28 Maret 2009

Melihat Kembali Strategi Partai Aceh (PA)

Ketika membaca sebuah postingan yang berisikan wawancara antara salah seorang pendukung dari Partai Aceh yang mencoba menerangkan visi dan misi PA yang selama ini masih merupakan misteri menjadi terobati.
Bila disimpulkan dari wawancara tersebut adalah; pertama, PA itu tidak akan berkoalisi dengan partai lain baik lokal maupun nasional; kedua, menegakkan sebuah hukum yang berlandaskan kepada hukum pada zaman Iskandar Muda sesuai dengan budaya rakyat Aceh; dan ketiga, menegakkan KKR bagi korban konflik yang selama ini terjadi.

Rincian wawancaranya sebagai berikut:
Perundingan Helsinki yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Mardeka pada tanggal 15 Agustus 2005, yang nyaris gagal karena pihak GAM mempertahankan point 1.2.1. Lalu sepenting apa kehadiran partai lokal bagi Aceh?. Mengapa Partai Aceh harus menang?.Apa yang akan dilakukan oleh anggota parlemen hasil pemilu nanti ? Peuneugah Aceh melakukan wawancara dan merangkumnya untuk Anda:

Zulkifli alias Doly, Juru bicara Pusat Penguatan Perdamaian.

Apa hal yang pertama dilakukan oleh Partai Aceh setelah duduk diparlemen?

Bila dipemilu nanti Partai Aceh menang atau dominan menguasai Parlemen di Aceh,maka yang pertama kali dilakukan adalah membuat qanun atau undang-undang Pemerintahan Aceh sesuai dengan amanat MoU Helsingki. Qanun tersebut akan berpedoman pada meukuta Alam Al-Asyi. Dulunya Aceh pernah jaya di masa Sultan Iskandar Muda , dimana saat itu pemerintahan yang berpedoman hukum Meukuta Alam Al-asyi.

Apakah pembuatan undang undang tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang sudah ada ?

Pembuatan atau merancang undang-undang baru di Aceh tidak akan bertentangan dengan undang-undang yang telah ada. Itu termasuk dalam amanat MoU yang telah disepakati bersama antara pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka. Undang-Undang yang kita buat untuk Aceh yang sesuai dengan kehidupan rakyat Aceh, baik agama, sosial maupun budaya masyarakat Aceh itu sendiri. Dalam menjalankan undang-undang ini, kami akan mengutamakan bill of riat yaitu masyarakat yang menentukan aspirasinya sendiri. Kebijakan pemerintahan ada di tangan rakyat dan kami tidak mengedepankan daspora (pemaksaan kehendak). Jika Partai Aceh menguasai parlemen Aceh di 2009 ini, kami akan memperjuangkan harkat martabat dan HAM. Khusus di Aceh, kami akan merevisi Undang Undang yang berkaitan dengan KKR atau komisi kebenaran dan rekonsiliasi dan pengadilan HAM . Pengadilan HAM harus berjalan seperti yang tercantum di dalam MoU Helsinki.

Mengapa hal itu menjadi penting ?

KKR itu harus dijalankan di Aceh karena bisa mengatasi untuk tidak terulang dan terjadinya konflik kembali. Konsepnya seperti di Afrika Selatan. Cuma namanya saja yang berbeda. Setelah konflik Aparheid selesai, maka disitu ada TRC(Truth Of Commision) yang bertugas dan bisa menegakkan HAM. Kami juga dari Partai Aceh akan memperjuangkan KKR di Aceh karena lewat jalur itu bisa menjunjung tinggi HAM maupun harkat dan martabat rakyat Aceh.
.

Apa yang membedakan parlemen yang ada sekarang dengan parlemen yang diisi oleh Partai Aceh ?

Yang dapat kita lihat saat ini adalah, parlemen yang sekarang tidak membuat sebuah perubahan yang drastis terhadap masyarakat Aceh, padahal banyak janji-janji yang diberikan kepada rakyat selama kampanye oleh wakil rakyat selama ini. Sementara parlemen di masa yang akan datang, akan melakukan perubahan yang nyata terhadap masyarakat Aceh. Untuk memberi hasil yang nyata itu, ya seperti saya kata tadi, yaitu membuat Undang Undang.Selama ini, belum pernah masyarakat merasakan perubahan yang dilakukan anggota dewan dari partai nasional, karena mareka mengunakan atau hanya merevisi undang undang yang telah ada tanpa perubahan yang mendasar. Itu sudah menjadi komitmen kami, (Partai Aceh), untuk sebuah perubahan maupun hidup yang baru bagi masyarakat Aceh kedepan. Jadi, ini akan jauh berbeda antara parlemen sekarang dengan parlemen di masa yang akan datang.

Apakah perbedaan ataupun perubahan tersebut dapat dilakukan oleh partai lokal lain di luar Partai Aceh ?

Jika nanti parlemen dikuasai oleh partai lokal lain selain Partai Aceh, maka itu pun tidak jauh berbeda seperti partai nasional yang selama ini. Saya sangat pesimis akan ada perubahan yang berarti di Aceh. Dan Aceh tetap seperti Aceh yang dulu.

Bukankah Partai Aceh dapat melakukan koalisi dengan partai lokal lain sehingga memperoleh suara mayoritas ?

kami tidak akan pernah mau berkoalisi walaupun itu dengan partai lokal lain karena mareka tetap akan berkoordinasi dengan Partai Nasional.Dengan kata lain, partai lokal selain Partai Aceh adalah perpajangan tangan partai nasional sehingga tidak mungkin kami berkoalisi.

Itu berarti Partai Aceh harus mempoleh suara terbanyak sehingga menjadi mayoritas di parlemen,lantas bagaimana peluang Partai Aceh untuk menjadi pemenang ?

Kita sangat menyadari bagaimana upaya pemburukan citra yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu terhadap para kombantan, baik secara tersadari atau tidak. Semuanya itu adalah untuk memberi image yang negatif, sehingga membuat simpati rakyat akan berkurang dan berdampak pada pemilu. Walaupun demikian, kami yakin, kami akan menang dan menguasai parlemen pada pemilu 9 April nanti. Kami sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat, baik yang ada di kota maupun di pelosok-pelosok untuk mengungguli kursi di parlemen nantinya. Kami melihat,antusias masyarakat terhadap Partai Aceh luar biasa karena masyarakat Aceh ingin melihat perubahan yang nyata yang belum pernah dirasakan selama ini.(tim Peuneugah Aceh )


Benarkah ? “PA Tidak Berkoalisi Dengan Partai Manapun”
Ketika membaca statement ini maka terlihat jelas bagaimana keegoismean Partai Aceh yang tidak akan melakukan koalisi dengan partai manapun baik lokal maupun nasional, ini bisa dianggap sebuah bentuk tingkat kepercayaan diri yang terlalu tinggi, bentuk dari sebuah egoism yang menurut saya kebablasan. PA masih saja berpikir bahwa ia akan memenangkan Pemilu ini dengan mutlak, memasang target yang antusias sekali seolah-olah tidak memerlukan partai lain dalam perjuangannya.
Selain keegoismean juga terlihat kebodohan PA sebagai partai politik, sekaligus kepintarannya juga. Menarik bukan untuk dikaji bagaimana sesungguhnya strategi ini akan dibawa kemana oleh PA.
Perolehan suara PA di daerah ALA dan ABBAS kemungkinan besar PA tidak akan memperoleh suara yang signifikan, walaupun mereka nantinya akan melakukan serangan fajar yang sudah barang tentu daerah ALA dan ABBAS akan mempersiapkan diri untuk menghadapinya kelak. Pada daerah ALA dan ABBAS sepertinya partai nasional akan menguasai percaturan politik, seperti daerah ALA dan ABBAS. Sebuah daerah yang merasa dengan adanya GAM/KPA/PA maka kehidupan mereka menjadi tidak lebih baik lagi, belum lagi suku Jawa yang sudah mendiami beberapa daerah yang kini sudah menjadi kampung sendiri untuk tidak memilih GAM/KPA/PA tersebut.
Keegoismean PA ini juga akan mengakibatkan pengarahan sebuah bentuk wacana dari ketidakpercayaan antara partai lokal sendiri atau bisa saja merupakan sebuah strategi atau politik untuk dapat memberikan suara masyarakat kepada partai lokal lain yang tidak sejalan dengan PA bukan kepada Parnas karena parlok-parlok yang ada sekarang sudah dibuat sedemikian rupa untuk bisa menyerap seluruh aspirasi rakyat Aceh dengan berbagai macam ideology atau sehingga sebutannya ”Asal Bukan Parnas”.
Bila usaha pengarahan suara kepada parlok ini gagal maka isu egoism dari PA ini akan dapat menyatukan atau koalisi antara Partai Lokal selain PA dengan partai nasional lainnya sebagai upaya bentuk dari penyatuan visi dan misi mereka. Yang perlu diingat adalah bahwa pada akhirnya adalah PA akan tetap berkoalisi dengan semua partai tersebut dengan sebuah kenyataan bahwa partai-partai lokal lain yang sebenarnya seide dengan PA telah saling berkoalisi dengan partai nasional. Harapan dari PA dengan berkoalisinya mereka dengan parnas diharapkan PA bisa menggolkan apa yang sebenarnya menjadi keinginannya.
Jadi apa yang dilakukan oleh PA dengan statement ini merupakan strategi untuk bisa menguasai parlemen dengan berusaha ‘seolah-olah tidak mau koalisi’, padahal inti tujuannya adalah menarik suara ke partai lokal lainnya atau mengkoalisikan parlok dan parnas sehingga mereka bisa membuat komitmen kepentingan mereka.

Benarkah ? “Menegakkan Hukum Sesuai Dengan Hukum Iskandar Muda”
Setelah mengupas strategi yang digunakan PA dengan statementnya untuk meraih suara dari berbagai komponen masyarakat, kini kita akan coba kupas upaya PA menarik simpati masyarakat dengan sebuah janji menegakkan hukum seperti zaman Iskandar Muda.
Bila kita melihat sejarah maka hukum yang akan ditegakkan adalah sebuah bentuk Negara federasi yang terdiri dari berbagai pemerintahan-pemerintahan otonom yang luas dengan menggunakan hukum islam di dalamnya atau dengan sebutan demokratisasi Islam. Sebuah sistem Kesultanan Islam di bumi serambi Mekkah tersebut. Bahkan bisa juga dikatakan dengan mendekati hukum ”Wahabiah”, karena dalam sejarah dapat terlihat bagaimana Iskandar Muda begitu keras dengan “penjajah” atau “kuffar” atau “asing” pada waktu itu baik dari segi perdagangan maupun dari segi kebudayaan. Dan inilah yang membuat Iskandar Muda begitu ditakuti oleh kerajaan lain karena kemandiriannya dan karena ketegasannya yang tentunya tidak bergeser sedikitpun dari ayat suci Al Qur’an sesuai dengan adat istiadat rakyat Aceh yang berdasarkan Kitabullah dan Hadist Nabi Muhammad SAW.
Bila ini menjadi sebuah janji dari PA maka partai-partai Islam tentunya akan menjadi bagian dari perjuangan ini, karena partai-partai Islam tentunya juga menginginkan hal yang sama untuk berdirinya syariat Islam di Aceh sesuai dengan cita-cita mereka untuk menjadikan Aceh sebagai contoh sebuah daerah di Indonesia yang berdasarkan syariah Islam.
Tapi yang terjadi adalah bahwa PA tetap saja tidak bisa bersatu dengan partai Islam lainnya, bahkan mereka cenderung eksklusif dengan menolak berkoalisi dengan partai manapun yang ada atau ideology manapun dengan alasan menginginkan perubahan yang terjadi di Aceh. Disini kita akan melihat bagaimana nasionalisme atau kesukuan Aceh yang amat tinggi bermain untuk bisa mendapatkan simpati dari rakyat Aceh pada umumnya. Menurut saya ini sama saja dengan sebuah konsep “Penjajah Jawa – Indon”, namun dalam bentuk gerakan politik, dan sekali lagi ini sama sekali tidak sesuai dengan karakteristik rakyat Aceh yang lebih mendahulukan Islam dibandingkan apapun bagi mereka yang sudah berabad-abad terpatri di dada semua rakyat Aceh.
PA kembali dalam dilemma, satu sisi mencoba menegakkan hukum Islam, tapi disisi lain PA tetap ashobiyah dengan alasan menginginkan “perubahan”, tentunya semua nantinya hanya akan melihat bahwa GAM/KPA menjadi PA hanya merubah topeng dalam perjuangannya. Serta konsepnya yang begitu membenci suku lain selain Aceh semakin kental dalam PA, dan tentunya ini amat berbahaya dalam perkembangan Aceh ke depan nantinya.
Dalam masa Iskandar Muda tidak pernah ada sebuah aturan yang membenci sebuah suku apapun, terlebih lagi mereka memeluk agama Islam, bahkan ketika itu pada zaman sebelum Iskandar Muda di Kute Reje sudah ada yang namanya Kampung Jawa, ini tentunya merupakan sebuah bentuk dari bagaimana terbukanya Aceh dengan kerajaan manapun asalkan mereka mengucapkan 2 kalimah syahadah.
Yang menarik lagi adalah dalam pemerintahan Irwandy sekarang ini terlihat bagaimana upaya dari Aceh untuk dapat menarik investor-investor asing untuk mau menanam modal di Aceh, akan tetapi sampai saat ini belum terlihat bagaimana bentuk kerjasamanya dan bagaimana Irwandy dapat menjaga marwah rakyat Aceh seperti zaman Iskandar Muda dalam melakukan hubungan kerjasama dengan mereka nantinya. Belum lagi Aceh pasca tsunami ini ternyata telah menjadi media internasional hingga mendapatkan bantuan dari asing dan berbagai misi bantuan. Sehingga akan dirasakan bahwa bantuan-bantuan mereka pada bangunan-bangunan yang ada di Aceh sekarang ini. Bahkan GAM/KPA/PA itu sendiri sampai sekarang masih berhutang budi dengan banyak Negara selama ini sewaktu mereka memperjuangkan GAM dari luar negeri. Nah, pertanyaannya adalah apakah mereka juga akan menerapkan hukum Iskandar Muda di bumi Aceh dengan kondisi sekarang ini dan hutang budi GAM/KPA/PA kepada berbagai Negara ?

Benarkah ? “Menegakkan KKR Untuk Korban Konflik”
Ini merupakan sebuah point penting sekaligus berbahaya bagi rakyat Aceh maupun perdamaian di Aceh sekaligus sebagai sebuah upaya untuk dapat meraih simpati rakyat Aceh atau sekaligus menjaga maaf “kebencian terhadap TNI” di Aceh atau menjaga benih-benih nasionalisme Aceh tersebut.
Ketika kita melihat TImur-Timur ketika mereka lepas dari kemerdekaan maka akan ada sebuah kesepakatan antara Pemerintah RI dengan untuk menutup segala hal yang terjadi pada masa konflik di Tim-Tim.
Ada beberapa hal yang kemungkinan akan terjadi ketika hal ini dilakukan, karena korban konflik rakyat Aceh pada dasarnya terdiri dari 2 bagian yaitu korban konflik oleh TNI danjuga korban konflik oleh GAM. Masa konflik telah menyebabkan rakyat Aceh menjadi amat tertekan karena disisi lain harus berhadapan dengan TNI akan tetapi disisi lain juga harus berhadapan dengan GAM. Sehingga akibatnya adalah mereka menjadi korban karena dianggap mata-mata dari 2 belah pihak yang bertempur tersebut. Belum lagi kaum transmigran Jawa atau suku Jawa yang sudah lama tingal di Aceh menjadi korban dari kekejaman GAM karena konsep PERANG BODOH nya tersebut itu “Penjajahan Jawa – Indon”. Atau korban dari suku Gayo yang selama ini dianggap musuh atau pengkhianat oleh GAM karena salah satu wilayah di Aceh yang terus memasukkan saudaranya Jawa ke dataran tinggi Gayo, begitu juga di beberapa daerah di ABBAS.
Tentunya ketika PA berkuasa maka yang terlebih dahulu di angkat adalah korban rakyat Aceh oleh TNI, namun perlu diingat adalah bahwa korban dari suku Jawa dan Gayo tentunya tidak akan tinggal diam, mereka akan terus menuntut keadilan bagi korban-korban mereka. Bila ini terus dibiarkan dan PA tidak bisa berbuat adil maka yang akan terjadi adalah sebuah potensi konflik kembali karena ketidakadilan-ketidakadilan yang tentunya akan membawa sebuah potensi konflik horizontal pada rakyat Aceh ke depannya.
Bahkan ada kemungkinan besar bahwa permasalahan HAM ini akan coba diangkat oleh PA ke mahkamah internasional, atau dengan sebutan menginternasionalisasikan permasalahan Aceh kembali. Sehingga mereka akan mengangkat kembali bukti-bukti bahwa Aceh selama ini dijajah NKRI dengan menafikkan bukti bahwa Daud Beureuh telah melakukan musyawarah dengan seluruh komponen rakyat Aceh untuk tetap dalam satu bingkai wilayah NKRI, karena seluruh rakyat Aceh pada waktu itu berpikir sebagai saudara seiman, saudara kita.
Hal yang perlu diingat adalah walaupun PA menang, Aceh masih dalam naungan NKRI, TNI masih tersebar di seluruh wilayah Aceh, dan yang paling penting adalah pada waktu itu Aceh dalam wialyah NKRI sudah final, tidak akan berubah sedikitpun dan TNI lah pihak yang paling berhak untuk menjaga hal ini di Aceh. Tentunya RI tidak akan dengan mudah melepaskan Aceh dari kedaulatannya, belum lagi ALA dan ABBAS yang terus menguat di masyarakat Gayo dan Jawa bahkan di sebagian Aceh sendiri. Jumlah suku Jawa di dataran tinggi Gayo dan pada daerah ABBAS tidak bisa dianggap remeh oleh siapapun, dan mereka juga telah sadar bahwa sejarah telah membuktikan bahwa GAM begitu membenci mereka, tentunya mereka sudah mempersiapkan diri mereka untuk menjadi tumbal perjuangan ALA daripada mereka diusir dari dataran tinggi Gayo atau menjadi korban pembersihan suku di daerahnya sendiri. Begitu juga dengan sebagian suku Gayo yang sudah melakukan perpaduan budaya dengan perkawinan dengan suku Jawa, belum lagi mereka yang selama ini merasakan sebagai korban konflik yang dicanangkan Hasan Tiro, belum lagi ketidakadilan yang selama ini terus dilakukan orang Aceh terhadap Gayo, semua itu tidak akan mudah hilang dalam satu generasi pada masyarakat Gayo dan Jawa. Atau ketakutan yang dirasakan oleh suku-suku lain melihat kesukuan terlalu tinggi dari suku Aceh dengan nasionalisme, utamanya suku Batak yang selama ini dikatakan dekat dengan suku Gayo atau serumpun, kemudian suku Jamnee atau padang yang bila kesukuan semakin tinggi karena konsep PERANG BODOH itu maka dapat dikatakan Aceh kembali menjadi tidak aman.
Semua ini besar kemungkinan akan terjadi, karena sudah barang tentu petinggi GAM tidak mau dikatakan melanggar HAM, dan ketika PA menang maka ia akan membersihkan dirinya sebagai pihak penguasa, tapi mereka juga sadar mereka bukan penguasa tertinggi karena mereka tetap di bawah naungan NKRI. Belum lagi TNI yang tentunya akan terus melakukan loby-loby untuk dapat mencegah petinggi mereka dihukum karena bagi mereka ini adalah PERANG. Akan sangat banyak kemungkinan kekacauan yang akan terjadi di Aceh nantinya jika hal ini tidak dilakukan dengan adil dan transparan, permasalahannya apakah kedua belah pihak yang bertikai mampu untuk mengakkan keadilan ntah pihak dari GAM atau TNI ?

Peran Partai Lokal Dalam Disintegrasi RI
Sedikit agak menyimpang dari pembahasan awal, kita akan mencoba memprediksi bahwa ternyata Partai Lokal akan menghilangkan nasionalisme yang ada di NKRI. Dalam pembahasan MoU Helsinky sudah jelas banyak pihak dari Jakarta yang tidak menyetujui bila GAM diberikan sebuah kewenangan untuk mendirikan sebuah partai lokal dengan alasan apapun karena itu hanya akan membuat adanya sebuah potensi disintegrasi bangsa.
Namun, dalam kenyataannya tetap saja Pemerintah NKRI melalui MoU Helsinky tersebut mensahkan adanya sebuah partai lokal di Aceh, dengan alasan Aceh menginginkan adanya sebuah self government di Aceh. Hal mudah yang dapat dipikirkan adalah bagaimana kiranya jika semua daerah menginginkan sebuah partai lokal berdiri pada daerahnya masing-masing, dengan adanya 44 partai nasional saja hal ini telah membuat rakyat menjadi teramat sulit untuk menentukan pilihan, belum lagi apabila kemudian seluruh pemerintah daerah meminta sebuah partai lokal dalam setiap provinsi. Dan ini mulai terdengar ketika provinsi Papua dan Sumatera Barat telah meminta adanya partai lokal pada daerah mereka masing-masing.
Ketika partai lokal berhasil memenangkan Pemilu di Aceh maka sudah barang tentu ini akan menjadi contoh bagi daerah lain, ujungnya adalah sebuah Negara dalam Negara yang amat jauh dari NKRI yang selama ini dipertahankan oleh pendahulu-pendahulu kita sejak kesepakatan bersama dengan Daud Beureuh, yang mereka minta adalah Daerah Aceh menggunakan syariat Islam, menggunakan sebuah kepemerintahan seperti zaman Iskandar Muda tapi tetap dalam kesatuan wilayah NKRI. Aceh bisa saja khusus, tapi Aceh harus tetap dalam NKRI. Ini adalah point utama yang terpenting dalam memberikan solusi bagi rakyat Aceh yang beragam.
Tapi ironisnya saat ini ketika Aceh dalam syariat Islam, maka banyak pihak yang tidak menginginkannya hanya karena ini bukan dari GAM, ironis bukan. Kegoan-keegoan inilah yang tidak pernah bisa lepas dari GAM, dan pada akhirnya GAM akan semakin hilang karena kekerdilannya bila tidak segera mengubah pola pemikirannya itu.

Peran ALA dan ABBAS Menjaga Keutuhan NKRI
Para tokoh ALA dan ABBAS sudah sejak awal mengatakan bahwa mereka adalah pejuang NKRI, pejuang dalam menjaga keutuhan wilayah NKRI, ini penting. Ketika rakyat Aceh dalam DOM maka dataran tinggi Gayo bukan bergabung dengan GAM, mereka lebih memilih untuk bergabung dengan TNI untuk menjaga keberlangsungan anak cucu mereka, sehingga seringkali orang Gayo selalu dianggap pengkhianat oleh GAM begitu juga dengan kebencian dari ABBAS yang merasa daerah mereka menjadi daerah tumpahan dari GAM dalam perjuangannya baik senjata maupun ketidakamanan disana atau ketertekanan.
Bagi penggiat ALA dan ABBAS memilih partai lokal sama saja dengan “Bunuh Diri”, sama saja dengan mementahkan kembali perjuangan ALA dan ABBAS yang selama ini telah mereka usahakan demi kesejahteraan rakyat Aceh di daerah mereka masing-masing.
Bagi pendukung ALA dan ABBAS memilih partai lokal sama saja dengan memberikan persetujuan kepada GAM/KPA/PA dalam perjuangannya atau sama saja dengan menyetujuinya yang berarti menjilat ludah sendiri pendukung ALA dan ABBAS.
Sudah saatnya kiranya Pemerintah Pusat NKRI memaknai sikap dari rakyat ALA dan ABBAS ini sebagai bentuk upaya untuk menjaga kedaulatan wilayah NKRI, tidak ikut dalam perjuangan dengan konsep Ashobiyah yang dilarang oleh Allah SWT lebih kepada mengangkat kesejahteraan bagi rakyat Aceh di daerah pemekaran tersebut.
Pertempuran di Aceh Ke Depan
Di masa yang akan datang pertempuran yang akan terjadi adalah pertempuran antara nasionalisme Aceh dengan nasionalisme RI, pertempuran antara Islam dengan Pluralisme dan pertempuran antara Liberalisme dengan Sosialisme. Aceh ternyata sudah sedemikian beragam pemikirannya.
PA merupakan salah satu partai lokal yang menjadi ikon bagi perjuangan GAM dengan mengangkat perubahan-perubahan dengan nasionalisme Aceh dan semangat menuju masa Iskandar Muda. PKS dikatakan sebagai salah satu partai nasional Islam yang sesuai dengan karakter dari rakyat Aceh, begitu juga dengan partai lainnya yang bernuansa Islam.
Golkar, Demokrat dan PDI-P, masing-masing mempunyai sumbangsih khusus bagi rakyat Aceh. Bagi rakyat Aceh Golkar dengan JK sudah memberikan sumbangsih dalam melakukan perdamaian di Aceh, melakukan lobby-lobby langsung kepada petinggi-petinggi GAM untuk menghentikan peperangan bodoh yang selama ini terjadi. Sedangkan SBY bagi rakyat Aceh dikatakan sebagai satu-satunya Presiden yang sampai saat ini dianggap memenuhi setiap janjinya bagi rakyat Aceh. Sedangkan PDI-P bagi sebagian rakyat Aceh dianggap sebagai pemberi kedamaian ketika rakyat Aceh dalam keadaan ketakutan-ketakutan, bahkan bagi pendukung ALA dan ABBAS, Megawaty adalah sosok konsisten seorang pimpinan dalam mendukung pemekaran ALA dan ABBAS.

Kesimpulan
Partai Aceh (PA) masih belum bisa melepaskan diri dari keegoannya, dan ini tentunya amat mengancam seluruh pihak yang ada di Aceh. Seharusnya PA bisa lepas dari Ashobiyah dan bisa melakukan koalisi dengan partai manapun di Aceh jika mereka memang betul-betul dianggap sebagai partai masyarakat Aceh dan akan membawa Aceh dalam sebuah perdamaian. Statemen-statemen ini telah memperlihatkan kekerdilan dari PA sendiri yang tentunya waktu akan membuktikan bahwa PA akan habis karena kekerdilannya itu sendiri.
Seharusnya mereka bisa berkoalisi dengan PKS atau partai Islam lainnya dalam penegakkan syariat Islam di Aceh, berkoalisi dengan partai nasional atau lokal lainnya sebagai upaya untuk menjaga keragaman yang ada pada rakyat Aceh, bisa membawa Aceh dalam kedamaian dengan semangat Iskandar Muda tentunya.
Belum lagi GAM/KPA/PA yang amat berhutang budi dengan asing dalam perjuangannya yang ditandai dengan berbagai lobby yang dilakukan Hasan Tiro selalu mengandalkan asing, bahkan dengan jelas dalam MoU Helsinky menyerahkan permasalahan Aceh kepada Uni Eropa bila terjadi pelanggaran perjanjian, kembali ini adalah sebuah upaya untuk menginternasionalisasikan permasalahan Aceh nantinya.
Aceh sebagai wilayah yang kaya tentunya akan menjadi rebutan dari asing tersebut, kemudian kita akan memberikannya dengan mudah demi semangat ashobiyah. Nah semangat inikah semangat Iskandar Muda ?
Iskandar Muda, sosok Muslim sejati yang bersikap keras kepada kuffar, menjaga persaudaraan sesama muslim, menjaga kewibawaan Aceh, sosok inikah yang nantinya akan dikumandangkan oleh GAM/KPA/PA ?
Belum lagi permasalahan korban konflik yang akan menjadi potensi konflik, wallahu’alam bishowab.
Permohonan maaf saya jika saya mengatakan bahwa ternyata statement-statement dari Partai Aceh ini hanya omong kosong belaka saja, dan masalahnya cuma satu karena mereka belum bisa melepaskan pemikiran ashobiyah mereka dan mereka merasa terlalu sombong dengan kesukuan mereka atau merasa menjadi manusia yang paling tinggi dibandingkan manusia lain di Indonesia ini hingga mereka melupakan bahwa merekalah yang telah membawa rakyat Aceh ini dalam ketertinggalan seperti sekarang ini.
Alih-alih menegakkan syariat Islam, mereka telah membuat rakyat Aceh kehilangan jati diri Islamnya karena konflik. Alih-alih mempertahankan Islam di Aceh, mereka telah membuat banyaknya Tengku meninggal di Aceh. Alih-alih mempertahankan SDA Aceh diambil, mereka telah membuat aman Arun habis SDA sampai sekarang. Alih-alih menjadi Aceh berwibawa, mereka telah membuat Aceh menjadi jatuh dimata masyarakat nasional maupun internasional. Sekarang ini, alih-alih membuat Aceh aman, mereka menjual Aceh untuk kepentingan mereka ke depannya.
Tapi mudah-mudahan semua itu tidak terjadi karena masih banyak dari anggota PA yang masih mencintai Aceh dengan setulus-tulusnya, memperjuangkan Aceh menuju sebuah wilayah yang diperhitungkan karena SDA yang kaya dan SDM yang kuat untuk menjaganya dan menggunakannya untuk kepentingan rakyat Aceh sendiri.

Tidak ada komentar: