putrinya kepada Mérah Sinabung.,

Keduanya mempunya 2 orang anak yang bernama Malik Ahmad dan Mérah Silu. Setelah Mérah Sinabung wafat maka naiklah Malik Ahmad menjadi Raja Jempa, akan tetapi ada syak wasangka terhadapa Mérah Silu, karena ia lebih berbakat dan lebih alim serta lebih dicintai rakyatnya maka timbul kecemburuan yang terjadi.

Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan maka Mérah Silu akhirnya pergi ke daerah Arun, Blang Sukun, untuk menghabiskan waktunya ia bekerja sebagai pande emas, besi dan barang logam lainnya sedangkan malamnya ia mengajar mengaji.

Lama kelamaan orang sekitar menjadi mengenal Mérah Silu sebagai Mualim, tokoh masyarakat, akhirnya menjadi Réjé di Lhoksmawé. Sehingga kemudian ia diangkat menjadi Sultan Pase pertama atau disebut dengan Sultan Malikus Saleh. Sebutan daerahnya Pase merupakan sebutan yang diambil dari nama anjing yang telah menyelahamatkan Datunya, Mérah Mégé.

Réjé Lingë ke XII

Sultan Aceh , Sultan Ali Mugayat Syah Al Kahar, yang mengembangkan Aceh Darussalam. Aceh sewaktu Iskandar Muda sudah matang menjadi satu pada zaman Réjé Lingë yang ke 12 tersebut, memimpin peperangan untuk berperang dengan Malaka.

Ketika akan menyerang Portugis membantu Kerjaan Johor dengan Perahu Cakra Donya, maka yang memimpin peperangan tersebut adalah Raja Lingë ke XII. Dengan berbagai upayanya ia berhasil mengalahkan Portugis. Sebagai rasa terimakasih ia dikawinkan dengan anak Raja Johor dan mempunyai anak yang bernama Bénér Mériah (Bénér Mérié dalam bahasa Gayô) dan Séngëda.

Dalam perjalanan pulang ia sakit perut dan akhirnya meninggal di Pulau Lingga, ia dimakamkan disitu, dan banyak orang Melayu tiap tahun berziarah ke makamnya, dan makamnya sudah dibuat dengan bagus.

Istri ke-2 dari Raja Lingë ke XII bersama kedua anaknya meneruskan perjalanan dan menetap di Kutéréjé pada salah satu messnya untuk Janda Raja Aceh dan anak-anaknya.

Ketika mereka besar mereka menginginkan pergi ke asal Ayah mereka, namun berkenaan dengan adanya pertemuan tahunan antara Raja-raja di Aceh di Kuté Réjé (Banda Aceh sekarang), maka ibunya menyaramkan untuk bersabar karena akan ada rombongan Réjé Lingë ke XIII (anak Raja Lingë ke Xll, dari istri pertama) ke sini dan mereka bisa ikut pulang ke Lingë bersama rombongan.

Selama sebulan dalam perjalanan. Sampai ke Lingë menghadap, ketika melihat Cincin dan Rencong bertuliskan Réjé Lingë pada anak-anak Réjé Lingë 12, Bénér Mériah dan Séngëda. Réjé Lingë Xll dengki, dan menuduh kalo Ayahnya Raja Lingë XlI diracuni oleh Bénér Mérié dan Séngëda, dan Raja Lingë Xlll tidak tahu kalau mereka adalah saudaranya sekandung seayah. lantas menugaskan kepada PM-nya Cik Serule, Syekh Réjé Juddin, diperintahkan untuk membunuh Séngëda. Akhirnya mengetahui akan dibunuh Oleh Réjé Lingë XlIl Bénér Mérié Oleh Réjé Lingë XlIl berangguk-angguk menangis. Cik Sérulé tidak sampai hati membunuh Séngéda, diganti darahnya menjadi darah kucing, seolah-olah telah dibunuh, sehingga ada daerah yang bernama daerah Tanom Kucing.

Séngëda ingin bertemu dengan Ibunya, maka di perjelek wajanya sehingga tidak dikenal untuk ikut dengan rombongan Réjé Lingë ke XIII. Diistana ada satu kamar yang bernama Balé Gadéng, disitu Séngëda menggambar Gajah Putih, melihat gambar tersebut seorang Putri Aceh melihat ada Gajah Putih kemudian meminta kepada ayahnya, Sultan Acih dan Sultan Aceih segera memerintahkan pencarian Gajah Putih tersebut dengan hadiah barang siapa yang berhasil mendapatkannya akan mendapatkan pangkat.

Kemudian rombongan Réjé Lingë ke XIII kembali ke Gayo. Sesampai di Gayo Sengeda ke kuburan Abangnya Bener Meriah, untuk kemudian menceritakan apa yang menjadi persoalannya selayaknya seorang adaik yang mengadu kepada Abangnya. Akhirnya dengan seijin Allah SWT diketemukan Gajah Putih oleh Sengeda, kIemudian dicoba untuk dapat ditaklukkannya.
Ketika Réjé Lingë ke XIII mendengarkan hal tersebut lantas memerintahkan kepada Perdana Menetrinya yang berasal dari Serule agar Sengeda memberikan Gajah tersebut kepadanya. Sesampai di kediaman Réjé Lingë ke XIII Gajah Putih tersebut sepertinya tidak suka didekati oleh Reje hingga menyemprtokan air ke tubuhnya yang menyebabkan ia menjadi basah kuyup.

Akhirnya dibawalah Gajah Putih tersebut ke kutéréjé, asal sebutan Timang Gajah, ketika Gajah kabur dari rombongan. Begitu juga dengan Sigeli, ketika Gajah Putih tidak mau beranjak dari tempatnya. Baru sampai ke Kutéréjé. Kemudian diarak-arak Gajah Putih tersebut di keliling Kutereje tersebut. Keadaan Kutereje pada waktu itu sudah begitu pada dengan manusia sehingga Gajah Putih tersebut menjadi tontonan mereka dengan suka cita, Pada saat itu memang banyak penduduknya disana jutaan. Kemudian diserahkan ke Istana Darul Dunia.

Lantas Gajah Putih tersebut di bawa ke Kediaman Sultan yang bernama Darul Dunia. Ketika sampai di kediaman Sultan kembali Gajah Putih menjadi marah, kembali menyeburkan air kepada Sultan. Melihat hal ini kemudian Sultan memanggil orang yan bisa menjinakkannya, sehingga hanya Séngëda yang berhasil menjinakkannya.
Kemudian Sultan bertanya kepada rombongan Réjé Lingë ke XII siapa kiranya anak tersebut, Reje Linge sudah barang tentu tidak mengetahuinya hingga Perdana Menteri dari Reje Linge tersebut akhirnya mengatakan kepada Sultan siapa Sengeda tersebut.
Akhirnya terbongkarlah kejahatan dari Réjé Lingë ke XII, sehingga sidang dibuka untuk mengadili kejahatan Réjé Lingë ke XIII yang telah membunuh Bener Meriah. Darin keputusan Qadhi Al malikul Adil Réjé Lingë ke XIII dijatuhi hukum qishas.
Ketika mendengar hal tersebut Datu Beru yang pada waktu itu menjadi satu-satunya penasehat dari Sultan mengatakan keberatan dengan keputusan tersebut, dengan alasan bahwa hukum qishas dapat dilakukan apabila kepada korban sudah dimintakan atau ditawarkan dengan hukum diyat (hukum ganti rugi) terlebih dahulu.
Yang menarik adalah bahwa sebelumnya Datu Beru telah menemui Ibu dari Sengeda untuk mengutarakan maksud hatinya bagai perdamaian, yaitu mengampuni Reje Linge ke 13 untuk kemudian Sengeda menjadi penggantinya.
Sudah barang tentu dengan berbagai pertimbangan akhirnya Sengeda menerima diyat tersebut dan pulang ke Tanoh Gayo untuk menjadi Reje Linge ke 13.

Kesimpulan


Jika dilihat dari Sejarah ini ternyata membuat kita menjadi bangga sebagai orang Gayô , orang-orang yang dianugrahi Allah begitu banyak kebaikan. Yang menarik disini adalah banyaknya orang Gayô yang berhasil ketika ia keluar dari asalnya lantas kemudian menjadi seorang Raja didaerah tersebut karena kemampuannya.

Yang menarik lagi adalah ketika Sultan Pertama Aceh adalah orang Gayô dan berhasil mengislamkan orang-orang disana, tentunya keturunannya adalah merupakan orang Gayô . Denga bahasa Gayô .

Bila Raja Aceh yang pertama berasal dari Lingë, tentunya selanjutnya adalah anak keturunannya yang berasal dari Gayô , atau asli Gayô . Ini perku dicatat. Kembali memperlihatkan bahwa memang urang Gayô itu mempunyai genetika yang amat baik bila diberikan pendidikan yang benar. Begitu juga dengan Kerajaan-kerajaan yang ada pada pesisir Barat dan Selatan, kesemuanya dahulunya dikuasai oleh keturunan Mérah Mégé.

Bahkan Kerajaan Islam Pase sekalipun dikatakan sebagai keturunan dari orang Gayô.

Dapat dibayankan begitu berpengaruhnya orang Gayô disaat itu.

Selamat merenung, mari kita buktikan sejarah kita. Kita bangun Bangsa yang tertidur ini

12 Desember 2008

Melihat Percaturan Politik GAM

BERITA
BANDA ACEH - Lebih kurang 25 mahasiswa yang tergabung dalam Mahasiswa Peduli Keadilan (MPK), Rabu (10/12) sore, berunjuk rasa di Bundaran Simpang Lima, Banda Aceh. Dalam orasinya, mahasiswa mendesak Pemerintah Aceh untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Aceh pada masa lalu. Selain itu, mereka juga pemerintah daerah segera merealisasikan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh.

Pantauan Serambi, orasi para mahasiswa itu berlangsung sekitar pukul 16.30 WIB. Mahasiswa berorasi secara bergantian dan memperdengarkan tuntutan mereka kepada masyarakat pengguna jalan. Kemacetan pun nyaris terjadi, namun berkat kesigapan personel dari Poltabes Banda Aceh, keadaan tersebutpun dapat diatasi.

Juru bicara MPK, Alja Yusnadi kepada wartawan, mengatakan, bertepatan hari Hak Azazi Manusia (HAM) sedunia, yang jatuh 10 Desember 2008, pihaknya ingin mengingatkan kembali Pemerintah Aceh, untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. "Hari ini, kami lihat Pemerintah Aceh belum melakukan action apa-apa dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Aceh," tegas Alja.

Dalam penyataan sikap tersebut, lanjut Alja, pihaknya mendesak kembali Pemerintah Aceh untuk segera menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Aceh pada masa lalu, dan mendesak Pemerintah Aceh untuk segera merealisasikan pembentukan KKR di Aceh. "Pembantukan KKR sebagai upaya mengadili pelaku kejahatan atas kemanusiaan di Aceh, pada masa lalu," tandas Alja. Setelah menyampaikan aspirasinya, sekitar pukul 17.30 WIB, para pengunjuk rasa itupun akhirnya membubarkan diri.(mir)Semakin dekat Pilkada maka pihak GAM akan semakin melakukan trik-trik nya salah satunya adalah kembali mengajak rakyat Aceh untuk membenci TNI, dengan cara mengangkat kembali korban PERANG BODOH ini. Namun demikian pihak GAM akan teramat berhati-hati dalam aksinya karena ini lebih kepada pembentukkan wacana saja, karena mereka menyadari bahwa MoU Helsinky tidak mengkhendaki hal ini.

TANGGAPAN
Tapi ingat juga kita perlu menanyakan kembali siapa yang mengobarkan PERANG BODOH ini siapa yang menyebabkan Aceh selama 30 tahun kembali menjadi hancur berantakkan, generasi muda semakin kehilangan arah. Bayangkan dalam 30 tahun ini sudah dapat dipastikan orang Aceh telah kehilangan satu generasinya.
Jadi pertanyakan kembali kepada rakyat Aceh:

Apakah mereka tahu siapa yang mengobarkan PERANG BODOH ini ?

Siapa yang rela mengorbankan puluhan ribu rakyat Aceh untuk PERANG BODOH ini atau MoU Helsinky yang lebih menguntungkan anggota GAM ?

Siapa yang telah menghilangkan begitu banyak Tengku, karena mengikuti Peta Konflilk Soeharto dan LB Moerdani ?

Pertanyakan kembali kepada rakyat Aceh untuk apa dana BRR, apakah hanya untuk KPA lantas bentuk Partai Aceh atau SIRA ?

Siapa yang memaksa kita semua terjebak dalam PERANG BODOH ini ?


Sudah saat nya generasi penerus Aceh bangkit dan mengatakan PERANG BODOH HARUS DITINGGALKAN, PERANG BODOH TIDAK ADA ARTINYA, YANG LEBIH KITA PENTINGKAN ADALAH ANAK CUCU KITA.

Saya akan prediksikan apa yang akan dilakukan untuk menarik hati rakyat Aceh setelah ini:

1. Penuntutan Pelanggaran Perang atas HAM.
2. Menaikkan sukuisme Aceh pada masa lalu, sebagai Negara yang tidak pernah di Jajah atau Kedigjayaannya di masa lalu. (hujjah, ini menjadi teramat penting karena untuk Partai Lokal amat diperlukan hal ini dalam mengeruk suara)
3. Program Devide Et Impera (antara Tengku dan Teuku kembali, karena terlihat banyak dari para Tengku yang sudah bosa dengan PERANG BODOH dan ingin sepenuhnya membangun Aceh dengan jiwa sportif (seperti zaman dulu), antara sesama Parnas) yang tujuannya mengatakan bahwa Partai lain itu tidak berguna, tidak sempurna, hanya Partai Aceh atau SIRA milik rakyat Aceh.
4. Black Campaign terhadap Parnas, bahkan utamanya PKS yang menjadi saingan utama mereka, begitu juga dengan Golkar dan PPP.
5. Intimidasi (hujjah, ini mungkin juga dilakukan karena mereka merasa masih punya kuasa dan anggota yang bisa melakukan hal ini, bahkan anggota mereka banyak yang tidak bisa lagi bekerja dengan baik, juga dana BRR telah habis, mereka akan mengoptimalkan peran ini dengan alasan semua harus dikuasai.)

Bagi saya hal ini sebenarnya sudah diperhitungkan, untuk black campaign ada banyak hal juga yang bisa dilakukan, seperti:

1. Asal mula PERANG BODOH ini, kemudian tunjukkan bahwa ternyata PERANG BODOH ini berujung kepada MoU Helsinky yang menguntungkan GAM baik materi maupun politis.
2. Tunjukkan juga data-data tentang korban GAM selama ini yang ditutupi, jika memungkinkan carikan data bahwa kebanyakan korban PERANG BODOH ini adalah karena mereka diantara GAM dan TNI, bukan dari hati nurani mereka sendiri.
3. Kalau ada penyelesaian HAM maka Pemberontak juga harus ditangkap, Hasan Tiro juga harus ditangkap karena mereka juga telah membunuh banyak orang yang tidak setuju dengan perjuangan mereka, karena mereka adalah Pimpinan GAM. HARUS ADIL.

SEMUA BUTUH KEADILAN, JANGAN LAGI RAKYAT ACEH SELALU DALAM KEBODOHAN DAN TEKANAN ATAU INTIMIDASI.

Catatan:
Kepada Parnas agar jangan melepaskan perhatiannya kepada Partai SIRA, Partai ini sepertinya sudah mulai menjalankan misi-misinya, mereka juga terlatih untuk mengambil hati rakyat dan para intelektual mudanya, sepertinya mereka mulai bergerak. Merke akan mulai bermain di bawah tanah seperti halnya Nadzar dahulu berhasil mengumpulkan sejuta orang untuk menuntut Referendum.

Namun sekarang ini intelektual muda Aceh banyak juga yang bergabung kepada PKS, sebagai partai pembaharuan bagi mereka, serta sebagai Partai yang bisa mengaktualisasikan penegakkan syariah Islam di NAD seperti yang diinginkan para Tengku.

So, BECAREFUL WITH PARTAI SIRA, MEREKA MULAI MEMAINKAN JURUSNYA.

SELAMAT BERTANDING MENUJU PEMENANG PEMILU DI ACEH.

Terakhir, bila ini terus berlanjut saya sarankan kepada NKRI, UNTUK SEGERA MENGESAHKAN PROVINSI ALA DAN ABBAS KARENA RAKYAT ACEH SUDAH MUAK DENGAN PERANG BODOH INI, RAKYAT ACEH HANYA INGIN MAJU DENGAN DAMAI, MENGUASAI INDONESIA DENGAN INTELEKTUAL DAN KEPANDAIAN BUKAN DENGAN PERANG BODOH.

Percaturan Politis sedang dimulai:

Sesudah gagal dalam memberikan intimidasi atau masih memberikan intimidasi tapi sudah mulai santun. Ini kemudian dilanjutkan dengan mulai pengembangan WACANA, yaitu:
1. Nasionalisme Aceh,
2. Kemajuan Aceh di saat Pemerintahan Irwandy.
3. Partai Aceh hanya milik orang Aceh, namun ingar Partai SIRA sebagai underbow akan terus bekerja untuk kepentingan GAM.
4. Masuk ke dalam Parnas untuk melakukan black campaign.
5. Bila ini semua tidak berhasil maka diwaktu dekat Pemilihan Suara maka mereka akan tetapsedikit melakukan intimidasi dan mengatakan bahwa KPA telah memberikan bantuan kepada mereka, atau mereka akan diberikan uang.

Nah, untuk yang satu ini, yang perlu diwaspadai adalah Partai SIRA, sebuah partai yang berasal dari intelektual muda GAM.

Sudah saatnya Parnas juga melakukan kampanyenya, Parnas terkesan diam karena sepertinya hanya melihat-lihat saja, namun sekarang adalah saat yang tepat untuk mulai melakukan pergerakan-pergerak an, utamanya di DESA atau GAMPONG, topik atau isu yang akan diangkat:

1. Korban PERANG BODOH,
2. Hancurnya kebanggaan Aceh karena PERANG BODOH.
3. Iskandar Muda --> Penjajahan Belanda --> Daud Beureuh --> ARUN --> GAM --> MoU Helsinky, angkat dari sini isu mengenai bagaimana Aceh dahulu yang begitu saling bahu membahu bersama NKRI.

Ada buku yang amat menarik yang sudah dijual bebas untuk menambah baik isu yang akan dibangun yaitu : BERANDA PERDAMAIAN ACEH TIGA TAHUN PASCA MOU HELSINKY, ada beberapa point yang menceritakan bagaimana penderitaan rakyat Aceh, kemudian bisa juga GAMPONG YANG TERKOYAK, memang isi dari buku itu agak sedikit membingungkan.

Memang dalam buku itu ada beberapa tulisan yang berupaya menceritakan tentang penderitaan GAM akan tetapi juga akan ada beberap tulisan yang menceritakan bagaimana menderitanya rakyat Aceh karena GAM.

Kemudian kepada Parnas agar juga melakukan penelitian ke GAYO, Meulaboh dan Kutacane kekerasan yang dilakukan oleh GAM untuk mengatakan bahwa yang menjadi korban bukan saja oleh TNI tapi dari GAM juga.

Kemudian isu yang menarik diangkat juga adalah tentang ketidakadilan dari KPA-KPA yang terjadi saat ini, seperti bantuan kepada anggota GAM, kemudian isu apa yang akan terjadi apabila dan BRR telah habis, pedidikan yang rendah dan lifesikill yang rendah dari anggota GAM. Semua isu ini akan menarik untuk bisa dikembangkan tapi dengan cara yang baik.

Agar diperhatikan juga aturan dari KIP, ini teramat penting untuk menjaga agar setiap kampanye yang dilakukan tidak keluar dari jalur yang diinginkan.

Selamat Bertanding, semoga rakyat Aceh semakin pintar, dan GAM mulai belajar untuk berpikir politis dengan baik dan cantik bukan dengan intimidasi dan senjata.

Oh, ya jangan lupa hati-hati dengan PARTAI SIRA

Nasionalisme Aceh ?

Berdasarkan wikepedia dikatakan bahwa:

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.

Jadi jelas bahwa memang ada perbedaan antara ideology dan nasionalisme, ideology akan masuk ke dalam nasionalisme ketika mereka mencoba untuk mencari sebuah konsep identitas dari kelompok masyarakat tersebut.

Bahkan bila dilihat dari sini maka Gayo seharusnya bukan menjadi bagian dari Aceh Merdeka, karena Gayo merasa bukan bagian dari orang Aceh, orang Gayo tidak mau dikatakan sebagai orang Aceh, apakah ini dibuat-buat ? Silahkan tanya kepada hati nurani kita dan muyang datu kita.

Kemudian para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu.

Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan, seperti yang dinyatakan di bawah. Para ilmuwan politik biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrem seperti nasional sosialisme, pengasingan dan sebagainya.

Dalam pengertian dasar, sebuah republik adalah sebuah negara di mana tampuk pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat, bukan dari prinsip keturunan bangsawan. Istilah ini berasal dari bahasa Latin res publica, atau "urusan awam", yanng artinya kerajaan dimilik serta dikawal oleh rakyat. Namun republik berbeda dengan konsep demokrasi.

Uraian anda:

Jadi pertama sekali, ada kesalahan dalam menilai idiologi. Misalnya dalam NKRI, R disana adalah republik. Kata republik ini saja sudah membantah kalau Indonesia lahir dari pengalaman Indonesia sendiri. Penyebutan Republik disana jelas menyontoh revolusi Prancis. Kemudian dalam mengartikan republik, republik itu kok sepertinya diterjemahkan sebagai pemerintah, pedahal republik punya arti kepetingan bersama. Ada juga yang lebih konyol lagi, terdiri dari orang berpikiran picik panatik yang mengemukakan arti republik adalah re (kembali), publik (publik).


Jawaban saya:

Saya tidak mengerti bagaimana anda dapat menyimpulkan seperti ini, mungkin karena pemahaman anda tentang pengertian Republik dan Nasionalisme masih rendah. Yang hanya bisa saya katakana kepada anda adalah bahwa sesungguhnya Indonesia telah mengambil bentuk negaranya menjadi Republik karena Indonesia bukan sebuah Negara Kerajaan atau Kesultanan, memilih rakyatnya langsung dari rakyat, yang dahulu dipilihj oleh legislative sekarang oleh rakyat.



Uraian anda:
Bagaimana konsepti Hasan Tiro tentang Aceh sebetulnya dapat dipelajari dari tulisannya mengenai "Negara Senambung" kira-kira intinya Hasan Tiro tidak berniat sama sekali mengubah Aceh, dia hanya menginginkan kelanjutan Aceh sediakala menuju masa depannya.
Kemudian mengenai hasil-hasil perjuangan Hasan Tiro, kalau kita meletakkannya pada konsepsi Thomas Hobbes dalam teori kontrak sosial, sudah barang tentu mencerminkan kemajuan pikirannya Hasan Tiro. Mengikuti konsepsi republik (kepentingan rakyat), Indonesia katakanlah tidak ada manakala yang ada cuma kepentingan segelintir elit berkuasa. Dari sini Hasan Tiro kemudian akhirnya bisa memaksa, dan Indonjesia mau tidak mau harus memperbaiki kontrak sosialnya. Kontrak untuk menjamin kepentingan bersama ini bisa dilihat dalam Helsinki.

Jawaban saya:

Yang dapat ditangkap dari tulisan anda adalah mengatakan bahwa Hasan Tiro menginginkan Aceh kembali bentuknya seperti dahulu kala, seperti masa Kesultanan Iskandar Muda yang dianggap sebagai kejayaan Aceh.

Hal-hal ini tentunya sah-sah saja, akan tetapi kita seorang pemikir yang ulung itu perlu bisa melihat kondisi yang sekarang serta mampu melihat apa yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Ketika Hasan Tiro mengatakan tidak akan mengubah Aceh sudah barang tentu kami dari Kerajaan Linge bisa saja mengatakan bahwa kami ingin berdiri sendiri seperti zaman dahulu ketika Raja Aceh adalah berasal dari keturunan Linge.

Ironisnya lagi ketika anda mengatakan bahwa Indonesia dikatakan hanya segelintir orang yang berkuasa, anda juga tampaknya harus lihat seperti apa para Panglima Sago dengan segala kenikmatannya, para anggota GAM dengan segala bantuan dari dana BRR, apakah ini tidak dikatakan sebagai kepentingan segelintir orang, GAM saja.

Untuk permasalahan MoU Helsinky silahkan lihat pada www.cossalabuaceh, blogspot. com dengan label ALA, dan judul Pemekaran ALA (dialog dengan Ahmad Sudirman), bagaimana tidak adil dan berbahayanya MoU tersebut bagi keutuhan NKRI dan rakyat Gayo khususnya.



Ulasan anda:
KIta tidak akan memperkarakan apakah kontrak baru ini akan memuaskan semua atau belum. Tetapi secara teoritik, yang ingin saya tunjukkan adalah bagaimana pandangan Kosasih Bakar, enggak nyampe-nyampe sama sekali. Pandanganya sebagaimana tudingan saya semula kepada pendukung ALA, hanya disandarkan pada pendapat emosionil.



Jawaban saya:

Saya hanya bisa katakana bahwa anda tidak bisa berdiskusi dengan baik, jika saya dalam posisi anda saya akan mengatakan hal yang lebih buruk lagi dengan mengatakan bahwa pendukung ALA itu bodoh, karena tidak mau merdeka, untuk apa menjadi Provinsi, bukankah lebih baik merdeka bersama Aceh sehingga kita berdaulat dan bisa membangun rakyat Gayo dengan baik.

Atau kemudian saya menjawabnya dengan lebih konyol lagi dengan mengatakan bahwa Aceh Merdeka itu seperti petir disiang bolong, tidak akan mungkin terjadi, dalam MoU Helsinky sudah amat jelas dan Pemerintah NKRI bukan orang bodoh seperti yang anda perkirakan.

Atau dengan lebih bodoh lagi saya mengatakan kepada anda, berapa besar uang yang anda terima sehingga anda mau menjual Tanoh Gayo ini dengan teramat murah, dengan janji dijadikan Caleg, atau anda sudah menerima mobil bagus dan rumah bagus, atau anda sudah disekolahkan oleh GAM ? Sebegitu murahkah sehingga kita akn dikuasai oleh GAM, sehingga bahasa nasional adalah bahasa Aceh yang kebanyakan dari orang Gayo tidak memenguasainya dan harus dipaksa menguasainya. Bahkan lebih jauh lagi seberapa banyak sebutan Gayo akan digati dengan bahasa Aceh seperti Kutereje diganti menjadi Banda Aceh, atau berapa banyak lagi kebudayaan Gayo kemudian diadopsi untuk kemudian dikatakan sebagai budaya Aceh, seperti halnya Kerawang dan Tari Saman, sebegitu rendahnya kah anda menjual penaringen muyang datu ini, sebegitu rendahkah anda menjual kami semua, sehingga anak-anak kami tidak lagi bangga menjadi orang Gayo, lebih bangga menjadi orang Aceh.

Ulasan anda:

Mari kita lihat asal muasal istilah "rentang kendali" yang muncul dalam pemekaran Provinsi Banten. Istilah ini merujuk kepada teritori Banten persis yang berada disamping Jakarta Barat dan Jakarta Selatan. Jadi menurut mereka karena korupsi, pemotongan yang terjadi di Bandung, barulah duit pembangunan baru memutar ke Banten. Dari segi urusan pusat - daerah jelas terlihat berurusan ke Bandung makan waktu. Dengan demikian Banten, yang berada disamping Tanjung Priok ingin langsung saja menuju istana merdeka, tanpa harus terlebih dahulu ke Bandung, disana keunikannya. Dalam perkembangannya, pengertian rentang kendali ini bisa saja meluas, disisi yang lain bisa menyempit menurut political will pemerintah dalam soal pemekaran.



Jawaban saya:
http://bantenmuda. multiply. com/reviews/ item/47 , dapat dilihat dari link ini bagaimana akhirnya Banten bisa berdiri menjadi Provinsi sendiri, atau dapat dilihat dari sebuah buku "Mengawal Aspirasi Masyarakat Banten Menuju Iman Taqwa, Memori Pengabdian DPRD Banten Masa Bakti 2001 – 2004, sebuah perjuangan yang panjang juga penuh dengan pro dan kontra seperti juga dengan ALA dan ABBAS.

Ini bukan saja permasalahan rentang kendali akan tetapi permasalahan akar budaya dan kebanggaan menjadi orang Banten. Silahkan teman-teman membacanya agar ini bisa dijadikan sebagai contoh perjuangan Provinsi ALA dan ABBAS. Sebagai tambahan lagi bahwa Provinsi Banten saat ini APBD sudah mengalahkan Provinsi Jawa Barat, bahkan pembangunan sudah amat maju disana. Kabupaten/kota yang dahulu tertinggal sekarang begitu luar biasa percepatan pembangunannya, yang tentunya juga harus diimbangi dengan percepatan SDM untuk mengawalnya.



Ulasan anda:

Lalu apakah ada perang bodoh? studi tentang insurgency, sektor keamanan (pertahanan) , hukum humaniter memberikan jawaban bahwa perang pharus pula diletakkan dalam kerangka tujuan mulia. Namun tentu saja para seniman seperti Shaggy bisa saja melontarkan perang AS di Irak sebagai perang bodoh. Pendapat Shaggy ini bukan tidak bisa didekati, paling tidak perang AS di Irak ternyata tidak sebagaiaman dikatakan pemerintah Bush karena Irak memiliki senjata pemusnah massal, akhirnya dibuktikan bahwa perang ini dilandasi keinginan menguasai minyak. Jadi Shaggy dalam hal ini mengatakan perang bodoh karena negaranya dan pemimpinnya telah mengelabui rakyat AS.
Adapun tudingan Kosasih Bakar terhadap perang bodoh = GAM = Aceh, hanyalah dilandasi kebencian-kebencian yang tidak memiliki landasan pemikiran yang jelas, dengan menyebut Hasan Tiro punya nasionalisme terlalu tinggi.
Boleh jadi ada banyak faktor kegagalan dalam tubuh GAM, tetapi itu bukan salah Hasan Tiro, sebagaimana menjadi penegetahuan umum, kesalahannya ada pada administratif GAM yang tidak lagi dibawah kendali Hasan Tiro.

Jawaban saya:

Perang Aceh yang dikumandangkan oleh Hasan Tiro adalah PERANG BODOH merupakan sebuah kejelasan yang tidak dapat disangkal lagi, dan bukan tanpa kerangka pikir yang jelas, silahkan lihat tulisan saya pada www.cossalabuaceh. blogspot. com pada label GAM dengan judul Perbandingan Hasan Tiro dan Daud Beureuh.

Seorang pemimpin yang baik, sudah barang tentu ia berpikir ke depan, ia tidak akan mengorbankan rakyat Aceh yang begitu banyak hanya untuk pragmatism GAM. Konsep perjuangannya adalah Membebaskan diri dari Pemerintah Jawa-Indon, sebuah peperangan yang dilandasi dengan Ashobiyah, dan ini tentunya tidak sesuai dengan karakter orang Aceh sehingga GAM mendapati kenyataan bahwa banyaknya komponen Aceh yang menolak yang berujung dengan adanya keinginan ALA dan ABBAS, karena rasa muak mereka terhadap peperangan yang telah menghancurkan generasi penerus Aceh.

Atau dapat dilihat dari tulisan saya www.cossalabuaceh. blogspot. com pada label GAM dengan judul Adakah Indikasi GAM disusupi CIA dan Zionis.

Dengan adanya PERANG BODOH ini berakibat yang diluar Hasan Tiro perkirakan, karena ia termakan ntah sengaja atau tidak dengan peta konflik yang digelar oleh Soeharto dan LB Moerdani, indikasinya adalah TNI yang dikirimkan pertama kali adalah orang-orang batak, untuk mengental sentiment agama di Aceh, sehingga konflik horizontal yang terjadi antara Agama semakin kental sesuai dengan harapan dari LB Moerdani untuk menyapu bersih para Tengku-tengku yang ada. Dapat dilihat sekarang sudah semakin berkurangnya Tengku yang ada di Aceh karean banyak dari mereka yang tentunya berafiliasi kepada GAM demi menegakkan syariat Islam atau itu yang ditawarkan oleh Hasan Tiro.

Belum lagi hilangnya satu generasi di Aceh, hanya karena PERANG BODOH, inikah yang engkau banggakan dari Hasan Tiro, sudah menghalalkan darah sesame muslim, konsep perjuangan yang membuat orang mati dalam keadaan jahiliyah, akhir yang hanya menguntungkan segelintir orang saja, yaitu kelompok GAM. Apakah ini tidak perang bodoh ? Belum lagi kita membahas ini dari rakyat Gayo, semakin menderita lah kita rasanya.



Ulasan anda:

Selanjutnya pendapat emosionil Kosasih Bakar tentang adanya perang saudara di Aceh sama sekali keliru. Pertama sekali berdasarkan UUD 45 bahwa negara Indonesia bukanlah negara beridiologi Islam. Kedua; Aceh sendiri sebagaimana disebut adalah Kerajaan Aceh Darussalam, menskipun seperti Indonesia juga mengadopsi ajaran-ajaran Islam, tidak meletakkan AL-Qur'an dan Hadits sebagai Konstitusi negaranya.

Jadi disana tidak ada perang saudara sesama muslim, alasan agama disini justru digunakan untuk perdamaian sebagaimana mengutip Teungku Ali Jadun yang berkata "Gere ara uren si gere sidang, gere ara perang si gere rede". Gayo-gayo palsu seperti anda ini silakan saja membuktikannya.

Jawaban saya:

Silahkan lihat www.cossalabuaceh. blogspot. com pada label GAM dengan judul Propaganda GAM Menggunakan Islam.

NKRI memang bukan Negara Islam akan tetapi pemeluk terbesarnya beragama Islam, bahkan sebagai Negara terbesar pemeluk agama Islam di dunia.

Pepatah gayo itu tidak mengajarkan kita untuk melakukan sebuah peperangan tanpa dasar yang jelas, setiap peperangan yang dinamakan Jihad harus mempunyai 1 niat yang Lillahita’ala, menegakkan kalimat Allah. Sedangkan apabila ada pertikaian antara 2 pihak yang berasal dari muslim maka perdamaian adalah yang lebih diutamakan. Inilah kesalahan Hasan Tiro, ketika ia mengatasnamakan Islam, konsep perjuangannya salah, yang akibatnya sungguh menyayatkan hati. Ketika konsep nasionalisme yang dia perjuangkan tidak semua orang Aceh suka dengan perjuangan dia, ironis bukan.

Kalau zaman Iskadar Muda Aceh dalam kejayaan, maka masa pemberontakan Hasan Tiro adalah masa-masa yang paling menderita buat rakyat Aceh karena kita telah kehilangan generasi penerus, kehilangan 1 generasi untuk memperlihatkan bahwa orang Aceh itu adalah sebuah bangsa yang diperhitungkan, akan tetapi saat ini adalah sebuah bangsa yang hanya pandai memberontak. Sebagai bukti cobalah lihat anggota-anggota GAM, kebanyakan tidak berpendidikan dan tidak mempunyai life skill, karena perekrutannya lama-kelamaan adalah orang –orang yang menjadi korban perang, bukan kaum intelektual yang bersifat independent dan bebas. Apapun yang diawali dengan dendam maka hasilnya tentunya tidak akan baik.

Bukti apa lagi yang harus saya buktikan bahwa saya orang Gayo asli, saya tidak tahu, apakah karena saya tidak mendukung GAM maka saya bukan orang Gayo asli. Pikiran anda sangat picik, ada baiknya anda mencuci muka terlebih dahulu dan mempertanyakan diri anda apakah dengan ikut GAM itu anda berarti telah menjual penaringen datum ni dengan harga yang amat murah.

Mana yang lebih Gayo, mereka yang mau berdiri diatas kakinya sendiri, melawan pemberontak atau mereka yang mau berlindung di ketiak Aceh Merdeka.

Yang menjadi tidak habis pikir adalah ketika orang Gayo tidak mau untuk memperjuangkan ALA, inilah yang saya pertanyakan kenapa ? Padahal ini adalah jembatan emas untuk menuju perbaikan orang-orang Gayo, banyak konsep yang bisa diterapkan, banyak hal yang bisa dikerjakan.



Berijin.

Kosasih Bakar

www.cossalabu. blogspot. com

08 Desember 2008

Partai Aceh VS PKS

Kepada rakyat Aceh sudah saat nya untuk berpikir merdeka dan kedepan, ketika tsunami tiba siapa yang telah membantu kita semua rakyat Aceh, ada dari PKS, FPI, dan ormas Islam lainnya, jangan ada lagi sebuah kebohongan lagi untuk disebarluaskan, tiba saatnya untuk bersaing dengan elegan.

Kalaupun anda melakukan black campaign gunakan cara yang beanr, paki hujjah, jangan asal ngecap aja. Bung Moderator sekali lagi, jadikan mailing list ini bermakna.

Bayangkan kalau orang PKS katakan bahwa Partai Aceh/GAM hasil darah rakyat Aceh (hujjahnya karena Partai Aceh merupakan kepanjangan dari GAM yagn tidak semua rakyat Aceh setuju dengan pola perjuangannya, Partai Aceh/GAM merupakan manifesto perjuangan Islam yang bodoh (hujjahnya dengan telah menghalalkan darah sesama muslim untuk perjuangan ashobiyah), Partai Aceh/GAM berisikan orang-orang yang tidak intelek karena hanya bisa pegang senjata (hujjahnya karena anggotanya kebanyakan korban perang dan tidak punya kecakapan hidup untuk bertahan dalam kehidupan normal),

Partai Aceh/GAM hanya bisa melakukan intimidasi karena tidak dapat melakukan kampanye simpatik dan elegan atau Partai Aceh/GAM telah melakukan ketidakadila karena menggunakan dana BRR bagi kampanyenya (hujjahnya BRR membantu KPA dan KPA adalah cikal bakal Partai Aceh).

Jadi ketika anda melakukan black campaign lakukan dengan benar, tunjukkan Partai Aceh itu adalah Partai yang cerdas bukan dengan caci maki dan intimidasi. Gunakan program anda untuk merangkul rakyat Aceh, bukan dengan mengedepankan rasa bangga bahwa karena GAM ada perdamaian di Aceh, tapi sesali dengan pemberontakkan GAM beberapa generasi Aceh mengalami kemunduran yang luar bisa, PERANG BODOH.Sebenarnya ada sesuatu yang menarik bagi teman-teman yang merupakan lawan dari Partai Aceh, anggap saja saya sebagai lawan dari Partai Aceh, anggap saja saya sudah mengambil posisi saya saat ini, walaupun saya sama sekali bukan berasal dari partai manapun. Tapi ini saya harapkan dapat menjadi masukan bagi Partai anda.

Isu yang menarik dari mailing list yang dibanggakan ini setelah saya perhatikan hanya satu untuk setiap segala persoalan yang keluar, dan menurut saya ini amat memalukan bila memang mailing list ini adalah mailing list para penulis handal sampai-sampai seorang Yusran Habib wajib mengirimkan setiap tulisannya ke sini. Isu itu adalah DEVIDE ET IMPERA atau PEMECAH BELAH.

Sekarang ini bila ada perbedaan pendapat pada beberapa posting dengan kepentingan GAM atau Partai Aceh maka akan di bawa ke dalam isu tersebut, tanpa lagi menggunakan hujjah yang jelas.

Saya tegaskan kepada anda semua yang menggunakan isu ini, bahwa ini akan sia-sia, karena ini semakin menunjukkan kebodohan anda sebagai pengelola isu, anda akan dikatakan sebagai orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan dalam melakukan hujjah dengan baik.

Atau saya akan ungkapkan apa yang selanjutnya terjadi ketika isu ini terus diangkat sebagai 'Sapu Jagad' mailing list yang dihormati ini, sekaligus ini menjadi masukan bagi moderator.

Pertama, Partai Aceh atau GAM semakin lama akan terlihat sebagai Partai yang berpikiran sempit, tidak bisa menerima perbedaan pendapat yang ada, seolah-olah yang benar hanya Partai Aceh. Tapi permasalahnnya adalah bahwa saat ini bukan zamannya intimidasi lagi, orang Aceh semakin pintar, malah yang akan semakin terlihat adalah Partai anda adalah Partai Kerdil.

Kedua, orang-orang akan semakin mempertanyakan nilai-nilai perjuangan yang anda punyai, mulai bertanya-tanya apakah Partai anda mempunyai agenda yang disembunyikan dalam perjuangannya.

Ketiga, kami semua tentu sudah sangat mengerti tujuan anda, bila setiap ada perbedaan anda mengatakan Devide Et Impera, lantas kemudian Partai anda akan dikenal sebagai Partai Anti Devide Et Impera atau Partai Anti Pecah Belah dengan tujuan Hanya Menjadi Partai Milik Rakyat Aceh saja. Akan tetapi orang-orang akan semakin takut dengan partai anda sebagai Partai Eksklusif, Partai yang tertutup, bila ini terjadi rakyat Aceh hanya pada awalnya saja akan mengikuti Partai anda, akan tetapi lama kelamaan akan menjauhi Parta anda, karena basis perjuangan anda yang lemah dan penuh dengan bolong-bolong. Seperti yang pernah saya ungkapkan dalam email saya terdahulu ketika PKS menganggap anda sebagai Partai apa.

Keempat, fanatisme yang kemudian anda angkat sesungguhnya hanya akan membawa anda ke dalam pola pikir yang sempit, hanya akan menarik suara yang kecil. Seharusnya anda belajar dari metode kampanye anda dengan menghadirkan Hasan Tiro yang ternyata tidak terlalu signifikan, khususnya di daerah ALA dan ABBAS. Bahkan saya yakin anda juga tahu bahwa yang datang melihat Hasan Tiro bukan orang yang mau memilih Partai Aceh, akan tetapi orang-orang yang hanya ingin melihat Hasan Tiro saja, terlebih lagi wilayah perkotaan adalah lebih terpelajar dibanding pedesaan.

Selamat menjalankan program Devide Et Impera anda, dan selamat menerima kekalahan, karena program ini hanya cocok untuk jangka pendek ketika waktu pemcoblosan sudah dekat, namun bila masih jauh maka anda akan lihat ini akan menjadi bumerang bagi Partai anda, karena Partai lain tentunya sudah mempersiapkan strategi lain.

Saya juga ingatkan kepada partai lain agar tetap menggunakan Islam sebagai kampanye anda, karena inilah inti Aceh sampai kapanpun.

Berijin

04 Desember 2008

Selamat Ulang Tahun Deklarasi Pemekaran ALA dan ABBAS

Tepat saat ini kita memperingati 2 kejadian yang amat dinantikan oleh rakyat Aceh, baik bagi mereka yang pro Kemerdekaan dan pro Pemekaran Wilayah, tepat pada hari ini tanggal 4 Desember 2008.

Tepat hari ini juga setlah sekian lama saya mengikuti mailing list ini saya mencoba menceritakan pandangan-pandangan saya tentang keadaan Aceh pada saat ini.

Aceh tempo Dulu dan Sekarang

Sudah sejak puluhan tahun yang lalu Aceh selalu dalam ketidakamanan, saya akan membaginya menjadi beberapa bagian. Sejak zaman Iskandar Muda dan seterusnya selalu dipenuhi dengan pertikaian yang terjadi antara sesama penguasa atau antara penguasa dengan bangsawan, sudah sejak lama terjadi. Naiknya seorang Sultan Iskandar Muda juga penuh dengan intrik dalam perebutan kekuasaan begitu juga setelahnya sampai dengan hilangnya Kesultanan Aceh kembali menjadi Kerajaan-Kerajaan Kecil seperti Kerajaan Pasai, Kerajaan Pidie dan Kerajaan di dataran tinggi Gayo.

Kesultanan Iskandar Muda bisa bertahan lama karena persatuan keimanan yang kuat pada rakyat Aceh untuk bertahan dari serangan kuffar Portugis dan Eropa lainnya, sekaligus kepemimpinan dari Iskandar Muda yang memang keras pada masa itu. Di sejarah dikatakan bahwa ia bisa membunuh para bangsawan yang sudah tidak lagi lebih memperhatikan rakyat Aceh, juga dengan militer yang amat kuat waktu itu untuk menjaga kewibawaan dari Sultan Iskandar Muda, sebuah sistem pemerintahan modern yang bersinergi antara Sipil dan Militer, sehingga keamanan dapat terjaga dengan baik.

Dilanjutkan pada masa penjajahan Belanda, kembali Aceh dalam pergolakkan ketika masa penjajahan Belanda, bahkan seorang Yusran Habib, orang Gayo sekaligus teman dekat Hasan Tiro menulis secara khusus tentang perjuangan dari Tengku Cik Di Tiro dan keluarganya. Pada masa-masa ini semua rakyat Aceh kembali tanpa sebuah kesultanan yang besar bersatu padu hanya dengan satu tujuan, perang suci, JIHAD, membunuh Kuffar Penjajah Belanda. Timbullah pemimpin-pemimpin lokal seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, Aman Dimot, dsb.

Lantas sejarah berlanjut dengan masa transisi kemerdekaan NKRI, Aceh bersatu dengan NKRI melawan Belanda yang pada waktu itu tokohnya adalah Daud Beureuh, seorang tokoh agama yang mempunyai pemikiran agama yang dalam. Beliau lebih mendahulukan kepentingan agamanya dibandingkan dengan kekuasaan (lihat di www.blogspot.com dengan judul 'Perbedaan Hasan Tiro dan Daud Beureuh"), ketika dalam pemberontakkan yang dilakukannya lebih kepada memperjuangkan syariah Islam berdiri di Aceh, sehingga ia bergabung dengan daerah lain di Indonesia untuk membentuk NII. Dalam akhir perjuangannya ia mengumpulkan semua rakyat Aceh untuk kembali ke saudara seimannya NKRI, walau ia sadar banyak hal yang membuat ia kecewa dengan Soekarno pada waktu itu, hanya karena keimanan itulah ia bisa bersatu kembali. Hal yang baik adalah ketia ia mengumpulkan semua rakyat Aceh di Blang Padang untuk bermusyawarah mengambil keputusan tentang hubungan Aceh dengan RI, yang berujung berdamai dengan NKRI.


Sejarah kemudian dilanjutkan dengan pemberontakkan yang dilakukan Hasan Tiro, yang berawal dari penilaian beliau bahwa ada ketidakadilan dari Pemerintah NKRI dengan tidak mengikutsertakan rakyat Aceh dalam Proyek Arun, ia merasakan bahwa dengan hal seperti ini maka pelecehan kembali dari RI kepada rakyat Aceh. Padahal waktu itu ia merupakan salah satu kader NKRI ke depan dengan disekolahkan oleh uang negara, ia seorang Dubes dari NKRI. Selama puluhan tahun terjadi pemberontakkan dengan mengedepankan konsep perjuangan kebencian kepada satu suku (Indon – Jawa), ini yang selalu dikedepankan dalam perjuangan mereka, puluhan ribu orang telah meninggal dunia, ratusan ribu orang dalam tekanan, jutaan orang meneteskan air mata, puluhan juta orang terprovokasi atau tergugah atas nama perang yang menginginkan kemerdekaan tersebut. Sudah begitu banyak yang dilakukan cara untuk mendamaikan perang tersebut, sudah begitu banyak fasilitator yang mencoba menengahinya, yang akhirnya berujung kepada MoU Helsinky.

Perjanjian yang menurut Yusran Habib, draft finalnya baru dibaca oleh Hasan Tiro ketika akan ditandatangani. Perjanjian yang isinya lebih menguntungkan anggota GAM pada Bab tentang Reintegrasi anggota GAM, dimana setiap anggota GAM didahulukan untuk mendapatkan rumah, tanah dan materi lainnya selain membentuk KPA sebagai wadah untuk kepentingan-kepentingan tersebut yang dananya berasal dari BRR. Implikasinya dapat terlihat sekarang adalah bahwa setiap Panglima Sago sudah memiliki mobil mewah, rumah dan perkebunan, tapi bukan lebih mementingkan kepentingan rakyat Aceh. Belum lagi point-point lain yang bisa diprediksikan bahwa MoU ini selain hanya menguntungkan GAM juga berindikasikan akan memasukkan GAM ke dalam lubang kehancuran yang mau tidak mau dibangunnya sendiri, seperti indikasi GAM menuju kemerdekaan dengan KPA, Partai Lokal, Deklarasi Kemerdekaan (lihat di www.cossalabu.com dengan judul “Strategi GAM”). Ini hampir sama dengan kejadian pemberontakkan GAM yang ternyata mengakibatkan hampir tebunuhnya Tengku-tengku yang mempunyai wawasan ilmu yang luas karena dianggap memberontak melalui GAM. Ketidaksabaran-ketidaksabaran inilah yang seharusnya dipikirkan oleh petinggi GAM, karena ujungnya adalah kembali ketidakamanan bagi rakyat Aceh menjadi korban konflik kembali.

Penduduk Aceh (bisa dilihat www.cossalabu.blogspot.com dengan judul ”Filosofi Kata Aceh Masih Dipertanyakan”)
Setiap keluarga di Aceh sudah barang tentu tidak menginginkan terjadinya perang lagi, sudah cukup generasi penerus kita disuguhi oleh perang dan dendam, yang mengakibatkan generasi penerus Aceh semakin terpuruk, inilah yang dikatakan sebauh cara sistematis untuk membodohi rakyat Aceh secara sadar atau tidak sadar kita menuju kearah sana.
Semua orang tahu bahwa potensi rakyat Aceh luar biasa, saya sangat terprovokasi denga tulisan-tulisan Yusran habib Abdul Gani, ia yang begitu bangga menjadi seorang Aceh sekaligus bangga menjadi orang gayo. Aceh itu sesungguhnya sudah tidak ada lagi yang dikatakan sebagai suku asli (dari keling, Gujarat, Tamil, Ruum, Arab, Melayu, Jawa, Batak, Jamnee), perbedaannya hanyalah kepada budaya dan bahasa mereka serta populasi terbesar yang ada pada mereka. Yang mengatakan orang Aceh hanya karena ia panda berbahasa Aceh dan menggunakan adat Aceh dalam kesehariannya, yang mengaku gayo sesungguhnya mereka yang dominant berasal dari Melayu, juga hasil perpaduan berbagai suku saat ini yang menggunakan adat dan bahasa gayo, yang dari suku Jamnee karena ia berbahasa dan menggunakan bahasa Jamnee.
Namun apabila mereka dikatik-kaitkan tentunya sudah tidak ada lagi yang suku asli dari mereka, keberagaman Aceh inilah yang membuat kita menjadi semakin cerdas, dalam ilmu genetika semakin banyak perpaduan sebuah suku akan melahirkan manusia-manusia cerdas, ini pulalah yang membedakan pendudukan Aceh pada zaman Iskandar Muda dengan penduduk daerah Sumatera lainnya.

Namun demikian, karakteristik penduduk Aceh adalah begitu heterogen sehingga akan sulit untuk bisa menjadi satu saat ini, karena sifat mereka yang keras serta diantara mereka terlalu mengangkat nilai kesukuan mereka dengan terlalu tinggi. Bahkan perang yang terjadi sekarang ini telah terlalu berbekas kepada rakyat yang tidak mendukung GAM, sebagai contoh rakyat Gayo, Meulaboh dan Tapak Tuan, banyak dari mereka yang merasa menjadi korban dari TNI dan GAM, karena mereka lebih memilih untuk diam atau lebih memilih untuk tidak mengikuti GAM.

ALA dan ABBAS adalah SOLUSI
Hal yang membuat rakyat Aceh semakin terpecah belah adalah karena adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kita semua sudah mengetahi bahwa memang ada perseteruan tradisional sejak zaman nenek muyang dahulu, yang bisa mulai diindikasikan dari sejarah yang agak jelas pada zaman Iskandar Muda kemudian yang semakin pudar kejayaan Aceh. Kepemimpinan yang keras saja yang mampu membuat rakyat Aceh itu menjadi bersatu serta mengatasnamakan keimanan dan persaudaraan sesame muslim yang membuat bersatu rakyat Aceh.
Perseteruan-perseteruan itu sudah dapat dilihat dari permasalahan perbedaan bahasa, yang menggambarkan dengan jelas ada perbedaan antara Aceh dengan Gayo yang tidak bisa dimungkiri,begitu juga halnya Aceh dengan Jamnee, factor-faktor seperti ini jelas tidak bisa dianggap tidak ada, karena berpengaruh amat besar dalam kehidupan.
Ini semakin meruncing ketika GAM mencoba untuk merangkul semua rakyat Aceh untuk membantu mereka dalam memerdekakan diri, namun ternyata tidak mendapat dukungan seperti yang mereka harapkan. Ini terjadi karena konsep perjuangan mereka yang tidak bisa diterima oleh rakyat Aceh pada umumnya, mereka lebih mengedepankan permusuhan dengan Jawa – Indon. Seharusnya GAM sadar bahwa untuk lebih merangkul rakyat Aceh bukan dengan perjuangan yang diatasnamakan Jihad, bukan ketidapuasan saja, karena rakyat Aceh itu sudah terbiasa dengan konflik antar golongan atau tingkatan social dan mereka amat menikmatinya, tapi jika dengan Jihad mereka akan berusaha sampai dengan tetesan darah terakhir mereka.
Ketika GAM memaksakan kehendaknya maka yang terjadi adalah mereka lebih mementingkan golongan mereka, rakyat gayo lebih mementingkan keamanan pada daerah mereka dibandingkan harus ikut konflik yang menyengsarakan mereka, rakyat Jamnee amat kesal dengan limpahan orang-orang GAM ke daerah mereka padahal mereka tidak menyetujui perjuangan ini. Ketika ini semua terjadi maka semakin nyata-nyata korban konflik yang terjadi, di Gayo timbul milisi yang berasal dari Gayo dan Jawa untuk mempertahankan diri mereka dari GAM, tentunya berafiliasi dengan TNI, lantas mereka mengusulkan juga dengan pemekaran Provinsi ALA. Di Jamnee atau Barat Selatan mereka menyimpan api dalam sekam yang kemudia meletus dengan pengusulan adanya provinsi baru ABBAS.

Tidak Setuju Pemekaran
Alasan Pertama, Aceh adalah milik Gayo, jadi tidak ada alasan kalau kita memisahkan diri, jujur saja saya juga dulu berpendapat seperti ini, sampai-sampai ama, ine, pak cik dan pun-pun saya tentang dengan hujjah seperti ini. Saya teringat bahwa pernah mengatakan kepada Pun saya, dengan nada keras “Cik, enti anggap lemah urang Gayo ni, kite si empun tempat, hana kati kite mulepas daerah si kite kuasai. Sawah ku ujung langit pe muyang datun te gere perah ijin kin pemekaren ni.” Waktu itu sampai merinding saya mengatakannya, karena ketidaksukaan dengan isu pemekaran ini.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu saya berpikir keras, kebetulan saya tinggal di Jakarta, bekerja di salah satu Departemen Pemerintah dengan anggaran yang paling tinggi saat ini. Saya juga sering mendampingi atasan saya melakukan kunjungan ke berbagai daerah, dan kebetulan ia senang mengunjungi daerah-daerah yang tertinggal. Saya pernah mengunjungi seluruh wilayah NTT dalam 2 kali kunjungan kerja, saya sangat miris bagaimana daerah kota di NTT lebih bagus dengan kecamatan yang ada di Jawa. Saya juga ke Papua, Kalimantan, Sulawesi dan banyak lagi, sepertinya hampir setiap provinsi di Indonesia saya pernah kunjungi.

Tiba-tiba kesombongan saya itu runtuh, saya baru sadar bahwa sekarang zaman sudah berbeda, sudah tidak ada lagi Raja Gayo yang kita banggakan sebagai penguasa Sumatera, saya seperti sadar baru menginjak bumi, sekarang ini adalah menghadapi kenyataan yang ada untuk memperbaikinya. Pola pikir saya langsung berubah, tiba-tiba saya sadar bahwa dengan daerah saya Gayo pun tidak lebih baik dari daerah-daerah yang saya kunjungi, utamanya kampong halaman saya.

Lantas saya teringat bahwa pada daerah-daerah pemekaran yang saya kunjungi, ternyata ada yang sedemikian maju seperti Banten dan Gorontalo, mereka begitu menggeliat dengan pembangunannya. Begitu juga dengan Bangka Belitung. Belum lagi pada beberapa Kabupaten/Kota seperti di NTT, terlihat bahwa Kabupate/Kota pemekaran tersebut selalu berusaha untuk menggeliat mencapai apa yang mereka perjuangkan dengan adanya pemekaran tersebut. Namun demikian saya juga menyadari ada beberapa daerah yang belum bisa dengan optimal melakukan pembangunan. Saya pun lantas mempelajari kenapa mereka berpisah, ternyata salah satunya adalah karena perbedaan budaya dan kultur, bahkan diantara mereka juga berucap seperti yang Edi Kelana katakan. Seperti saya teringat orang Banten mengatakan bahwa sesungguhnya Jakarta itu dulunya ada di bawah kekuasaan Kerajaan Banten, seharusnya mejadi milik Banten. Atau ketika orang Betawi berkata dengan sombongnya saya pemilik Jakarta, namun pada umumnya mereka amat tertinggal dari segala aspek kehidupan dibanding dengan orang pendatang ke Jakarta.

Inilah yang saya takutkan bila kita tidak segera melepaskan diri dari tekanan-tekanan, kebebasan kita untuk segera bangkit dan dapat membangun orang Gayo.
Lantas saya mengambil kesimpulan bahwa pemekaran tidak harus sama dengan wilayah yang dipunyai karena perkembangan zaman, akan tetapi ada juga diakibatkan oleh ikatan-ikatan perbedaan kultur yang memang bila disatukan akan menjadi permasalahan. Kelemahan dari intelektual kita adalah mencoba mengignore ini semua, padahal ini berdampak kepada keamanan dan percepatan pembangunan yang dilakukan, atau dapat dikatakan ‘feel like home’. Allah saja tidak pernah mengatakan kita harus satu akan tetapi lebih untuk saling mengenal.

Saya juga tidak bisa salah bagi orang-orang yang tidak menganggap ini menjadi masalah, tapi seperti yang dituliskan Win Wan Nur bahwa memang kita sudah tertekan, kita merasa ada di rumah orang padahal ada dirumah sendiri, tragis bukan.

Kedua, Pimpinan Daerah, mereka beralasan bahwa pemekaran ini hanya kepentingan segelintir elit politik saja, mereka yang mau menjadi pejabat pada daerah pemekaran.
Untuk alasan yang satu ini saya hanya bisa tertawa, sekarang ini adalah zamannya PILKADA, siapapun yang mau jadi pimpinan silahkan pulang dan berlomba-lomba untuk meyakinkan rakyat bahwa mereka bisa jadi pemimpin. Bahkan ada sisi baiknya disini, Gubernur dan Wagub serta pejabat-pejabatnya adalah orang Gayo, atau yang mengaku orang Gayo atau yang bisa berbahasa Gayo atau yang berbudaya Gayo. Sudah barang tentu mereka akan lebih focus untuk membangun daerahnya sendiri dengan sebaik-baiknya.

Sedangkan mengenai perebutan kekuasaan disana dari masing-masing suku, rasanya bukan masalah besar, karena kita menggunakan bahasa dan adat yang sama.

Ketiga, otonomi daerah, ada benarnya bahwa sekarang zaman otonomi daerah Pemerintah Kabupaten/Kota lebih berkuasa atau wewenang, tapi jangan lupakan juga kalau wewenang seorang Gubernur amat besar dalam menyalurkan dana Dekon serta menyampaikan kebijakan-kebijakan dari Pusat. Saya tahu betul, saat ini dalam APBN kami dimarahi oleh DPR, mereka mengatakan sudah tidak diperbolehkan lagi mengalirka dana langsung ke Kabupaten/Kota, semuanya harus ke Provinsi terlebih dahulu. Ini semua akibat anggapan dari Pusat bahwa terlalu jauh tangan Pusat untuk bisa mengawasi Kabupaten/Kota, intinya adalah mencoba untuk membangun kembali kewibawaan dari Provinsi.

Nah, bila ini terjadi alangkah baiknya kalau orang Gayo punya Provinsi sendiri, selama ini jelas kita selalu ketinggalan dari berbagai kebijakan Pusat, bahkan untuk aliran dana saja daerah ALA selalu ketinggalan, ini juga tidak terlepas dari perseteruan tradisional sejak zaman nenek muyang kita dahulu. Kita harus ingat bahwa bila nenek muyang mereka membunuh atau menipu nenek muyang kita tentu aka nada pengaruhnya kepada kita.

Yang terpenting lagi adalah kita bisa mengelola SDA di Gayo yang banyak ini, keamanan di Gayo bukan karena GAM, tapi ada pada orang Gayo sendiri. Kalau GAM berontak lagi kita akan bisa mendongakkan kepala kita, kita punya tentara sendiri. Dan lagi perputaran uang akan lebih banyak di Provinsi ALA.

Keempat, minorities within minorities, hal ini tidak akan mungkin terjadi, rasanya orang Gayo sudah cukup teruji dengan hal ini, dengan karakter terbukanya sejak zaman Kerajaan Linge sampai saat ini. Rasanya tidak ada satu suku pun yang bisa seterbuka suku Gayo, mereka bisa beradptasi dengan Batak, Padang, Jawa, Bugis, China bahkan Aceh sekalipun, walau pun dengan Aceh memang tidak bisa sepenuhnya. Terlebih lagi karakteristik antara Gayo dan Aceh itu jauh berbeda. Karakteristik orang yang berasal dari Melayu tentu berbeda dengan orang yang berasal dari Tamil.

Saya yakin tidak akan terjadi kalau pemekaran ALA lantas semua orang Aceh kemudian dibunuh, seperti halnya GAM membunuh orang Jawa dan Gayo di Aceh Tengah, ada yang unik dari orang Gayo. Keislaman mereka selalu dinomorsatukan, malu mereka selalu dinomorsatukan. Ini pula yang menyebabkan ketika Daud Beureuh ia berjuang lama di dataran tinggi Gayo, karena ia membawa kalimat Laa Ilaha Illallah, ini juga yang menyebabkan perjuangan GAM tidak di dukung oleh orang Gayo, karena perjuangan mereka tidak karena kalimat itu, hanya karena ketidakpuasan pada awalnya.

Sebagai contoh, kita lihat bagaimana orang Gayo tidak pernah demo karena harga bensin naik, waktu DOM bahakan pokok langka, mereka semua tenang-tenang saja, inilah keunikkan Gayo yang saya juga agak heran sampai sekarang. Mereka lebih mementingkan perdamaian di Gayo, inilah yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Gayo sekarang ini, daripada berafiliasi dengan GAM mereka memilih berafiliasi dengan TNI, mereka sadar dengan sifat dari orang Gayo, bukan seorang pemberontak yang bodoh. Tapi jika diajak dengan kalimat Syahadat, baru bisa dilihat bagaimana orang Gayo marahnya.

Untuk ketakutan kita terhadap suku Jawa yang menguasai daerah Gayo rasanya terlalu berlebih-lebihan, dan ini adalah amat berbahaya apabila dipermasalahkan hingga menimbulkan konflik horizontal. Karena rasanya sekarang ini banyak sudah perkawinan silang antara suku Gayo dan Jawa. Rasanya sudah terlambat atau adalah salah jika tema ini disebarluaskan, karena tidak aka nada artinya. Mereka sudah lama terikat dalam satu penderitaan ketika DOM, setiap aksi atau provokasi yang mencoba mengadudomba mereka hanya akan membuat ketidaknyamanan di Gayo, bahkan bisa jadi kemudian mereka mengatakan ini adalah aksi GAM yang tidak mau melihat Gayo aman dan damai.
Kemudian saya juga bisa katakan bahwa suku Jawa itu bukanlah sebuah suku yang suka melakukan kekerasan atau pemberontakkan seperti halnya suku Aceh, mereka relative lebih bisa tunduk dengan kebudayaan setempat, bila kita dapat memimpin atau memeberikan tempat kepada mereka mereka sepertinya akan menjadi teman yang baik, mereka punya loyalitas atau seperti Bang Win Wan Nur katakan ‘Feodal’. Sedangkan dengan Aceh, saya yakin kita akan selalu bertarung dalam hati kita dengam mereka, karena ini terjadi sejak nenek muyang kita.

Setuju Pemekaran
Alasan pertama, bisa mengangkat harkat, martabat dan marwah orang Gayo. Keyakinan mereka dengan lahirnya pemimpin-pemimpin Gayo yang berasal dari Gayo sudah barang tentu akan lebih memikirkan orang Gayo dengan lebih maksimal. Mereka mempunyai keyakinan bahwa siapapun Gubernurnya dengan segala macam kejelekkannya bila berasal dari Tanoh Gayo sudah barang tentu akan berpikir untuk orang Gayo, kasarnya untuk urangnya pasti dipikirkannya.

Yang lebih mereka pikirkan lagi adalah timbul-timbul pejabat yang berasal dari Gayo, dan sudah barang tentu ini akan membuat percepatan-percepatan SDM yang harus dilakukan. Seorang Gubernur Gayo tentunya harus mulai berpikir seperti seorang Gubernur mau tidak mau, ia harus mempersiapkan kapasitasnya sebagai seorang Gubernur, begitu juga dengan pejabat lainnya.
Anak cucu kita akan bangga dengan ini semua, bahkan mereka kemudian bercita-cita menggantikan senior-seniornya, ada peluang besar ke situ. Setiap orang akan bangga dengan Gayonya.

Yang lebih menguntungkan lagi adalah kita bisa dengan lebih leluasa melakukan penelitian-penelitian tentang sejarah Gayo, dan mengaktualisasikannya sebagai eksistesi orang Gayo, bahkan memperkuat adat Gayo yang menjalankan syariat Islam sejak ratusan tahun lalu.

Sekali lagi untuk orang Jawa, saya akan memperlihatkan sebuah Provinsi Lampung yang notabene hampir 60% jawa, tetap Gubernur mereka orang Lampung asli, inilah salah satu keunikan orang Jawa.

Terlebih lagi suku Gayo adalah salah satu suku yang selalu berhasil perpaduan budaya dengan suku manapun, sebagai contoh di Aceh Barat dan Aceh Selatan bahasa padang tidak hilang dari kehidupan mereka, ini menandakan bahwa Aceh tidak pernah bisa memenangkan budaya mereka terhadap suku Jamnee. Lihat di Gayo, Aceh Tenggara yang merupakan perpaduan Aceh dan Padang, bahasa Padang hilang digantikan dengan bahasa Gayo.

Selain itu, sudah barang tentu pada awal-awal pemerintahan orang Gayo akan memimpin ALA selama beberapa generasi, kita dapat mempersiapkan mereka, generasi Gayo, dengan lebih baik lagi tentunya.

Terakhir, masa yang akan datang, bukan suku lagi yang dipikirkan orang tapi bagaimana semua menjadi sejahtera, Islam menjadi tujuan. SBY yang pernah ke Gayo mengatakan bahwa Gayo adalah Indonesia Mini di Indonesia, maka jadikan Gayo sebagai sebutan bagi orang-orang yang mengikuti adat Gayo dan berbahasa Gayo.

Kedua, percepatan pembangunan, ini kiranya sudah jelas, seperti yang saya jelaskan pada awal tadi, bahwa ke depan untuk otonomi daerah peran daerah tingkat I atau Provinsi akan diperkuat, yang bertujuan memperkuat nasionalisme sekaligus mempermudah untuk melakukan pengawasan terhadap Kabupaten/Kota yang ada pada regional mereka. Atau bahasa kerennya adalah memperpendek rentang kendali.
Mau tidak mau SDM Gayo akan maju, baik dengan cara transfer knowledge dengan pihak luar, memperkuat pendidikan, membangun budaya lokal. Yang terpenting adalah SDA dataran tinggi Gayo bisa dikelola penuh oleh orang Gayo dan dipergunakan untuk kemashalatan orang Gayo. Yang saya herankan adalah ketika orang mengatakan bahwa orang Jawa akan membawa kekayaan Gayo ke Jawa, ini adalah sesuatu yang amat bodoh di era otonomi daerah.

Namun, hal itu bisa terjadi apabila Gayo terjadi konflik, kita jangan terprovokasi untuk hal ini. Salah satunya adalah dengan wacana Gayo Merdeka, ini amat berbahaya. Bila kita berkaca kepada Aceh, maka ada wacana bahwa GAM tersebut merupakan sebuah scenario untuk menghabiskan SDA Arun dengan mudah. Bayangkan, sejak Arun dimenangkan USA kemudian timbul pemberontakkan GAM yang sepertinya sama sekali tidak ada upaya yang serius untuk menggagalkan kekayaan alam tersebut di bawa ke USA, jelas sekali yang mendapatkan keuntungan besar dari proyek Arun adalah Exxon. Dalam pemikiran mudah kita, seharusnya target utama GAM adalah tidak berjalannya proyek Arun, kenyataannya sudah hampir habis SDAnya. Jadi adalah wajar ketika kita mengatakan bahwa ada main mata antara GAM, oknum TNI dan USA untuk menjadikan Aceh tidak aman sehingga bisa menggerus habis Arun sekaligus menghabiskan para Tengku yang berbahaya bagi Soeharto.

Begitu juga halnya bila Gayo Merdeka menjadi sebuah perjuangan, ini akan dianggap sebagai kaki tangan GAM. Salah satu tahapan dari Gerakan Gayo Merdeka (baca Kaki Tangan GAM) adalah dengan menjadikan konflik horizontal antara Gayo dan Jawa, dengan mengangkat kesukuan atau Chauvisme Gayo. Bayangkan ketidakamanan yang akan diderita orang Gayo dan tentunya orang Aceh (baca GAM) akan tertawa dengan riang, bahkan oknum TNI akan senang melihatnya, ada proyek penggerusan baru. Ini yang harus kita jaga.

Dengan ALA, semuanya akan menjadi lebih mudah, dengan ALA nasionalisme kita akan mendapatkan penghargaan dari NKRI, kesempatan membangun kita akan lebih besar, karena daerah Gayo terkenal sebagai daerah putih, atau daerah yang mendukung NKRI. Gayo akan aman dan anak cucu kita bisa menggapai cita-citanya.

Ketiga, keamanan, dengan ALA kita akan mempunyai teritori sendiri untuk mengamankan daerah kita, kita akan punya Kodam sendiri. Daerah konflik akan lebih mudah ditangani, GAM akan lebih mudah dibrangus. Rakyat Gayo sudah punya kepercayaan diri untuk menghancurkan GAM, mereka sudah punya kekuatan yang jelas dari TNI.

Bahkan dengan terbelahnya Aceh, maka yang bisa diprediksikan tidak ada lagi konsep Aceh Merdeka oleh GAM, semuanya gugur. Tidak perlu lagi rakyat Gayo menjadi korban dari PERANG BODOH selama puluhan tahun yang membuat rakyat Gayo menderita, terancam, terintimidasi, kekurangan pangan, sandang dan papan, kehilangan kepercayaan diri. Ini semua dapat kita hilangkan dengan pemekaran ini.
Tiga hal ini saja, maka dapat dipastikan Gayo sekarang akan berbeda dengan Gayo 10 tahun yang akan datang, kita akan lihat anak-anak kita menjadi seorang Profesor, kita akan lihat tenaga kerja yang baik, perkebunan yang aman, pendidikan yang maju, perekonomian yang bergerak.

Walau demikian pada 3 tahun pertama, merupakan masa-masa sulit, kita akan diuji dengan kemampuan kita untuk menjaga keamanan, salah satunya adalah GAM yang pasti akan menggagalkan ini, karena Aceh Merdeka akan hilang dari muka bumi ini. Selanjutnya dilanjutkan dengan kemampuan untuk menarik banyak investor, kemampuan untuk mencarikan formulasi yang terbaik sesuai dengan kondisi dataran tinggi Gayo yang tidak merusak alam dan menegakkan syariah Islam.

Kesimpulan
Kepada masyarakat Gayo, utamanya generasi mudanya mari kita berpikir luas dan tidak sempit, dengan ALA kita dapat membangun dengan cepat SDM dan mengelola SDA bagi SDM kita. Kita tidak akan lagi ketakutan dengan PERANG BODOH atau agenda-agenda Aceh Merdeka. Kita bisa membuktikan bahwa ALA bukan hanya mensejahterakan orang Gayo tapi segala suku yang ada di ALA dengan sebaik-baiknya, sebuah Indonesia Mini.
Kita tidak bisa mempercayakan nasib kita kepada GAM atau orang Aceh, kebencian mereka terhadap suku Jawa adalah luar biasa, bila ini kita biarkan maka sama saja kita bunuh diri menciptakan konflik pada daerah kita sendiri yang kemudian kita akan sesali.
Pemberontakkan tidak akan pernah menang sekarang ini, jangan samakan Aceh dengan Kosovo, Kosovo punya Rusia, itupun sulitnya bukan main. Siapa yang mau membela Aceh, Gayo saja tidak bisa mereka rangkul, tentu dunia internasional akan terus mempertanyakan hal ini.

Namun, kita bisa samakan Aceh dengan Tamil di Sri Lanka, dan ini memang nenek muyangnya.

Tapi kita tidak bisa samakan Aceh dengan Khasmir di India, Poso di Fhilipinna, Chencya di Rusia, Moro di Thailand, apalagi Hamas di Palestina. Mereka memperjuangkan nasionalisme dengan menghalalkan darah sesame muslim, sehingga hanya membuat murka di sisi Allah.

SELAMAT ULANG TAHUN UNTUK DEKLARASI PEMEKARAN ALA DAN ABBAS, SEMOGA RAKYAT ACEH SEMAKIN MAJU KEDEPANNYA.