01 Desember 2008

Filosofi Kata Aceh Masih Dipertanyakan ?

Sebelumnya permohonan maaf saya kepada semua jamaah pada mailing list ini dengan beberapa tulisan saya yang telah menyinggung perasaan dari rakyat Aceh secara keseluruhan.

Kali ini saya akan mencoba untuk menggali asal mula nama Aceh dari beberapa literatur sejarah yang ada, beserta pemikiran-pemikiran saya yan sudah saya ungkapkan, juga kemudian saya akan mencoba mengkupas Kerajaan Iskandar Muda yang kita banggakan itu.

Namun sebelum saya menuliskannya ada hal penting yang perlu saya sampaikan terlebih dahulu bahwa pada masa Sultan Iskandar Muda dari beberapa tulisan orang-orang Eropa yang pernah melakukan kunjungan kesana mengatakan bahwa bahasa utama saat itu adalah bahasa Melayu, bukan bahasa Aceh, ini perlu ditegaskan karena bahasa Aceh sepertinya masih hanya digunakan oleh orang-orang Pidir atau Pidie.

Kemudian yang perlu diingat lagi adalah nama Aceh itu merupakan sebutan dari orang-orang yang melakukan kunjungan ke daerah pesisir utara Sumatera sendiri, bukan sebutan dari Sultan Iskandar Muda atau orang-orang yang ada di daerah yang dikunjungi oleh yang mendatangi Aceh tersebut mengatakan bahwa mereka adalah orang Aceh.

Nama adalah penting menurut saya, nama merupakan sebuah Sejarah, seperti hal Rosulullah kita dinamakan Muhammad, artinya yang selalu dipuji, atau ketika anak-anak kita diberi nama, selalu yang terbaik. Saya yakin tidak mau orang-orang di Aceh memberikan namanya dengan sebutan Tengku Asu.

Asal Mula Kata Aceh
Saya akan mengutip dari buku Kerajaan Aceh, Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) oleh Denys Lombard, hal 30-31.

“Meskipun beberapa kali ada usaha untuk mengenali nama Aceh dalam naskah-naskah Zaman Kuno dan Pertengahan, namu dapat ditegaskan bahwa nama itu baru disebut dengan pasti sekali dalam Suma Oriental yang dikarang di Malaka pada sekitar tahun 1520 oleh Tome Pires, seorang Portugis. Untuk sebutan pertama itu kami temukan pengejaan achei (regno dachei), tapi dalam karya agung Barros berjudul Da Asia yang terbitnya beberapa puluh tahun kemudian sudah terdapat penyengauan akhir yang kemudian hampir selalu bertahan dalam abad ke-16, 17 dan 18, yaitu Achem, lalu Achin, Atjhin, dan lain sebagainya (dari nama itu terbentuk dalam bahasa Prancis kata sifat atjhinais yang jelek sekali akan tetapi masih dipakai dalam karyta-karya tertentu dalam karya kita”
…..
“Penyengauan akhir yang terdapat dalam hampir semua pengejaan nama oleh orang Eropa boleh jadi akibat dari perlawatan bangsa Portugis yang bisa saja menjadi terbiasa mencatat pengembusan huruf terakhir yang tidak mereka kenal dengan cara demikian. Mengenai hal itu perlu dikemukan bahwa nama pelabuhan niaga dekat Aceh yang oleh naskah-naskah Melayu berhuruf Arab ditulis Pasi dan yang tulisannya sekarang adalah Pasai (“Pasay” menurut transkrip ilmihanya), juga telah mendapatkan perlakuan yang sama: kebanyakan pelawat abad ke 16 dan ke 17 menulis Pasem atau Pacem.

Filosofi Kata Aceh
Dari kutipan tersebut, menurut pemikiran saya kata Achei tersebut merupakan kata yang berasal dari Melayu, karena saat itu yang digunakan adalah bahasa Melayu. Dan bahasa Melayu ini lebih dekat kepada bahasa Gayo, bukan kepada bahasa Aceh, karena bahasa Aceh sampai saat itu masih belum digunakan, masih pada daerah Pidir saja.

Hal yang perlu diingat adalah bahwa bangsa Eropa pada kenyataannya selalu melakukan peperangan dengan Kute Reje waktu itu sejak berabad-abad yang lalu, sehingga mereka pastinya akan mencoba memberikan sebutan yang tidak baik kepada daerah yang sulit ditaklukkannya tersebut.

Lantas pada masa tersebut memang selalu ada pertikaian antara kaum bangsawan dengan kaum Sultan, bahkan seringkali dilakukan dengan cara pembunuhan oleh Sultan terhadap para bangsawan yang sudah mulai tidak memperhatikan kepentingan rakyatnya. Kaum Raja itu kebanyakan berasal dari Melayu (= baca Gayo) dan bangsawan kebanyakan berasal dari persatuan kaum bangsawan non Melayu tersebut yang berasal dari orang Keling (orang India atau Kalingga), Gujarati, Tamil. Kemudian mayoritas orang Rum (orang dari Roma, artinya Istambul), orang Turki, Arab dan Parsi akan menjadi Tengku atau Ahli Agama.

Sebagai contoh ketika Sultan Iskandar Muda diangkat menjadi Sultan,dalam kebijakannya ia membunuh banyak bangsawan yang sudah dianggap tidak memperhatikan rakyatnya.

Saat itu, para bangsa Eropa yang datang tentunya dalam berhubungan langsung dengan Sutannya, orang Melayu dibandingkan para Bangsawannya, karena mereka mengetahui bahwa kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para bangsawan tersebut. Kemudian dalam interaksi mereka tersebut keluarlah kata ‘maaf’ ASU, yang kemudian menjadi sebutan bagi bangsa-bangsa Eropa. Sebuah sebutan yang cocok bagi lawan sekaligus kawan, juga sebagai bahan memcah belah untuk mengambil keuntungan dari pertikaian antara Bangsawan dan Penguasa.

Hal inilah kenapa saya mengatakan ada kemungkinan bahwa asal Aceh itu berasal dari Asu, tapi kesemuanya tentu perlu diteliti lagi, saya hanya ingin menjaga agar anak cucu kita ketika mengetahui keasliannya kemudian tidak berani menatap langit lagi ke depan.

Dan ini pulalah yang menyebabkan terjadi permusuhan tradisional antara Sultan (Melayu atau Gayo) dengan Bangsawan atau Teuku (Pidir, Keling, Tamil, Gujarati) serta Tengku (Arab, Parsi, Persia). 2 golongan ini yang terus bertengkar sampai anak cucunya, sampai sekarang. Sedangkan Tengku pada dasarnya lebih dekat kepada Sultan, namun seiring dengan berjalannya zaman maka pernik-pernik kehidupan akan berjalan yang menyebabkan Tengku kadang ada di Sultan dan Teuku.

Bisa saja apa yang saya ungkapkan merupakan sebuah retorika berpikir, tapi retorika inilah yang harus mulai diteliti oleh orang Aceh sendiri, agar kita semua tidak menderita karena pertikaian yang terjadi oleh nenek muyang kita yang harus ditanggung oleh kita semua.

Ini pula yang seringkali saya katakana bahwa Sultan pasti akan menguasai Aceh ini kembali, namun pertikaian akan terus terjadi dengan bangsawan.
Jadi ada ALA atau tidak ALA, Aceh akan dapat ditaklukkan oleh Gayo, ketika anak-anak Gayo sudah mulai mendapatkan pendidikan yang cukup ia pasti akan mencari asal mula leluhurnya, dan dalam dirinya sudah tersimpan permusuhan tradisional, genetic muyang datunya telah di bawanya. Akan lebih banyak muncul orang-orang seperti saya yang akan meminta kembali kebanggaan Muyang Datunya dahulu sebagai Penguasa Aceh, aka nada orang-orang seperti saya yang terus mengejek kata Aceh dengan berbagai cara, menghina para Teuku dan mencoba menggaet Tengku, ini pasti akan terus terjadi.

Belum lagi ketika saya akan mulai menulis Sultan Iskandar Muda kemudian mencocokkannya dengan kebudayaan yang ada pada Gayo, serta pengambil kebudayaan oleh Aceh, akan semakin terlihat, itu yang saya katakan kepada teman mailing list lainnya, jika dari Gayo telah lahir tokoh Antropologi dan Linguistik semuanya akan terbuka dengan jelas, karena sebenarnya pekerjaan mereka hanya melem kembali pecahan-pecahan kertas untuk menjadikannya satu dan memperlihatkan siapa sebenarnya orang Gayo itu.

Aceh Ke Depan
Aceh ke depan bila tidak dipisahkan rasanya akan sama seperti sekarang selalu dalam pertempuran, karena memang adalah sulit untuk dapat menghilangkan permusuhan tradisional yang sejak zaman dahulu telah memakan korban yang banyak antara Bangsawan dan Penguasa. Kita dapat bayangkan bagaimana seorang Penguasa menggunakan kekuasaanya untuk menghabiskan bangsawan dan bangsawan mencoba bertahan dan menyerang balik sang penguasa dengan harta kekayaannya dan tipu dayanya. Dan golonga Tengku selalu dalam kebingungan untuk membela siapa.

Aceh Berhasil Merdeka
Katakan saja Aceh berhasil Merdeka, mereka berhasil menguasai semua Bupati dari GAM di seluruh Aceh, KPA berhasil menarik simpati semua rakyat Aceh karena programnya berhasil, Partai Lokal berhasil memenangkan hampir 70% di seluruh Aceh, selanjutnya mereka berhasil mendeklarasikan kemerdekaan atas nama seluruh rakyat Aceh melalui legislative dan UUPA yang sudah mendukung serta MoU Helsinky sebagai jaminan internasionalnya.

Karena kita selalu dalam keraguan untuk mengatakan hal ini, maka katakana saja Aceh berhasil merdeka perseteruan ini tidak akan berhenti, terlabih lagi sekarang sudah bertambah suku serumpun Melayu, Jawa, di Gayo, yang sudah bersatu dengan suku Melayu (Sultan, Gayo), mereka akan menyusun kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap GAM. Sedangkan Tengku rasanya akan mendukung GAM dengan alasan mereka berjanji akan mengakkan syariat Islam di Aceh.

Bisa dibayangkan dataran tinggi Gayo akan menggelora kembali, bahkan amat menggelora, bisa saja GAM meminta bantuan kepada PBB untuk menghacurkan separatis Gayo yang dianggap sebagai kepanjangan tangan dari TNI atau NKRI, seperti halnya sekarang terjadi di Timur-Timur. Suku Gayo akan habis, dan peperangan dimenangkan oleh yang dulu disebut Bangsawan.

Bahasa Gayo akan musnah, seperti hilangnya bahasa Melayu dari Kuta Raja sekarang ini, digantikan oleh Bahasa Tamil atau Aceh. Bila ini terjadi maka akan hilanglah kebudayaan Gayo karena akan semakin diakui sebagai kebudayaan Aceh. Karena sudah barang tentu bahasa nasional adalah Bahasa Aceh bukan bahasa Gayo.
Kepada serinenku, coba pikirkan ini jika anda mendukung GAM, tanyakan kepada diri sendiri dan nasib anak cucu kita nanti.

Aceh satu di bawah NKRI
Saya yakin tidak akan pernah aman seperti yang terjadi sejak zaman dahulu sampai dengan sekarang, sudah kultur dari orang Tamil untuk terus melakukan pemberontakkan. Sudah Kultur orang Aceh yang malas, ini pernah dituliskan dalam sebuah kunjungan dari bangsa Eropa yang amat marah melihat Aceh yang begitu berpotensi dengan pertanian, mereka melihat bahwa Kuta Raja waktu itu tidak dikelola dengan baik oleh orang Aceh. Karena mereka yang datang dari Eropa itu masih bergantung kepada pertanian di negerinya.

Atau seperti sekarang ini pada pesisir Aceh Timur yang berpotensi untuk ditanami
Sawit, akan tetapi investor kesulitan mencarikan SDM yang mau mengelolanya, karena perkebunan sawit merupakan perkebunan terpadu yang memerlukan keseriusan, dan ini jauh berbeda dengan Aceh bagian Barat dan Selatan dengan bahasa Padangnya. Ironisnya lagi ketika mereka memang malas, mereka tidak mau orang Jawa untuk membantu penanaman sawit di kebun mereka. Akhirnya terbengkalai lah daerah tersebut.

Ini sepertinya akan terus terjadi, ketika GAM sudah tidak bisa lagi memberikan anggotanya materi, ketika mereka malas karena tidak punya kehlian untuk hidup kecuali mengangkat senjata maka yang terjadi adalah kembali memberontak, Aceh kembali menggelora.

Sebenarnya ada keahlian dari mereka, yaitu berdagang, jasa, mereka berikan keterampilan ini bukan sebagai petani, mereka tidak akan pernah mau. Jadikan daerah Aceh pesisir timur seperti halnya Singapura.
Sedangkan Gayo tetap merasakan ketidakamanan selam satu dengan Aceh, mereka terus akan menuntut ketidakadilan yang pasti akan terus terjadi, puluhan tahun sudah terjadi. Bupati-bupati dari daerah ini akan terus melakukan perlawanan karena ketidakadilan tersebut, saya jamin itu. Anak cucu Gayo harus selalu hidup dalam politik PERANG BODOH, bukan memikirkan pendidikan lagi, mereka diajarkan syakwasangka akan ganasnya GAM. Belum lagi dengan keturunan Gayo dan Jawa yang akan semakin besar proporsinya, mereka akan membentuk kelompok sendiri untuk meneriakkan ketidakadilan terhadap mereka.

Pemekaran Aceh
Inilah sebuah solusi yang paling baik saat ini menurut saya, semua akan bersaing, para Bangsawan sudah punya rumahnya sendiri, para penguasa sudah punya rumahnya sendiri, para Tengku bisa berdiri dimana ia dibutuhkan.

Alasan-alasan yang tidak menyetujui ide pemekaran adalah sebuah alasan yang bodoh, lebih kepada keinginan untuk kepentingan golongannya saja, tidak mau memikirkan filosofi orang Aceh itu sendiri serta belajar dari pertikaian yang sudah terjadi sejak zaman dahulu kala.

Kita akan melihat sesame Raja Gayo sekarang akan bertikai untuk memperebutkan kekuasaan, karena mereka semua merasa keturunan penguasa. Tapi ini akan menjadi lebih baik, karena tentunya mereka punya ikata budaya yang kuat, tidak akan sampai terjadi pertumpahan darah seperti halnya dengan bangsawan pertikaiannya. Terlebih lagi sekarang sudah PILKADA, ancaman ini akan semakin kecil, yang ada keamanan terjamin, perpolitikkan di Gayo semakin canggih.

Kita lihat para bangsawan akan berlomba-lomba menawarkan jasa dan kepintara mereka dalam melakukan loby, mereka akan membangun kotanya dari perdagangan, mereka akan berupaya mengeruk sebanyak mungkin keuntungan dari hasil perdagangan mereka. Dendam akan hilang dari mereka, syak wasangka akan hilang dari mereka, merka akan terus berjuang.

Lihat lima tahun ke depan para bangsawan dan Penguasa sekarang saling berkompetisi untuk menyatakan bahwa daerah saya yang paling maju, tidak ada lagi perseteruan tradisional yang tidak pada tempatnya, karena semua sudah punya wadanya masing-masing.

Anak Gayo akan bangga mengatakan ia orang Gayo. Orang Aceh akan bangga mengatakan ia dari Tamil, orang Aceh akan bangga mengatakan ia dari keturunan Jamnee.
Inilah keindahan yang saya bayangkan kalau Bapak Irwandy bisa berpikir jernih dan cinta kepada rakyat Aceh semuanya. Karena memang Aceh itu tidak akan aman bila terus dijadikan satu, yang terbaik lihat sama tinggi sama rendah dan berikan mereka haknya.

Bukannya saya mengancam ,tapi pemuda-pemuda Gayo sekarang sudah mulai bangkit, kalau pun Aceh jadi satu atau Merdeka maka yang ditakutkan Aceh tidak akan aman selamanya terus bersiteru satu dengan yang lain.

Berijin.
www.cossalabu.blogspot.com
Tulisan saya selanjutnya saya akan mengupas Sultan Iskandar Muda dikaitkan system pemerintahannya dengan adat istiadat Gayo, mudah2an bisa selesai.

Tidak ada komentar: