04 Desember 2008

Selamat Ulang Tahun Deklarasi Pemekaran ALA dan ABBAS

Tepat saat ini kita memperingati 2 kejadian yang amat dinantikan oleh rakyat Aceh, baik bagi mereka yang pro Kemerdekaan dan pro Pemekaran Wilayah, tepat pada hari ini tanggal 4 Desember 2008.

Tepat hari ini juga setlah sekian lama saya mengikuti mailing list ini saya mencoba menceritakan pandangan-pandangan saya tentang keadaan Aceh pada saat ini.

Aceh tempo Dulu dan Sekarang

Sudah sejak puluhan tahun yang lalu Aceh selalu dalam ketidakamanan, saya akan membaginya menjadi beberapa bagian. Sejak zaman Iskandar Muda dan seterusnya selalu dipenuhi dengan pertikaian yang terjadi antara sesama penguasa atau antara penguasa dengan bangsawan, sudah sejak lama terjadi. Naiknya seorang Sultan Iskandar Muda juga penuh dengan intrik dalam perebutan kekuasaan begitu juga setelahnya sampai dengan hilangnya Kesultanan Aceh kembali menjadi Kerajaan-Kerajaan Kecil seperti Kerajaan Pasai, Kerajaan Pidie dan Kerajaan di dataran tinggi Gayo.

Kesultanan Iskandar Muda bisa bertahan lama karena persatuan keimanan yang kuat pada rakyat Aceh untuk bertahan dari serangan kuffar Portugis dan Eropa lainnya, sekaligus kepemimpinan dari Iskandar Muda yang memang keras pada masa itu. Di sejarah dikatakan bahwa ia bisa membunuh para bangsawan yang sudah tidak lagi lebih memperhatikan rakyat Aceh, juga dengan militer yang amat kuat waktu itu untuk menjaga kewibawaan dari Sultan Iskandar Muda, sebuah sistem pemerintahan modern yang bersinergi antara Sipil dan Militer, sehingga keamanan dapat terjaga dengan baik.

Dilanjutkan pada masa penjajahan Belanda, kembali Aceh dalam pergolakkan ketika masa penjajahan Belanda, bahkan seorang Yusran Habib, orang Gayo sekaligus teman dekat Hasan Tiro menulis secara khusus tentang perjuangan dari Tengku Cik Di Tiro dan keluarganya. Pada masa-masa ini semua rakyat Aceh kembali tanpa sebuah kesultanan yang besar bersatu padu hanya dengan satu tujuan, perang suci, JIHAD, membunuh Kuffar Penjajah Belanda. Timbullah pemimpin-pemimpin lokal seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, Aman Dimot, dsb.

Lantas sejarah berlanjut dengan masa transisi kemerdekaan NKRI, Aceh bersatu dengan NKRI melawan Belanda yang pada waktu itu tokohnya adalah Daud Beureuh, seorang tokoh agama yang mempunyai pemikiran agama yang dalam. Beliau lebih mendahulukan kepentingan agamanya dibandingkan dengan kekuasaan (lihat di www.blogspot.com dengan judul 'Perbedaan Hasan Tiro dan Daud Beureuh"), ketika dalam pemberontakkan yang dilakukannya lebih kepada memperjuangkan syariah Islam berdiri di Aceh, sehingga ia bergabung dengan daerah lain di Indonesia untuk membentuk NII. Dalam akhir perjuangannya ia mengumpulkan semua rakyat Aceh untuk kembali ke saudara seimannya NKRI, walau ia sadar banyak hal yang membuat ia kecewa dengan Soekarno pada waktu itu, hanya karena keimanan itulah ia bisa bersatu kembali. Hal yang baik adalah ketia ia mengumpulkan semua rakyat Aceh di Blang Padang untuk bermusyawarah mengambil keputusan tentang hubungan Aceh dengan RI, yang berujung berdamai dengan NKRI.


Sejarah kemudian dilanjutkan dengan pemberontakkan yang dilakukan Hasan Tiro, yang berawal dari penilaian beliau bahwa ada ketidakadilan dari Pemerintah NKRI dengan tidak mengikutsertakan rakyat Aceh dalam Proyek Arun, ia merasakan bahwa dengan hal seperti ini maka pelecehan kembali dari RI kepada rakyat Aceh. Padahal waktu itu ia merupakan salah satu kader NKRI ke depan dengan disekolahkan oleh uang negara, ia seorang Dubes dari NKRI. Selama puluhan tahun terjadi pemberontakkan dengan mengedepankan konsep perjuangan kebencian kepada satu suku (Indon – Jawa), ini yang selalu dikedepankan dalam perjuangan mereka, puluhan ribu orang telah meninggal dunia, ratusan ribu orang dalam tekanan, jutaan orang meneteskan air mata, puluhan juta orang terprovokasi atau tergugah atas nama perang yang menginginkan kemerdekaan tersebut. Sudah begitu banyak yang dilakukan cara untuk mendamaikan perang tersebut, sudah begitu banyak fasilitator yang mencoba menengahinya, yang akhirnya berujung kepada MoU Helsinky.

Perjanjian yang menurut Yusran Habib, draft finalnya baru dibaca oleh Hasan Tiro ketika akan ditandatangani. Perjanjian yang isinya lebih menguntungkan anggota GAM pada Bab tentang Reintegrasi anggota GAM, dimana setiap anggota GAM didahulukan untuk mendapatkan rumah, tanah dan materi lainnya selain membentuk KPA sebagai wadah untuk kepentingan-kepentingan tersebut yang dananya berasal dari BRR. Implikasinya dapat terlihat sekarang adalah bahwa setiap Panglima Sago sudah memiliki mobil mewah, rumah dan perkebunan, tapi bukan lebih mementingkan kepentingan rakyat Aceh. Belum lagi point-point lain yang bisa diprediksikan bahwa MoU ini selain hanya menguntungkan GAM juga berindikasikan akan memasukkan GAM ke dalam lubang kehancuran yang mau tidak mau dibangunnya sendiri, seperti indikasi GAM menuju kemerdekaan dengan KPA, Partai Lokal, Deklarasi Kemerdekaan (lihat di www.cossalabu.com dengan judul “Strategi GAM”). Ini hampir sama dengan kejadian pemberontakkan GAM yang ternyata mengakibatkan hampir tebunuhnya Tengku-tengku yang mempunyai wawasan ilmu yang luas karena dianggap memberontak melalui GAM. Ketidaksabaran-ketidaksabaran inilah yang seharusnya dipikirkan oleh petinggi GAM, karena ujungnya adalah kembali ketidakamanan bagi rakyat Aceh menjadi korban konflik kembali.

Penduduk Aceh (bisa dilihat www.cossalabu.blogspot.com dengan judul ”Filosofi Kata Aceh Masih Dipertanyakan”)
Setiap keluarga di Aceh sudah barang tentu tidak menginginkan terjadinya perang lagi, sudah cukup generasi penerus kita disuguhi oleh perang dan dendam, yang mengakibatkan generasi penerus Aceh semakin terpuruk, inilah yang dikatakan sebauh cara sistematis untuk membodohi rakyat Aceh secara sadar atau tidak sadar kita menuju kearah sana.
Semua orang tahu bahwa potensi rakyat Aceh luar biasa, saya sangat terprovokasi denga tulisan-tulisan Yusran habib Abdul Gani, ia yang begitu bangga menjadi seorang Aceh sekaligus bangga menjadi orang gayo. Aceh itu sesungguhnya sudah tidak ada lagi yang dikatakan sebagai suku asli (dari keling, Gujarat, Tamil, Ruum, Arab, Melayu, Jawa, Batak, Jamnee), perbedaannya hanyalah kepada budaya dan bahasa mereka serta populasi terbesar yang ada pada mereka. Yang mengatakan orang Aceh hanya karena ia panda berbahasa Aceh dan menggunakan adat Aceh dalam kesehariannya, yang mengaku gayo sesungguhnya mereka yang dominant berasal dari Melayu, juga hasil perpaduan berbagai suku saat ini yang menggunakan adat dan bahasa gayo, yang dari suku Jamnee karena ia berbahasa dan menggunakan bahasa Jamnee.
Namun apabila mereka dikatik-kaitkan tentunya sudah tidak ada lagi yang suku asli dari mereka, keberagaman Aceh inilah yang membuat kita menjadi semakin cerdas, dalam ilmu genetika semakin banyak perpaduan sebuah suku akan melahirkan manusia-manusia cerdas, ini pulalah yang membedakan pendudukan Aceh pada zaman Iskandar Muda dengan penduduk daerah Sumatera lainnya.

Namun demikian, karakteristik penduduk Aceh adalah begitu heterogen sehingga akan sulit untuk bisa menjadi satu saat ini, karena sifat mereka yang keras serta diantara mereka terlalu mengangkat nilai kesukuan mereka dengan terlalu tinggi. Bahkan perang yang terjadi sekarang ini telah terlalu berbekas kepada rakyat yang tidak mendukung GAM, sebagai contoh rakyat Gayo, Meulaboh dan Tapak Tuan, banyak dari mereka yang merasa menjadi korban dari TNI dan GAM, karena mereka lebih memilih untuk diam atau lebih memilih untuk tidak mengikuti GAM.

ALA dan ABBAS adalah SOLUSI
Hal yang membuat rakyat Aceh semakin terpecah belah adalah karena adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kita semua sudah mengetahi bahwa memang ada perseteruan tradisional sejak zaman nenek muyang dahulu, yang bisa mulai diindikasikan dari sejarah yang agak jelas pada zaman Iskandar Muda kemudian yang semakin pudar kejayaan Aceh. Kepemimpinan yang keras saja yang mampu membuat rakyat Aceh itu menjadi bersatu serta mengatasnamakan keimanan dan persaudaraan sesame muslim yang membuat bersatu rakyat Aceh.
Perseteruan-perseteruan itu sudah dapat dilihat dari permasalahan perbedaan bahasa, yang menggambarkan dengan jelas ada perbedaan antara Aceh dengan Gayo yang tidak bisa dimungkiri,begitu juga halnya Aceh dengan Jamnee, factor-faktor seperti ini jelas tidak bisa dianggap tidak ada, karena berpengaruh amat besar dalam kehidupan.
Ini semakin meruncing ketika GAM mencoba untuk merangkul semua rakyat Aceh untuk membantu mereka dalam memerdekakan diri, namun ternyata tidak mendapat dukungan seperti yang mereka harapkan. Ini terjadi karena konsep perjuangan mereka yang tidak bisa diterima oleh rakyat Aceh pada umumnya, mereka lebih mengedepankan permusuhan dengan Jawa – Indon. Seharusnya GAM sadar bahwa untuk lebih merangkul rakyat Aceh bukan dengan perjuangan yang diatasnamakan Jihad, bukan ketidapuasan saja, karena rakyat Aceh itu sudah terbiasa dengan konflik antar golongan atau tingkatan social dan mereka amat menikmatinya, tapi jika dengan Jihad mereka akan berusaha sampai dengan tetesan darah terakhir mereka.
Ketika GAM memaksakan kehendaknya maka yang terjadi adalah mereka lebih mementingkan golongan mereka, rakyat gayo lebih mementingkan keamanan pada daerah mereka dibandingkan harus ikut konflik yang menyengsarakan mereka, rakyat Jamnee amat kesal dengan limpahan orang-orang GAM ke daerah mereka padahal mereka tidak menyetujui perjuangan ini. Ketika ini semua terjadi maka semakin nyata-nyata korban konflik yang terjadi, di Gayo timbul milisi yang berasal dari Gayo dan Jawa untuk mempertahankan diri mereka dari GAM, tentunya berafiliasi dengan TNI, lantas mereka mengusulkan juga dengan pemekaran Provinsi ALA. Di Jamnee atau Barat Selatan mereka menyimpan api dalam sekam yang kemudia meletus dengan pengusulan adanya provinsi baru ABBAS.

Tidak Setuju Pemekaran
Alasan Pertama, Aceh adalah milik Gayo, jadi tidak ada alasan kalau kita memisahkan diri, jujur saja saya juga dulu berpendapat seperti ini, sampai-sampai ama, ine, pak cik dan pun-pun saya tentang dengan hujjah seperti ini. Saya teringat bahwa pernah mengatakan kepada Pun saya, dengan nada keras “Cik, enti anggap lemah urang Gayo ni, kite si empun tempat, hana kati kite mulepas daerah si kite kuasai. Sawah ku ujung langit pe muyang datun te gere perah ijin kin pemekaren ni.” Waktu itu sampai merinding saya mengatakannya, karena ketidaksukaan dengan isu pemekaran ini.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu saya berpikir keras, kebetulan saya tinggal di Jakarta, bekerja di salah satu Departemen Pemerintah dengan anggaran yang paling tinggi saat ini. Saya juga sering mendampingi atasan saya melakukan kunjungan ke berbagai daerah, dan kebetulan ia senang mengunjungi daerah-daerah yang tertinggal. Saya pernah mengunjungi seluruh wilayah NTT dalam 2 kali kunjungan kerja, saya sangat miris bagaimana daerah kota di NTT lebih bagus dengan kecamatan yang ada di Jawa. Saya juga ke Papua, Kalimantan, Sulawesi dan banyak lagi, sepertinya hampir setiap provinsi di Indonesia saya pernah kunjungi.

Tiba-tiba kesombongan saya itu runtuh, saya baru sadar bahwa sekarang zaman sudah berbeda, sudah tidak ada lagi Raja Gayo yang kita banggakan sebagai penguasa Sumatera, saya seperti sadar baru menginjak bumi, sekarang ini adalah menghadapi kenyataan yang ada untuk memperbaikinya. Pola pikir saya langsung berubah, tiba-tiba saya sadar bahwa dengan daerah saya Gayo pun tidak lebih baik dari daerah-daerah yang saya kunjungi, utamanya kampong halaman saya.

Lantas saya teringat bahwa pada daerah-daerah pemekaran yang saya kunjungi, ternyata ada yang sedemikian maju seperti Banten dan Gorontalo, mereka begitu menggeliat dengan pembangunannya. Begitu juga dengan Bangka Belitung. Belum lagi pada beberapa Kabupaten/Kota seperti di NTT, terlihat bahwa Kabupate/Kota pemekaran tersebut selalu berusaha untuk menggeliat mencapai apa yang mereka perjuangkan dengan adanya pemekaran tersebut. Namun demikian saya juga menyadari ada beberapa daerah yang belum bisa dengan optimal melakukan pembangunan. Saya pun lantas mempelajari kenapa mereka berpisah, ternyata salah satunya adalah karena perbedaan budaya dan kultur, bahkan diantara mereka juga berucap seperti yang Edi Kelana katakan. Seperti saya teringat orang Banten mengatakan bahwa sesungguhnya Jakarta itu dulunya ada di bawah kekuasaan Kerajaan Banten, seharusnya mejadi milik Banten. Atau ketika orang Betawi berkata dengan sombongnya saya pemilik Jakarta, namun pada umumnya mereka amat tertinggal dari segala aspek kehidupan dibanding dengan orang pendatang ke Jakarta.

Inilah yang saya takutkan bila kita tidak segera melepaskan diri dari tekanan-tekanan, kebebasan kita untuk segera bangkit dan dapat membangun orang Gayo.
Lantas saya mengambil kesimpulan bahwa pemekaran tidak harus sama dengan wilayah yang dipunyai karena perkembangan zaman, akan tetapi ada juga diakibatkan oleh ikatan-ikatan perbedaan kultur yang memang bila disatukan akan menjadi permasalahan. Kelemahan dari intelektual kita adalah mencoba mengignore ini semua, padahal ini berdampak kepada keamanan dan percepatan pembangunan yang dilakukan, atau dapat dikatakan ‘feel like home’. Allah saja tidak pernah mengatakan kita harus satu akan tetapi lebih untuk saling mengenal.

Saya juga tidak bisa salah bagi orang-orang yang tidak menganggap ini menjadi masalah, tapi seperti yang dituliskan Win Wan Nur bahwa memang kita sudah tertekan, kita merasa ada di rumah orang padahal ada dirumah sendiri, tragis bukan.

Kedua, Pimpinan Daerah, mereka beralasan bahwa pemekaran ini hanya kepentingan segelintir elit politik saja, mereka yang mau menjadi pejabat pada daerah pemekaran.
Untuk alasan yang satu ini saya hanya bisa tertawa, sekarang ini adalah zamannya PILKADA, siapapun yang mau jadi pimpinan silahkan pulang dan berlomba-lomba untuk meyakinkan rakyat bahwa mereka bisa jadi pemimpin. Bahkan ada sisi baiknya disini, Gubernur dan Wagub serta pejabat-pejabatnya adalah orang Gayo, atau yang mengaku orang Gayo atau yang bisa berbahasa Gayo atau yang berbudaya Gayo. Sudah barang tentu mereka akan lebih focus untuk membangun daerahnya sendiri dengan sebaik-baiknya.

Sedangkan mengenai perebutan kekuasaan disana dari masing-masing suku, rasanya bukan masalah besar, karena kita menggunakan bahasa dan adat yang sama.

Ketiga, otonomi daerah, ada benarnya bahwa sekarang zaman otonomi daerah Pemerintah Kabupaten/Kota lebih berkuasa atau wewenang, tapi jangan lupakan juga kalau wewenang seorang Gubernur amat besar dalam menyalurkan dana Dekon serta menyampaikan kebijakan-kebijakan dari Pusat. Saya tahu betul, saat ini dalam APBN kami dimarahi oleh DPR, mereka mengatakan sudah tidak diperbolehkan lagi mengalirka dana langsung ke Kabupaten/Kota, semuanya harus ke Provinsi terlebih dahulu. Ini semua akibat anggapan dari Pusat bahwa terlalu jauh tangan Pusat untuk bisa mengawasi Kabupaten/Kota, intinya adalah mencoba untuk membangun kembali kewibawaan dari Provinsi.

Nah, bila ini terjadi alangkah baiknya kalau orang Gayo punya Provinsi sendiri, selama ini jelas kita selalu ketinggalan dari berbagai kebijakan Pusat, bahkan untuk aliran dana saja daerah ALA selalu ketinggalan, ini juga tidak terlepas dari perseteruan tradisional sejak zaman nenek muyang kita dahulu. Kita harus ingat bahwa bila nenek muyang mereka membunuh atau menipu nenek muyang kita tentu aka nada pengaruhnya kepada kita.

Yang terpenting lagi adalah kita bisa mengelola SDA di Gayo yang banyak ini, keamanan di Gayo bukan karena GAM, tapi ada pada orang Gayo sendiri. Kalau GAM berontak lagi kita akan bisa mendongakkan kepala kita, kita punya tentara sendiri. Dan lagi perputaran uang akan lebih banyak di Provinsi ALA.

Keempat, minorities within minorities, hal ini tidak akan mungkin terjadi, rasanya orang Gayo sudah cukup teruji dengan hal ini, dengan karakter terbukanya sejak zaman Kerajaan Linge sampai saat ini. Rasanya tidak ada satu suku pun yang bisa seterbuka suku Gayo, mereka bisa beradptasi dengan Batak, Padang, Jawa, Bugis, China bahkan Aceh sekalipun, walau pun dengan Aceh memang tidak bisa sepenuhnya. Terlebih lagi karakteristik antara Gayo dan Aceh itu jauh berbeda. Karakteristik orang yang berasal dari Melayu tentu berbeda dengan orang yang berasal dari Tamil.

Saya yakin tidak akan terjadi kalau pemekaran ALA lantas semua orang Aceh kemudian dibunuh, seperti halnya GAM membunuh orang Jawa dan Gayo di Aceh Tengah, ada yang unik dari orang Gayo. Keislaman mereka selalu dinomorsatukan, malu mereka selalu dinomorsatukan. Ini pula yang menyebabkan ketika Daud Beureuh ia berjuang lama di dataran tinggi Gayo, karena ia membawa kalimat Laa Ilaha Illallah, ini juga yang menyebabkan perjuangan GAM tidak di dukung oleh orang Gayo, karena perjuangan mereka tidak karena kalimat itu, hanya karena ketidakpuasan pada awalnya.

Sebagai contoh, kita lihat bagaimana orang Gayo tidak pernah demo karena harga bensin naik, waktu DOM bahakan pokok langka, mereka semua tenang-tenang saja, inilah keunikkan Gayo yang saya juga agak heran sampai sekarang. Mereka lebih mementingkan perdamaian di Gayo, inilah yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Gayo sekarang ini, daripada berafiliasi dengan GAM mereka memilih berafiliasi dengan TNI, mereka sadar dengan sifat dari orang Gayo, bukan seorang pemberontak yang bodoh. Tapi jika diajak dengan kalimat Syahadat, baru bisa dilihat bagaimana orang Gayo marahnya.

Untuk ketakutan kita terhadap suku Jawa yang menguasai daerah Gayo rasanya terlalu berlebih-lebihan, dan ini adalah amat berbahaya apabila dipermasalahkan hingga menimbulkan konflik horizontal. Karena rasanya sekarang ini banyak sudah perkawinan silang antara suku Gayo dan Jawa. Rasanya sudah terlambat atau adalah salah jika tema ini disebarluaskan, karena tidak aka nada artinya. Mereka sudah lama terikat dalam satu penderitaan ketika DOM, setiap aksi atau provokasi yang mencoba mengadudomba mereka hanya akan membuat ketidaknyamanan di Gayo, bahkan bisa jadi kemudian mereka mengatakan ini adalah aksi GAM yang tidak mau melihat Gayo aman dan damai.
Kemudian saya juga bisa katakan bahwa suku Jawa itu bukanlah sebuah suku yang suka melakukan kekerasan atau pemberontakkan seperti halnya suku Aceh, mereka relative lebih bisa tunduk dengan kebudayaan setempat, bila kita dapat memimpin atau memeberikan tempat kepada mereka mereka sepertinya akan menjadi teman yang baik, mereka punya loyalitas atau seperti Bang Win Wan Nur katakan ‘Feodal’. Sedangkan dengan Aceh, saya yakin kita akan selalu bertarung dalam hati kita dengam mereka, karena ini terjadi sejak nenek muyang kita.

Setuju Pemekaran
Alasan pertama, bisa mengangkat harkat, martabat dan marwah orang Gayo. Keyakinan mereka dengan lahirnya pemimpin-pemimpin Gayo yang berasal dari Gayo sudah barang tentu akan lebih memikirkan orang Gayo dengan lebih maksimal. Mereka mempunyai keyakinan bahwa siapapun Gubernurnya dengan segala macam kejelekkannya bila berasal dari Tanoh Gayo sudah barang tentu akan berpikir untuk orang Gayo, kasarnya untuk urangnya pasti dipikirkannya.

Yang lebih mereka pikirkan lagi adalah timbul-timbul pejabat yang berasal dari Gayo, dan sudah barang tentu ini akan membuat percepatan-percepatan SDM yang harus dilakukan. Seorang Gubernur Gayo tentunya harus mulai berpikir seperti seorang Gubernur mau tidak mau, ia harus mempersiapkan kapasitasnya sebagai seorang Gubernur, begitu juga dengan pejabat lainnya.
Anak cucu kita akan bangga dengan ini semua, bahkan mereka kemudian bercita-cita menggantikan senior-seniornya, ada peluang besar ke situ. Setiap orang akan bangga dengan Gayonya.

Yang lebih menguntungkan lagi adalah kita bisa dengan lebih leluasa melakukan penelitian-penelitian tentang sejarah Gayo, dan mengaktualisasikannya sebagai eksistesi orang Gayo, bahkan memperkuat adat Gayo yang menjalankan syariat Islam sejak ratusan tahun lalu.

Sekali lagi untuk orang Jawa, saya akan memperlihatkan sebuah Provinsi Lampung yang notabene hampir 60% jawa, tetap Gubernur mereka orang Lampung asli, inilah salah satu keunikan orang Jawa.

Terlebih lagi suku Gayo adalah salah satu suku yang selalu berhasil perpaduan budaya dengan suku manapun, sebagai contoh di Aceh Barat dan Aceh Selatan bahasa padang tidak hilang dari kehidupan mereka, ini menandakan bahwa Aceh tidak pernah bisa memenangkan budaya mereka terhadap suku Jamnee. Lihat di Gayo, Aceh Tenggara yang merupakan perpaduan Aceh dan Padang, bahasa Padang hilang digantikan dengan bahasa Gayo.

Selain itu, sudah barang tentu pada awal-awal pemerintahan orang Gayo akan memimpin ALA selama beberapa generasi, kita dapat mempersiapkan mereka, generasi Gayo, dengan lebih baik lagi tentunya.

Terakhir, masa yang akan datang, bukan suku lagi yang dipikirkan orang tapi bagaimana semua menjadi sejahtera, Islam menjadi tujuan. SBY yang pernah ke Gayo mengatakan bahwa Gayo adalah Indonesia Mini di Indonesia, maka jadikan Gayo sebagai sebutan bagi orang-orang yang mengikuti adat Gayo dan berbahasa Gayo.

Kedua, percepatan pembangunan, ini kiranya sudah jelas, seperti yang saya jelaskan pada awal tadi, bahwa ke depan untuk otonomi daerah peran daerah tingkat I atau Provinsi akan diperkuat, yang bertujuan memperkuat nasionalisme sekaligus mempermudah untuk melakukan pengawasan terhadap Kabupaten/Kota yang ada pada regional mereka. Atau bahasa kerennya adalah memperpendek rentang kendali.
Mau tidak mau SDM Gayo akan maju, baik dengan cara transfer knowledge dengan pihak luar, memperkuat pendidikan, membangun budaya lokal. Yang terpenting adalah SDA dataran tinggi Gayo bisa dikelola penuh oleh orang Gayo dan dipergunakan untuk kemashalatan orang Gayo. Yang saya herankan adalah ketika orang mengatakan bahwa orang Jawa akan membawa kekayaan Gayo ke Jawa, ini adalah sesuatu yang amat bodoh di era otonomi daerah.

Namun, hal itu bisa terjadi apabila Gayo terjadi konflik, kita jangan terprovokasi untuk hal ini. Salah satunya adalah dengan wacana Gayo Merdeka, ini amat berbahaya. Bila kita berkaca kepada Aceh, maka ada wacana bahwa GAM tersebut merupakan sebuah scenario untuk menghabiskan SDA Arun dengan mudah. Bayangkan, sejak Arun dimenangkan USA kemudian timbul pemberontakkan GAM yang sepertinya sama sekali tidak ada upaya yang serius untuk menggagalkan kekayaan alam tersebut di bawa ke USA, jelas sekali yang mendapatkan keuntungan besar dari proyek Arun adalah Exxon. Dalam pemikiran mudah kita, seharusnya target utama GAM adalah tidak berjalannya proyek Arun, kenyataannya sudah hampir habis SDAnya. Jadi adalah wajar ketika kita mengatakan bahwa ada main mata antara GAM, oknum TNI dan USA untuk menjadikan Aceh tidak aman sehingga bisa menggerus habis Arun sekaligus menghabiskan para Tengku yang berbahaya bagi Soeharto.

Begitu juga halnya bila Gayo Merdeka menjadi sebuah perjuangan, ini akan dianggap sebagai kaki tangan GAM. Salah satu tahapan dari Gerakan Gayo Merdeka (baca Kaki Tangan GAM) adalah dengan menjadikan konflik horizontal antara Gayo dan Jawa, dengan mengangkat kesukuan atau Chauvisme Gayo. Bayangkan ketidakamanan yang akan diderita orang Gayo dan tentunya orang Aceh (baca GAM) akan tertawa dengan riang, bahkan oknum TNI akan senang melihatnya, ada proyek penggerusan baru. Ini yang harus kita jaga.

Dengan ALA, semuanya akan menjadi lebih mudah, dengan ALA nasionalisme kita akan mendapatkan penghargaan dari NKRI, kesempatan membangun kita akan lebih besar, karena daerah Gayo terkenal sebagai daerah putih, atau daerah yang mendukung NKRI. Gayo akan aman dan anak cucu kita bisa menggapai cita-citanya.

Ketiga, keamanan, dengan ALA kita akan mempunyai teritori sendiri untuk mengamankan daerah kita, kita akan punya Kodam sendiri. Daerah konflik akan lebih mudah ditangani, GAM akan lebih mudah dibrangus. Rakyat Gayo sudah punya kepercayaan diri untuk menghancurkan GAM, mereka sudah punya kekuatan yang jelas dari TNI.

Bahkan dengan terbelahnya Aceh, maka yang bisa diprediksikan tidak ada lagi konsep Aceh Merdeka oleh GAM, semuanya gugur. Tidak perlu lagi rakyat Gayo menjadi korban dari PERANG BODOH selama puluhan tahun yang membuat rakyat Gayo menderita, terancam, terintimidasi, kekurangan pangan, sandang dan papan, kehilangan kepercayaan diri. Ini semua dapat kita hilangkan dengan pemekaran ini.
Tiga hal ini saja, maka dapat dipastikan Gayo sekarang akan berbeda dengan Gayo 10 tahun yang akan datang, kita akan lihat anak-anak kita menjadi seorang Profesor, kita akan lihat tenaga kerja yang baik, perkebunan yang aman, pendidikan yang maju, perekonomian yang bergerak.

Walau demikian pada 3 tahun pertama, merupakan masa-masa sulit, kita akan diuji dengan kemampuan kita untuk menjaga keamanan, salah satunya adalah GAM yang pasti akan menggagalkan ini, karena Aceh Merdeka akan hilang dari muka bumi ini. Selanjutnya dilanjutkan dengan kemampuan untuk menarik banyak investor, kemampuan untuk mencarikan formulasi yang terbaik sesuai dengan kondisi dataran tinggi Gayo yang tidak merusak alam dan menegakkan syariah Islam.

Kesimpulan
Kepada masyarakat Gayo, utamanya generasi mudanya mari kita berpikir luas dan tidak sempit, dengan ALA kita dapat membangun dengan cepat SDM dan mengelola SDA bagi SDM kita. Kita tidak akan lagi ketakutan dengan PERANG BODOH atau agenda-agenda Aceh Merdeka. Kita bisa membuktikan bahwa ALA bukan hanya mensejahterakan orang Gayo tapi segala suku yang ada di ALA dengan sebaik-baiknya, sebuah Indonesia Mini.
Kita tidak bisa mempercayakan nasib kita kepada GAM atau orang Aceh, kebencian mereka terhadap suku Jawa adalah luar biasa, bila ini kita biarkan maka sama saja kita bunuh diri menciptakan konflik pada daerah kita sendiri yang kemudian kita akan sesali.
Pemberontakkan tidak akan pernah menang sekarang ini, jangan samakan Aceh dengan Kosovo, Kosovo punya Rusia, itupun sulitnya bukan main. Siapa yang mau membela Aceh, Gayo saja tidak bisa mereka rangkul, tentu dunia internasional akan terus mempertanyakan hal ini.

Namun, kita bisa samakan Aceh dengan Tamil di Sri Lanka, dan ini memang nenek muyangnya.

Tapi kita tidak bisa samakan Aceh dengan Khasmir di India, Poso di Fhilipinna, Chencya di Rusia, Moro di Thailand, apalagi Hamas di Palestina. Mereka memperjuangkan nasionalisme dengan menghalalkan darah sesame muslim, sehingga hanya membuat murka di sisi Allah.

SELAMAT ULANG TAHUN UNTUK DEKLARASI PEMEKARAN ALA DAN ABBAS, SEMOGA RAKYAT ACEH SEMAKIN MAJU KEDEPANNYA.

Tidak ada komentar: