15 Desember 2008

Lanjutan Diskusi tentang Interpeace ALA (2)

Lanjutan Tulisan Bang Win Wan Nur tentang Interpeace ALA:

Makin lama saya membaca tulisan-tulisan serinen saya Kosasih, semakin banyak saya menemukan kesamaan antara kami. Saya dapat merasakan kecintaan serinen saya Kosasih yang bahkan tidak lahir dan tidak pernah menetap di Gayo ini terhadap Gayo. Meskipun secara ide besar, seperti Edhie Kelana, saya juga tetap tidak setuju dengan serien
Kosasih bahwa ALA bisa menjadi solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh orang Gayo.

Besarnya rasa cinta serinen Kosasih terhadap Gayo ini misalnya dapat dilihat dalam tulisan Kosasih yang mengomentari tulisan saya tentang Isu ALA di Konferensi Interpeace. Ada banyak alasan logis yang dikemukakan Kosasih mengenai pentingnya pembentukan ALA dan terus terang saya setuju dengan garis besar argumen serinen saya Kosasih secara garis besar, tapi bukan pada detail. Saya tidak setuju dengan detailnya karena seperti biasa data-data dan argumen yang dikemukakan oleh serinen Kosasih seringkali 'ngelantur' dan 'prematur' serta tidak berbasis fakta. Data-data dan argumen Yang diajukan serinen Kosasih saya sebut PREMATUR karena terlalu banyak faktor penting yang tidak diperhitungkan oleh serinen Kosasih ketika memaparkan impiannya.

Supaya serinen Kosasih tidak berprasangka kepada saya, perlu saya jelaskan kalau saya tidaklah sepenuhnya menolak ide pemisahan Provinsi. Saya sepenuhnya mengerti kalau pembentukan sebuah administrasi pemerintahan berdasarkan kelompok etnis adalah
kecenderungan dari setiap etnis manapun di dunia. Suatu etnis yang bisa mencapai tingkat peradaban (SDM) yang setara dengan etnis yang lebih besar yang menguasai wilayahnya memang cenderung untuk memisahkan diri. Contohnya bisa kita lihat dari seluruh negara di Eropa, selain Swiss, Belgia dan Luksemburg bisa dikatakan seluruh
negara eropa adalah 'etnostate'.

Sebagai orang Gayo, seperti yang saya ulas dalam tulisan saya tentang Konferensi Interpeace. Sayapun mengakui adanya rasa tertekan sebagai minoritas. Ada tekanan, ada represi dan ada arogansi suku Aceh yang ditujukan terhadap kita suku Gayo dan suku-suku minoritas lainnya. Dan terus terang pula seandainya ide tentang ALA seperti yang serinen dukung itu diajukan dengan konsep yang rasional dan matang. Saya
sendiri akan berdiri bersama serinen di barisan terdepan untuk memperjuangkan terbentuknya provinsi impian ini.

Saya menolak ide pembentukan ALA adalah karena saya sepenuhnya sependapat dengan Tengku Ali Jadun yang sempat saya wawancarai di rumah beliau saat saya berada di Takengan beberapa waktu yang lalu. Kami berdua memiliki pandangan yang persis sama tentang ALA ini. Kalaupun harus pisah Tengku Ali Jadun dan juga saya menginginkan
pisahnya Gayo dengan Aceh itu adalah pisah yang seperti istilah yang diungkapkan oleh Tengku Ali Jadun, pisahnya adalah pisah 'JAWE' bukan pisah 'CERE'.

Ada perbedaan besar dalam dua cara berpisah ini, serinen.

JAWE adalah pisah dengan alasan rasional, JAWE adalah pisah yang merupakan keharusan untuk mencapai kemandirian. Kalau pisah dengan cara JAWE maka apa yang Serinen Kosasih sampaikan seperti "SDM Gayo akan maju, baik dengan cara transfer knowledge dengan pihak luar, memperkuat pendidikan, membangun budaya lokal. Yang terpenting adalah SDA dataran tinggi Gayo bisa dikelola penuh oleh orang Gayo dan dipergunakan untuk kemashalatan orang Gayo" . Akan bisa kita capai.

Sebaliknya dengan CERE, ini adalah cara berpisah yang EMOSIONAL, perpisahan model ini hampir selalu meninggalkan rasa sakit dan permusuhan. Pisah dengan cara seperti ini disamping menghabiskan energi di masa pembentukan, sampai kapanpun kita bakal terus dihantui permasalahan kebencian dan permusuhan. Alih-alih membangun SDM Gayo
yang maju, pisah dengan cara ini akan membuat kita orang Gayo akan terus ribut sesama kita sendiri di dalam dan dimusuhi oleh etnis Aceh di luar.

Akan ada banyak permasalahan sosial rumit yang akan terjadi kalau serinen tetap berkeras tetap membentuk ALA secara emosional.

Diantaranya coba saya uraikan :

Benar kalau ALA terbentuk orang Gayo bisa melepaskan ketergantungan dari Aceh dengan lebih berafiliasi ke Medan. Tapi bagaimana nasib lebih dari 6000 Orang Gayo yang tinggal di Banda Aceh?, apakah mereka akan serinen biarkan sebagai tumbal untuk dijadikan sasaran kemarahan dan bulan-bulanan orang Aceh atas pilihan PISAH serinen yang emosional itu?. Apakah untuk itu supaya tidak dijadikan tumbal solusinya mereka
harus serinen pindahkan secara massal ke Medan atau sekalian ke Takengen dan Redelong?.

Kemudian pertanyaannya lagi apakah dengan dipindahkan itu mereka itu semuanya akan merasa nyaman dengan suasana Medan yang rasis dan barbar?. Pertanyaan ini perlu saya ajukan karena selama saya berada di Banda Aceh ini saya menemui banyak sekali orang Gayo yang sudah merasa nyaman berbaur dengan Orang Aceh dan merasa nyaman berada dalam relasi sosial yang setara secara individu.

Seiring dengan mencuatnya isu ALA yang dipropagandakan dengan nada-nada penuh kebencian seperti yang serinen lakukan ini. Banyak diantara 6000-an orang Gayo ini yang merasa sangat terganggu relasi sosialnya dengan rekan-rekan etnis Aceh yang merupakan teman bergaul mereka sehari-hari.

Permasalahan seperti ini yang saya lihat sama sekali tidak ada sedikitpun dijadikan bahan pertimbangan oleh serinen dan pendukung ALA lainnya yang mengaku sebagai intelektual Gayo dalam mengambil sebuah tindakan. Kalau saya, saya bisa memaklumi alasannya, itu karena serinen dan rekan-rekan pendukung ALA yang mengaku intelek lainnya hampir semuanya berbasis pendidikan tinggi di luar Aceh. Jadi serinen dan pendukung ALA lainnya sama sekali tidak bisa merasakan permasalahan orang Gayo yang sehari-harinya tinggal dan bergaul dalam komunitas besar etnis Aceh.

Cuma masalahnya tidak semua orang bisa memaklumi dan mengerti latar belakang orang seperti serinen dan para pendukung ALA lainnya. Sekarang ada indikasi orang Aceh menganggap stereotip Orang Gayo adalah yang seperti serinen itu. Dan saya lihat dari
postingan-postingan serinen selama ini. Stereotip bahwa Orang Gayo adalah orang yang seperti KOSASIH inilah yang ingin serinen bangun. Belakangan ini pula saya melihat ada kesan dan opini yang ingin diciptakankan bahwa Orang Gayo hanya bisa disebut intelek kalau dia mendukung ALA (menempuh pendidikan tinggi di luar Aceh).

Padahal faktanya ada banyak orang Gayo yang juga memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Bukan cuma serinen dan orang-orang Gayo yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi di luar Aceh. Ada ribuan orang Gayo yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi di Aceh. Dan bisa saya pastikan tingkat intelektual mereka tidak lebih rendah dibandingkan tingkat intelektual serinen dan pendukung ALA lainnya yang mendapatkan pendidikan tinggi di luar Aceh. Dan merekapun tidak sama seperti Stereotip Orang Gayo yang sedang serinen bangun. Dan mereka juga merasakan permasalahan yang sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan serinen itu.

Pertanyaan lain, jika ALA serinen bentuk secara emosional begini, salah satunya karena seperti serinen Kosasih yang sangat membenci GAM. Lalu kalau bagaimana dengan nasib orang Gayo yang secara kultural adalah pendukung setia GAM. FAKTA, ada beberapa kampung di Gayo yang selama konflik dimasukkan ke dalam daftar hitam. Bahkan sebelum ALA terbentukpun ketika Bener Meriah dikomandani seorang Bupati yang merupakan Ikon perjuangan ALA. Orang-orang Gayo di kampung ini sudah merasa sangat tertekan dan merasa dianak tirikan. Lalu, kalau provinsi ALA yang sangat anti GAM nantinya terbentuk bagaimana nasib orang-orang yang tinggal di kampung ini?. Apakah kalau ALA yang sangat anti GAM ini terbentuk orang seperti serinen Kosasih yang lahir
dan besar di Jawa akan mengusir mereka dari Tanoh Gayo, dari kampung halaman mereka tempat mereka dan seluruh nenek moyang mereka tinggal turun temurun?.

Atau apakah oleh serinen Kosasih yang lahir dan besar diJawa serta tidak pernah menetap di Tanoh Gayo ini. Mereka yang hidup dan mencari nafkah di Gayo ini akan kembali diperlakukan seperti di masa konflik dulu? dijemput satu persatu dari rumah dan dihari berikutnya disuruh diambil oleh sanak keluarga mereka dalam kondisi tubuh babak belur, kadang tercabik-cabik dan sudah menjadi mayat?.

Lalu bagaimana pula kalau mereka resisten, tidak bersedia dengan ikhlas dijemput paksa begitu saja tanpa perlawanan dan kemudian meminta bantuan ke Aceh, mempersenjatai diri dan kemudian menyerang balik Orang Gayo pendukung ALA atau orang Jawa?. Detail-detail berdasarkan fakta nyata seperti ini tidak pernah sama sekali saya lihat dipikirkan oleh semua 'pejuang' ALA yang mengaku intelek.

Kalau ALA dibentuk dengan cara penuh kebencian seperti yang serinen promosikan sekarang ini, yang saya khawatirkan serinen. Bukannya impian serinen tentang Gayo yang sejahtera, Gayo yang makmur dan impian muluk lainnya yang kita dapatkan. Tapi justru PERANG BODOH yang tidak berkesudahan.

Karena itulah serinen, saya dalam kapasitas saya sebagai ketua Forum Pemuda Peduli Gayo, yang dari nama forumnya saja ada kata PEDULI. Yang artinya forum ini kami bentuk karena kepedulian kami terhadap Gayo. Apa yang kami perjuangkan adalah sesuatu yang membawa kemaslahatan bagi orang Gayo. Bukan yang membawa kemudharatan.

Jadi kembali sebagai kesimpulan akhir tulisan saya yang panjang dan bisa jadi membosankan bagi sebagain orang ini. Sebagai orang yang PEDULI Gayo, saya bukanlah sepenuhnya dalam posisi menolak pembentukan Provinsi baru yang akan bisa mengakomodir kepentingan seluruh orang Gayo.

Jika serinenku yang lahir dan besar diJawa serta tidak pernah menetap di Tanoh Gayo ini melihat sampai sejauh ini saya tidak sepakat dengan ide pembentukan ALA. Perlu serinenku yang lahir dan besar diJawa serta tidak pernah menetap di Tanoh Gayo ketahui, itu adalah karena SAYA YANG LAHIR, BESAR, TUMBUH, MENGALAMI DAN MERASAKAN SENDIRI APA YANG TERJADI DI TANOH GAYO melihat ada banyak resiko yang tidak perlu yang akan terjadi kalau Provinsi yang serinen cita-citakan ini dibentuk SEKARANG.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare. blogspot. com

NB : Sedikit koreksi buat serinen Kosasih, Kosovo bukan bagian dari Rusia tapi Sebia, secara geografis itu sangat jauh serinen. Poso itu di Sulawesi bukan di Philipina. Yang di Philiphina itu MORO, bukan di Thailand. Betul di Thailand juga ada konflik di provinsi-provinsi selatan yang berbasis Melayu, seperti Pattani, Narathiwat dan Yala.

Tapi konflik di Thailand itu tidak sepenuhnya berbasis agama melainkan wilayah. Tiga Provinsi di selatan Thailand yang saya sebutkan di atas secara kultural dan sejarah merupakan bagian dari Malaysia. Putra Mahkota kerajaan Pattani bernama Tengku Ismail Denudom yang sekarang tinggal di pengasingan dalam suatu bincang-bincang saat makan siang pernah mengatakan kepada saya kalau di Pattani, selain melayu muslim juga ada sekelompok suku Melayu Tua yang bukan muslim yang juga ikut bergabung dengan Melayu muslim Pattani menuntut pemisahan dari Thailand. Jadi bukan hanya Melayu yang islam yang ingin memisahkan diri.

Di Thailand, juga ada sebuah provinsi di Selatan bernama Songkla yang juga bekas kerajaan melayu dan sampai sekarang tatap dihuni oleh mayoritas Melayu-muslim yang tidak ikut dalam tuntutan memisahkan diri ini. Itu terjadi karena memang secara kultural dan sejarah mereka bukan bagian dari Malaysia. Padahal jumlah penduduk melayu-muslim di provinsi ini lebih besar dibandingkan Narathiwat dan Yala.

Kalau dikaitkan dengan konflik antara muslim dan penduduk non-muslim, benar Aceh tidak bisa disamakan dengan Kashmir, Chechnya, Moro. Tapi kalau isunya negara mayoritas Islam dan penduduk islam, Aceh juga tidak bisa serinen samakan dengan pemberontakan Tamil di Sri Lanka. Karena ada dua masalah di sana, pertama Tamil yang ingin memisahkan diri dari Sri Lanka bukan Islam, Kedua pemberontakan Macan Tamil
itupun seperti Chechnya, Isu utamanya perbedaan agama dan budaya antara Tamil yang Hindu dengan Sri lanka yang Buddha.

Kalau konteksnya pemberontakan wilayah islam terhadap negara yang berpenduduk mayoritas Islam juga, Aceh bisa serinen kaitkan dengan Ide pemisahan diri Kurdi dari Irak dan Turki atau pemberontakan kelompok-kelompok mujahiddin di Afghanistan. Serta
pemberontakan- pemberontakan lain di Kazakhtan, Uzbekistan dan negara-negara Asia Tengah lainnya.

Jawaban Kosasih Bakar:

Pemulo berijin aku sawahen ku Bang Win Wan Nur atas koreksian ne, gelah tulisen aku si gere semperne ni mujadi lebih sempurne. Ike salah turah I peren salah, ike benar turah I peren benar. Ini turah mujadi peraturen te berdikusi.

Gere sepakat antara kite oya biasa we Bang Win Wan Nur, si paling penting sara, tujuante mubangun tanoh gayon te. Beribu maaf pe tangkuh ari tulisenku karena aku peg ere we ilen sepakatmengenai ALA ken Serinen.

Mengenai data yang menurut Bang Win Wan Nur masih ‘ngelantur’ atau ‘prematur’, tidak sepenuhnya saya bisa mengakuinya, karena sepertinya saya tidak mengungkapkan data yang real, saya hanya mencoba mengungkapkan pemikiran-pemikiran yang Serinen setujui. Alasan saya tidak menampilkan data real karena saya mengetahui bahwa saya belum mendapatkan data yang betul dengan sebetul-betulnya. Walau demikian saya sudah mendapatkan beberapa data tentang Aceh dengan sebenarnya dari buku “Beranda Perdamaian, Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinky”, banyak data dan pemikiran yang kiranya bisa dijadikan rujukan dalam diskusi kita ke depan.

Ketika Bang Win Wan Nur mengatakan tidak setuju dengan pemekaran ALA akan tetapi Bang Win Wan Nur setuju dengan kemajuan yang dicapai melalui persukuan atau 'etnostate' menurut serinen. Begitu juga ketika Bang Win Wan Nur mengatakan bahwa antara Aceh dan Gayo itu bukan di ‘cere’ akan tetapi di ‘jawe’. Menurut kesimpulan saya Serinen menyatakan setuju akan tetapi dengan sebuah persayaratan.

Kemudian persayaratan- persayaratan tersebut lantas di uraikan oleh Bang Win Wan Nur dalam beberapa alenia.

Sebelum saya menjawabnya, satu hal yang menurut saya penting untuk dijadikan sebagai prinsip dasar kita dalam memperjuangkan orang Gayo, yaitu menghargai perbedaan yang ada, menghargai setiap sejarah urang Gayo, menghargai adat dan marwah orang Gayo.

Bang Win Wan Nur saya mengerti maksud Abang, perpisahan yang diperjuangkan adalah dengan sebuah perdamaian, dengan sebuah hujjah, dengan sebuah pendekatan secara cultural.

Sebelum saya menjawabnya saya akan sedikit bercerita tentang Sejarah Gayo, Kekeberen, sebuah sejarah yang terkadang dilupakan oleh anak cucu kita, sebuah sejarah yang dianggap dongeng belaka tanpa mau melihat ada beberapa kebenaran yang ada disana. Dalam kekeberen tersebut terungkap bahwa Reje-Reje Gayo dan keturunannya berhasil menjadi Raja Pase yang pertama, menjadi Raja Aceh yang pertama sekaligus menjadi Raja Linge yang pertama, bahkan menjadi Raja-raja di daerah Pesisir Barat dan Selatan.

Salah satu hal yang menyebabkan orang Gayo bisa menguasai pesisir utara Sumatera ini adalah sebuah ketegasan, dan ketika kita belajar sejarah maka kita akan menemukan bahwa dalam kepemimpinannya Sultan-Sultan Kutereje bersifat tegas dengan menggunakan pendekatan Agama Islam. Itu juga yang terjadi ketika masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda atau sebelumnya Sultan Ali Mugayat Syah Al Kahhar, mereka keras dalam menegakkan syariat Islam, banyak kisah atau sejarah yang bisa kita dapatkan dari buku sejarah.

Kenapa saya mengungkapkan ini, saya ingin mengatakan bahwa untuk berhadapan dengan orang Aceh ini perlu sebuah ketegasan-ketegasan , perlu sebuah prinsip, perlu sebuah jati diri. Bukan lantas menjadi lemah, menjadi amat tergantung, menjadi ‘pegeson’.

Bang Win Wan Nur sudah 30 tahun rakyat Aceh dalam PERANG BODOH ini dengan alasan untuk mencapai seperti 30 tahun ZAMAN KEEMASAN SULTAN ISKADAR MUDA,belum cukupkan korban bagi Bang Win Wan Nur ? Tidakkah Serinen merasa takut akan penerus kita yang dalam pikirannya hanya ada PERANG BODOH dengan segala dampaknya.

Sebagai klarifikasi kepada Bang Win Wan Nur bahwa saya tidak pernah mengatakan bahwa Aceh adalah musuh yang harus dilenyapkan dari muka bumi ini, saya hanya tidak menyukai GAM yang telah mengorbankan puluhan ribu rakyat Aceh hanya karena mengatakan ingin membebaskan diri dari Penjajah Indon –Jawa. Menurut saya ini amat tidak pantas, karena orang Aceh tidak pernah membenci suku manapun, ketika zaman Iskandar Muda di Kutereje ada sebuah Kampung Jawa. Dengan alasan itu pula mereka melakukan pembunuhan-pembunuh an terhadap orang-orang Jawa di Gayo, Aceh Barat dan Aceh Selatan, saya rasa tidak perlu saya ungkapkan satu persatu tempatnya.

Atau ketika TNI juga melakukan hal yang sama dengan membunuh orang-orang Aceh yang dianggap GAM atau mata-mata, seperti juga halnya dengan GAM membunuh TNI atau mata-mata TNI.

Bang Win Wan Nur dalam berbagai tulisan saya mengatakan bahwa sampai kapanpun Aceh tidak akan pernah merdeka selama tujuan mereka hanya untuk kepentingan golongan, bukan kepentingan untuk menegakkan Agama Allah atau melawan kuffar.

Bahkan Bang Win Wan Nur, salahkah saya ketika mengatakan bahwa TNI itu adalah orang luar, orang yang bertugas menjaga daerahnya ketika ada pemberotakkan disana. Salahkah GAM disebut dengan Pemberontak ? Ketika Daud Beureuh dan seluruh rakyat Aceh menyatakan bersatu dengan NKRI lantas kemudian Hasan Tiro melakukan pemberontakkan dengan konsep yang salah. Tidak kah Hasan Tiro pernah berpikir berapa banyak Tengku yang menjadi korban dari peta konflik yang dibuat oleh Soeharto dan LB Moerdani.

Ketika Soekarno menangis, ia menangisi mengapa Aceh bisa sedemikian merdeka ketika Indoensia selalu dalam penjajahan. Ketika Megawati menangis, ia menangisi rakyat Aceh yang menjadi korban Perang ini. Ketika Megawati memberikan DOM, maka ia memberikannya kepada GAM. Siapa yang salah Bang ? Siapa ? Megawatikah ? GAM kah ? Atau semuanya adalah ego dengan mengorbankan rakyat Aceh.

Bang, saya tidak pernah membenci saudara-saudara kita yang berasal dari Aceh yang berdagang, bertani, berkebun di Tanoh Gayo. Bahkan saya juga seringkali mengatakan bahwa banyak dari saudara saya yang menikah dengan orang Aceh, saya tidak membenci mereka sedikitpun.

Tulisan pembuka dalam blog saya mengisahkan bahwa seorang manusia tidak pernah tahu ia akan lahir dari rahim siapa, dari rahim ibu yang bersuku Jawa, dari rahim ibu yang bersuku-suku di Aceh atau dari rahim ibu yang bersuku Gayo. Namun demikian saya juga mengatakan bahwa perbedaan itu adalah rahmat dari Allah SWT, perbedaan itu yang akan membuat kita saling mengenal, perbedaan itu yang akan membuat kita menjadi satu. Dengan catatan kita harus menghargai perbedaan tersebut, dengan catatan kita tidak berupaya menyatukan dengan pemaksaan-pemaksaan . Seperti yang Bang Win Wan Nur katakan dengan Cere dan Jawe.

Mengenai persoalan rumit yang Bang Win Wan Nur ungkapkan adalah sebuah ketakutan yang tidak pada tempatnya, dan ini pulalah yang dahulu menjadi bahan diskusi awal kita, hanya kali ini Serinen menambahkan data-data dalam tulisannya.

Abangku, Serinenku, ketika bang mengungkapkan bahwa sebanyak 6000 orang Gayo yang tinggal di Banda Aceh dalam bahaya, atau dikatakan tumbal itu menjadi tidak benar. Karena tidak mungkin sekian ribu orang kemudian akan merubah sekian ratusribu orang di Banda Aceh. Minoritas itu tidak akan menjadi tumbal dalam pemekaran ini. Saya yakin itu, karena mereka sudah lama bertempat tinggal disana dan bergaul di sana.

Namun apakah Abang pernah memikirkan puluhan ribu orang Gayo yang tinggal di ALA, yang selama ini dalam keadaan tertekan sehingga kehilangan segenap potensinya menjadi orang yang pintar, cerdas, dan mampu menjadi yang terbaik.

Pernahkan Abang berpikir dengan pola perjuangan GAM yang begitu membenci orang Jawa, sehingga orang Jawa yang tinggal di Gayo akan ketar-ketir, padahal begitu banyak saudara kita yang sudah menikah dengan orang Jawa, bahkan jumlah penduduk antara Gayo dan Jawa sekarang sudah hampir sama. Tidakkah Abang takut dengan konflik horizontal yang akan terjadi jika Jawa kemudian diusir orang Aceh, akan tetapi tetap di bela orang Gayo.

Ketakutan serinen sepertinya tidak menjadi rasional, karena puluhan ribu orang Aceh dan 6000 orang Gayo yang sudah hidup bersama sudah barang tentu tidak akan kemudian menjadi bertempur dengan adanya ALA. Begitu juga dengan puluhan ribu orang Gayo yang sudah berpadu dengan puluhan ribu Jawa ditambah dengan ribuan Aceh tidak akan mungkin berperang bila tidak ada yang memprovokasi mereka.

Nah, yang menjadi permasalahannya adalah orang yang memprovokasi tersebut, dan selama ini yang menyebut-nyebutnya adalah Gerakan Aceh Merdeka atau GAM yang tidak setuju dengan pemekaran hanya karena kepentingan golongan atau isu kejayaan masa lalu yang semu.

Bang Win Wan Nur yang saya hormati, apakah salah ketika saya sebagai orang Gayo mengeluarkan apa yang selama ini ada pda hati orang Gayo, yang sudah muak dengan PERANG BODOH, apakah salah saya mengankat harkat dan martabat orang Gayo dengan marwahnya, apakah salah saya mengatakan bahwa orang Gayo itu bukan Pegeson atau suku yang bisa terus diinjak dan dikatakan sebagai suku terkebelakang. Apakah salah ?

Anda salah kalau mengatakan yang mendukung ALA itu hanya kaum intelek saja, yang mendukung ALA ini adalah para milisi korban PERANG BODOH, yang mendukung ALA ini adalah para Petani yang tidak bisa bertani dan berkebun lagi, yang mendukung ALA ini adalah pemuda dan anak-anak yang marah karena kampong halamannya yang selalu dinistakan dan dihina, yang mendukung ALA ini adalah anak-anak muda yang sudah sangat kasihan melihat Gayo hancur dalam tekanan, yang mendukung ALA adalah wanita-wanita yang kasihan melihat anaknya tidak mendapatkan pendidikan yang baik. Kaum intelek seperti kami hanya bisa menulis di mailing list ini, mengungkapkan apa yang dirasakan mereka yang selama ini terdiam, menceritakan kegundahan mereka yang selama ini diam.

Serinenku Win Wan Nur, Win yang selalu di dalam cahaya Allah, takutkan kau hidup sebagai orang Gayo? Malukah kau hidup sebagai orang Gayo? Banggakah kau hidup sebagai orang Gayo? Kami tidak pernah meragukan intelektualitas dari serinen-serinen kami di Banda Aceh, kami hanya menyesalkan pola pikir mereka yang tidak mendukung ALA.

Apakah karena mereka sudah lama tinggal tinggal di Gayo, sudah lama peninggalkan tanoh datunya lantas ia merasa bahwa telah berhutang kepada orang Aceh untuk kemudian menjual tanah muyang datunya dengan harga yang teramat murah.

Janganlah kau jual tanah kami ini dengan harga murah, dengan harga engkau mendapatkan harta di sana, mendapatkan rumah disana, mendapatkan beasiswa disana, tapi tolong berpikir sebagai rakyat Gayo yang ada di tanoh Gayo, bukan seperti rakyat Gayo yang berada di Aceh. Jangan lagi rakyat Gayo ini menjadi melempem kembali, kembali tertekan, potensi akal pikiran yang sering dikatakan sebagai manusia pilihan Aceh kini menjadi manusia yang selalu dalam tekanan.

Serinenku Win Wan Nur, Win yang selalu dalam cahaya Allah, ALA adalah untuk kemashalatan rakyat Gayo yang ada di Gayo, jadi ketika Engkau sedang menuntut ilmu, sedang merantau, maka bantulah rakyat Gayo ni dengan tulus dan ikhklas.

Bang Win Wan Nur, salahkan rakyat Gayo membenci GAM? Salahkah orang Jawa membenci GAM? Apa yang mereka perjuangkan MoU Helsinky hanya untuk anggota GAM ? Apa yang bisa diharapkan, hanya orang-orang mantan combatan yang banyak tida berpendidikan dan tidak mempunyai keterampilan hidup. Apa yang bisa dilindungi, hanya intelektual yang begitu bangga dengan Acehnya tapi begitu membenci Jawa, sehingga pikiran mereka menjadi begitu rendah dan picik.

Nah, ketika ada Kampung di Gayo yang GAM, silahkan saja, namun tentu mereka mengerti resikonya. Begitu juga ketika ALA mau lepas dari NAD, tentu kami tahu resikonya bukan. Peperangan, intimidasi, kecemburuan, dan lain sebagainya. Yang paling penting adalah bagaimana mereka membawa diri, karena mereka tidak berpihak kepada NKRI.

Selain itu Serinen, seharusnya perlu anda ceritakan juga kepada seluruh dunia bahwa GAM juga banyak membunuh rakyat Aceh, ceritakan juga bahwa di NAD itu tidak semuanya mendukung GAM, katakana juga bahwa GAM itu merupakan minoritas yang bersenjata, menggunakan senjatanya untuk mencari dukungan, dengan ancaman. Jangan lupa juga katakana bahwa ternyata ALA dan ABBAS itu aspirasi rakyat bawah yang sudah muak dengan PERANG BODOH, bukan karena keinginan segelintir elit.

Sekali lagi Serinen, nasib mereka sudah tentu akan baik, kami bukan pemakan daging manusia, kami bangsa yang beradab. Adat istiadat kami sangat tinggi. Sudah tentu mereka akan hidup dengan bahagia setelah ALA lahir. Anak-anak mereka akan tenang bersekolah dari pikiran PERANG BODOH.

Serinen Win Wan Nur, Pemuda yang selalu dalam cahaya Allah, saya memang besar di Jawa tapi saya sering ke Takengon dan kerap kali mengikuti berita di sana. Seperti juga hanya Bang Win Wan Nur yang baru saja tiba di Takengon setelah bertahun-tahun lamanya tinggal di negeri orang yang merantau.

Bang Win Wan Nur tampaknya terlalu menganggap rendah budaya kami, sepertinya anda terlalu picik dengan budaya kami. Kami bukan suku pemberontak, kami termasuk suku yang diam bila tidak diganggu. Namun ketika kami diganggu maka kami akan lebih buas dari binatang yang paling buas sekalipun.

Lihatlah adat istiadat kami, mungkinkah kami dapat berbuat itu ? Jangan lah terlalu melebih-lebihkan.

Anda begitu bangga mengatakan lahir, besar, tumbuh, mengalami dan merasakan sendiri apa yang terjadi di tanoh Gayo. Tapi anda melupakan bahwa anda telah PULUHAN TAHUN meninggalkan tanoh Gayo, dan SEPERTINYA ABANG TIDAK TAHU PERSIS SESUNGGUHNYA APA YANG TERJADI SEKARANG BILA ALA TIDAK SECEPATNYA MENJADI PROVINSI.

Baiklah, saya akan menceritakan sedikit bila ALA tidak segera terbentuk.

Sesungguhnya perdamaian di NAD ini masih bisa dikatakan semu, karena masing-masing pihak sedang mempersiapkan senajatanya masing-masing. Permasalahan utamanya adalah Keamanan, ketika dana BRR habis untuk membayar tunjangan bagi anggota GAM, Pemilu 2009, Partai Lokal seperti Partai ACEH, Partai SIRA dan Partai Rakyat Aceh mengalami kekalahan. Maka yang terjadi adalah instabilisasi kembali. Peperangan kembali. Hal ini dipicu oleh mantan anggota GAM yang tidak punya pendidikan dan keterampilan, karena hanya pandai membunuh dan mengangkat senjata, mereka akan kembali ke hutan. Dalam keadaan demikian peperangan akan berkobar untuk tebas habis anggota GAM.

Belum lagi dengan adanya prediksi Partai Lokal Menang maka yang akan terjadi adalah gejolak di Aceh yang berimbas kepada Gayo. Sebagian dari GAM menginginkan tetap Aceh Merdeka, yaitu dengan cara menguasai Pimpinan Daerah, menguasai legislative dengan Partai Lokalnya, kemudian mendeklarasikan Kemerdekaan. Pernyataan ini sudah barang tentu tidak sesuai dengan MoU Helsinky,namun demikian GAM telah megatakan bahwa bila ada persoalan maka aka dibawa ke Uni Eropa danAustralia, pertempuran kembali terjadi yang kemudian berimbas kepada Gayo. Bahkan Gayolah dan Jawa yang terlebih dahulu melakukan kekacauan bila ini terjadi.

Aceh aman bersama Gayo, namun masih ada ketakutan kami disni, sekali lagi saya katakana bahwa Gayo SDA nya akan diambil alih hanya untuk kepentingan yang belum tentu ada ujungnya.

Pemarin ku Abang Wan Win Nur si kuhormati, mari ini ike nguk si kite diskusinen kune carae kite membangun tanoh Gayo ni.

NB : Tolong jangan samakan Aceh dengan Afganistan, karena perjuangan Aceh ini tidak punya konsep yang jelas. Afganistan hanya berotak kepada Penjajah USA dan URRS serta boneka-boneka mereka. Perjuanga Taliban juga jelas untuk menegakkan kalimah Allah, buka mencari kekayaan dari MoU Helsinky. Sedangkan perang ashobiyah lainnya silahkan saja, karena itulah konsep PERANG BODOH yang dilaknat Allah.

Tidak ada komentar: