28 Maret 2009

Jika Pluralisme Menguasai Aceh

Saat ini di Aceh berkembang berbagai ideology yang diusung oleh partai-partai, baik partai lokal (parlok) maupun partai nasional (parnas). Ideologi yang diusung antaranya adalah sosialisme, nasionalisme Aceh, nasionalisme Indonesia, demokratisme, islam dan lain sebagainya yang menawarkan berbagai perspektif masing-masing dalam memajukan Aceh.
Namun, seringkali dilupakan oleh Pemerintah Aceh adalah bahwa sekarang ini Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang menegakkan syariat Islam, tentunya peran agama Islam juga seharusnya amat mempengaruhi demokrasi yang saat ini ada di Aceh. Peran Islam seharusnya menjadi yang terdepan dan tidak terkalahkan dengan peran-peran lainnya.
Sebagai salah satu contoh adalah sebuah partai lokal yang mengusung sosialisme pluralisme, sebuah tawaran untuk membawa Aceh ke dalam perubahan-perubahan seperti penguasaan terhadap aset nasional bagi kepentingan rakyat Aceh, persamaan hak setiap komponen dan golongan masyarakat yang terkadang tanpa batasan, dan lain sebagainya. Ada juga sebuah partai yang membawa ideology nasionalisme Aceh dengan begitu kuat, partai yang mungkin kepanjangan dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang hampir kurun 30 tahun telah berusaha menanamkan pengaruhnya di Aceh dengan mengangkat isu kemerdekaan Aceh serta konsep Penjajah Jawa – Indon. Belum lagi partai-partai nasionalis yang mengangkat isu nasionalisme dalam kerangka NKRI, peran NKRI dalam menjaga perdamaian dan lain sebagainya. Kemudian juga partai-partai ideology Islam juga ikut dalam pemilu tersebut dengan isu-isu penegakkan kembali syariat Islam di Aceh, pemberdayaan rakyat Aceh menjadi lebih mandiri dan lain sebagainya.
Maka hari ini rakyat Aceh seringkali diminta untuk melihat kampanye-kampanye, jargon-jargon, janji-janji, bermacam ideology pilihan, tawaran materi, dan masih banyak lagi yang mencoba mengajak rakyat Aceh ke dalam pemikiran mereka masing-masing.
Sejarah Aceh Dalam Syariat Islam
Sejarah Aceh sudah membuktikan bahwa sesungguhnya Aceh sejak berabad-abad dulu dan besar dengan syariat Islam, seperti yang pernah dikatakan oleh Tengku Daud Beureuh bahwa Syariat Islam di Aceh sudah berjalan selama berabad-abad dan sesuai dengan kultur rakyat Aceh. Sejarah Aceh juga telah memperlihatkan bahwa Aceh bisa sedemikian ditakuti oleh asing seperti Belanda dan Jepang atau Portugis atau penjajah lainnya, seperti yang kita ketahui dengan ‘Perang Sabilnya”. Dalam buku “Sejarah Aceh” karya Dennis Lombart diceritakan bagaimana seorang Belanda ditanyakan ingin masuk Islam atau tidak ? Dengan tawaran ini ia diancam akan dibunuh jika menolak untuk masuk ke dalam agama Islam. Atau dalam “Kekeberen”, bagaimana akhirnya anak dari Reje Linge berhasil merebut Kute Reje dari seorang Ratu China, yang kemudian mengajaknya masuk Islam atau akan membunuhnya, yang akhirnya menjadi istri dari anak Reje Linge tersebut dan memimpin kerajaan di Kute Reje.
Aceh dikenal sebagai tempat perdagangan yang mandiri dan punya nilai tawar serta punya kehormatan di masa lalu yang ditandai dengan hubungan komunikasi antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan-kerajaan di Eropa dan China, penghormatan-penghormatan yang diberikan terhadap Aceh juga terlihat dari kemampuan kerajaan Aceh untuk dapat menyebarkan pengaruhnya pada pesisir timur Sumatera dan selat Malaka.
Aceh juga dikenal dengan peperangan-peperangan dalam merebut kekuasaan pada internal mereka masing-masing, perebutan kekuasaan atau pengaruh antara para Penguasa dengan para Pedagang, dalam buku Dennis Lombart dan Hikayah Aceh juga terlihat bagaimana Sultan Iskandar Muda membunuh para pedagang yang sudah tidak lagi berorientasi kepada rakyat dalam segala jerih upayanya untuk berusaha. Atau kisah Perang Tjambok, peperangan antara Tengku dengan Teuku atau Penguasa atau para Pedagang, kesemuanya memperlihatkan bagaimana pluralisme Aceh masih dalam kerangka syariat Islam.
Bahkan uniknya lagi, salah satu hal yang membuat Gerakan Aceh Merdeka mendapatkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat adalah juga sebuah keinginan untuk menegakkan syariat Islam di Aceh, mendirikan Negara Islam Aceh.

Aceh Kini
Setelah selama 30 tahun dalam konflik yang berkepanjangan yang di canangkan oleh Hasan Tiro rakyat Aceh hidup dalam tekanan dan intimidasi baik dari GAM yang menginginkan kemerdekaan maupun dari TNI yang berusaha mempertahankan kedaulatan NKRI.
Pada masa itu yang terjadi adalah penurunan kualitas rakyat Aceh sendiri, baik dari sisi pendidikan, mental konflik yang menggejala, yaitu mental ketakutan dalam pengambilan keputusan dan hidup dalam ketidakpastian, kemiskinan yang terus bertambah, motivasi kerja yang menurun, dapat dibayangkan semua itu akan mengakibatkan stamina dan vitamin rakyat Aceh menjadi anjlok turun ke bawah, semua itu membuat semuanya menjadi tidak karuan lagi.
Hal yang perlu diingat adalah pada masa konflik tersebut banyak pemuda-pemuda Aceh yang mendapatkan kesempatan untuk sekolah ke Luar Negeri, ntah itu dibiayai oleh GAM atau LSM-LSM bahkan Pemerintah sendiri yang melihat Aceh sampai saat ini sebagai sebuah ancaman baik secara ideology maupun secara nasionalisme. Pemuda-pemuda Aceh tersebut telah berubah cara pandangnya dari yang berpikir islami menjadi berpikir liberalism bahkan sosialisme pluralisme yang tentunya akan berujung kepada pemikiran-pemikiran yang menjauh dari Islam.
Belum lagi tsunami yang terjadi telah membawa rakyat Aceh menjadi media internasional atau menjadi tempat bagi LSM-LSM asing untuk mulai menanamkan pengaruhnya bagi masyarakat Aceh dengan modal bantuan kepada masyarakat Aceh. Sering kali terdengar upaya-upaya dari beberapa LSM asing yang memberikan bantuan sekaligus mengiringinya dengan ideology atau pemikiran mereka. Teringat saya ketika pertama kali ke Aceh pasca tsunami saya merasakan bahwa ada isu bahwa penculikkan anak-anak Aceh oleh orang-orang yang tidak dikenal, atau seringkali dikatakan pada waktu itu ada upaya-upaya pemurtatadan yang dilakukan oleh asing. Bahkan ketika saya ke Aceh 1 tahun kemudian, seorang tukang becak mengatakan ia melihat Aceh sekarang sudah amat berubah, sudah tidak seperti Aceh yang dulu lagi, ia mengatakan suatu hal yang menurut saya sangat tendensius dengan mengatakan bahwa bisa saja di Banda Aceh ini kelak agama saja yang muslim akan tetapi tingkah polahnya seperti Yahudi, sebuah kekuatiran yang menurut saya amat luar biasa.
Dan kini semuanya hampir terbukti, pilkada ini akan memperlihatkan bagaimana sesungguhnya karakter rakyat Aceh saat ini, apakah mereka tetap dengan ideology Islamnya atau mereka kembali menjadi sebuah daerah yang sama dengan daerah-daerah lainnya yang ada di Indonesia, daerah yang tidak menegakkan syariat Islam. Bagi saya ini merupakan kemunduran bagi rakyat Aceh, padahal sejarah telah berulangkali membuktikan bahwa yang paling cocok dengan rakyat Aceh adalah keislaman bukan lainnya, ntahlah.

Ketika Aceh Jauh dari Syariat Islam
Baru-baru ini dalam mailing list ini saya membaca sebuah postingan yang mengatakan bahwa ada pihak-pihak yang memperjuangkan diakuinya Gay atau Lesbi atau Homo Seksual di Aceh, para penyakitan itu terlihat di media-media dengan bebas mengekspresikan kebebasan mereka sebagai penyakitan-penyakitan yang harus diakui oleh rakyat Aceh.
Padahal adalah hal yang jelas kalau Aceh dalam syariat Islam, dimana kaum penyakitan seperti itu hukumnya adalah dicambuk atau dipenjara bahkan di Afganisthan (baca: Taliban) hukumannya adalah ditiban dengan tembok. Tapi yang terjadi adalah mereka sepertinya bebas berkeliaran di bumi serambi Mekkah yang kita cintai ini, jadi dimana orang Aceh yang dahulu begitu ditakuti oleh orang-orang, yang begitu bangga dengan Islamnya ? Dimana ?
Belum lagi postingan yang mengatakan bahwa saat ini sudah ada pelacur di Aceh, sudah ada HIV/AIDS di Aceh, laki-laki dan perempuan sudah tidak tahu malu lagi berkhalwat, mau dikemanakan rakyat Aceh ini ? Penurunan-penurunan moral dari rakyat Aceh yang semakin lama semakin nyata ini seharusnya menjadi peringatan bagi kita semua bahwa sudah saatnya syariat Islam ditegakkan dengan benar di Aceh, karena inilah yang sesuai dengan kondisi budaya dari bangsa Aceh sesungguhnya.
Alasan-alasan dari kaum pluralisme adalah dengan mengatakan bahwa ada pemaksaan dalam penegakkan syariat Islam di Aceh, seharusnya dimulai dengan da’wah terlebih dahulu, seharusnya… seharusnya… seharusnya… Wacana ini yang terus berkembang di Aceh. Seharusnya mereka malu dengan hal ini, seharusnya mereka melihat bahwa Aceh dapat berkembang maju dengan Islam, seharusnya mereka sadar bahwa budaya rakyat Aceh yang keras ini harus dilandasi dengan Islam karena apabila tidak maka mereka bisa saja melebihi Yahudi. Ketika provinsi-provinsi lain berusaha agar bisa menerapkan syariat Islam di Aceh maka ada beberapa gelintir orang yang terorganisir berupaya agar provinsi Aceh untuk lepas dari syariat Islam.
Saya yakin para pendahulu kita akan kecewa dengan hal yang satu ini, mereka akan menjadi sedih melihat anak cucunya menjadi tidak lebih baik lagi, semangat “Perang Sabil” atau semangat menegakkan Islam di bumi Serambi Mekkah itu kini sudah mulai luntur di penerus generasi Aceh, menyedihkan.
Aceh yang dahulu terkenal sebagai sebuah negera federasi, yang disokong oleh Kerajaan-kerajaan seperti Linge, Perlak, dan Kerajaan-kerajaan kecil lainnya dengan kebanggaan menegakkan adat istiadat sesuai dengan syariat Islam kini telah kehilangan jati dirinya, kini Aceh pasca konflik dan tsunami sepertinya berubah ingin mencari kebebasan dengan sebebas-bebasnya, mempersoalkan syariat Islam yang selalu menjadi jati diri Aceh, atau dalam pandangan saya dengan kata “Pluralisme Kebablasan”.
Pluralisme adalah sesuatu yang harus dihormati, Islam mengatakan hal yang demikian, tapi kalau sudah kebablasan maka harus dihentikan, harus diberikan hukuman, harus diberikan ketegasan. Apakah kita akan membiarkan homo seksual diakui di Aceh ? Apakah kita akan membiarkan perampokkan di akui di Aceh ? Apakah kita akan membiarkan korupsi berjalan di Aceh ? Apakah kita akan membiarkan AIDS/HIV terus berkembang di Aceh ? Apakah Aceh akan menjadi sebuah daerah dimana penghalalan segala cara untuk mencapai tujuan? Kemana jati diri bangsa Aceh sesungguhnya ? Kemana ? Haruskah hilang karena pluralisme yang kebablasan ? Hilang karena sosialisme yang tidak islami ? Ketika Aceh jatuh dalam lingkaran itu maka kita akan melihat suatu bangsa yang kehilangan jati dirinya, akan mengalami kemunduran, akan mengalami sebuah kejatuhan cepat atau lambat.

Selamatkan Aceh Kita
Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 merupakan sebuah garis estafet Aceh akan dibawa kemana, karena para legislatiflah yang akan menentukan kebijakan Aceh di masa yang akan datang. Syariat Islam akan bisa hilang dari Aceh jika legislative menginginkannya, sudah waktunya kita menjaga agar syariat Islam bisa terus berdiri tegak di Aceh, sudah waktunya kita memperjuangkan apa yang sudah diperjuangkan oleh pendahulu-pendahulu kita.
Pernah terdengar bahwa salah satu jargon dari partai lokal adalah dengan mengatakan bahwa mereka harus bekerja keras, mereka harus menang agar rakyat Aceh bisa merdeka, atau mereka mencontoh kepada salah satu Negara yang perjuangannya dilakukan melalui sebuah partai, ketika perjuangan bersenjatanya gagal. Bahkan pernah juga terdengar bahwa penegakkan syariat Islam di Aceh adalah dipaksakan, mereka memaksakan kehendaknya tanpa melakukan dawah terlebih dahulu.
ALA dan ABBAS terus terpatri pada sebagian masyarkat Aceh yang merasa dianaktirikan selama ini. Bagi masyarakat Gayo selama ini orang Aceh terlalu menganggap mereka sebagai masyarakat terbelakang, memandang sebelah mata kepada orang-orang Gayo. Orang-orang Gayo sendiri menganggap orang Aceh itu selalu menipu orang Gayo. Bahkan dari sisi perjuangan GAM orang Gayo kebanyakan dianggap sebagai pengkhianat karena telah membawa transmigran Jawa ke dataran tinggi Gayo, tidak mau mendukung perjuangan GAM dahulu. Bagi orang Gayo sendiri GAM adalah pemberontak, dan malu bagi orang Gayo menjadi pemberontak. Mungkin ini juga kiranya terjadi di masyarkat ABBAS, ntahlah.
Aceh kini seperti ‘api dalam sekam’, banyak kubu yang menyimpan amunisi-amunisi untuk menunjukkan kekuatan. Aceh kini menuju pendewasaan, inilah saatnya rakyat Aceh belajr demokrasi sekaligus mempertahankan identitas dirinya sebagai bangsa Aceh dengan Islamnya, bukan lantas kemudian menjadi “Pluralisme Kebablasan” atau “Demokrasi Kebablasan”.
Aceh dengan self govermentnya sudah saatnya menjadikan dirinya tidak lagi terkotak-kotak mundur, akan tetapi terus maju dengan jati dirinya, Islam. Semangat inilah yang harus dibangun kembali oleh rakyat Aceh, semangat inilah yang harus ditularkan oleh rakyat Aceh kepada generasi mudanya, semangat Islam, sekali lagi semangat Islam, semangat Republikan.
Selamat berjuang.

Tidak ada komentar: