29 November 2008

Isu ALA di Konferensi Interpeace

Tanggal 19 November yang lalu, bertempat di Hotel Hermes Palace, saya mengikuti konferensi internasional yang diprakakarsai oleh Interpeace dan ASEM networks. Konferensi yang diberi tema "Locals, "Outsiders" and Conflict ini salah satu tujuannya adalah untuk mendapatkan
informasi baru dan analisa yang solid tentang bagaimana komunitas lokal dan komunitas pendatang mempengaruhi dinamika perdamaian dan konflik.

Berbeda dengan diskusi di acara peluncuran buku yang saya hadiri dua hari sebelumnya, dalam konferensi yang dihadiri oleh banyak ahli dari berbagai negara dengan membawa informasi dan pengalaman masing-masing dalam memetakan dan menangani konflik ini saya menemukan banyak informasi baru yang dapat digunakan untuk memetakan dan menemukan solusi yang tepat untuk menangani situasi perpolitikan Aceh saat ini.

Khusus untuk memahami permasalahan yang terjadi di kampung halaman saya berkaitan dengan isu ALA. Saya merasa sangat tertarik pada makalah dari dua pembicara dalam konferensi ini. Pertama makalah dari pembicara asal Aceh, Dr.Humam Hamid yang dan yang kedua adalah makalah dari pembicara asal Barcelona, Dr.Jordi Urgell.

Dalam makalahnya dia beri judul `Dynamics of Ethnic Relationships in Aceh' Dr.Humam mengatakan bahwa berkembangnya isu diskriminasi etnis di Aceh belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah dan masyarakat Aceh pesisir yang merupakan etnis dominan di provinsi ini yang kurang menghormati budaya etnis minoritas yang juga merupakan penduduk asli provinsi Aceh.

Makalah Dr.Humam ini menarik bagi saya karena ide-ide yang ditulis Dr.Humam dalam makalahnya banyak yang sejalan dengan pandangan saya selama ini. Misalnya dalam berbagai tulisan yang saya post di blog saya www.winwannur. blogspot. com dan www.gayocare. blogspot. com, saya selalu membedakan antara Aceh sebagai sebuah wilayah dan Aceh sebagai sebuah etnis. Aceh sebagai etnis adalah Orang Aceh yang tinggal di pesisir, sedangkan Aceh sebagai sebuah wilayah adalah Aceh yang dihuni oleh 9 macam etnis penduduk asli.

Seperti yang sering saya nyatakan dalam berbagai tulisan saya. Dalam makalahnya Dr.Humam juga menjelaskan hal yang sama. Sayangnya menurut Dr.Humam kenyataan ini tidak disadari atau pura-pura tidak disadari oleh etnis Aceh dan juga pemerintah Aceh yang didominasi oleh orang Aceh yang berasal dari etnis Aceh.

Dalam kultur yang plural seperti di Aceh ini idealnya etnis-etnis minoritas yang juga merupakan penghuni asli wilayah Aceh diberi ruang yang cukup untuk mengekspresikan diri baik secara politik, ekonomi maupun budaya.
Saya sangat setuju dengan pandangan Dr.Humam karena kenyataannya dominasi suku Aceh dalam setiap aspek kehidupan di provinsi ini memang sangat terasa. Bahkan dalam hal berkesenianpun. Ketika orang Aceh memperkenalkan kesenian Aceh ke dunia luar, baik dalam maupun luar negeri. Yang selalu ditonjolkan adalah kesenian Aceh pesisir.

Seolah-olah semua kesenian yang ada di Aceh ini hanyalah kesenian milik Aceh pesisir. Padahal kesenian etnis lain juga banyak yang tidak kalah menariknya. Misalnya dalam seni tari selain Seudati yang merupakan tari klasik Aceh pesisir dan berbagai tarian Aceh pesisir kreasi baru lainnya. Sebenarnya di Aceh ada banyak tarian klasik dari suku lain misalnya Saman Gayo, Tari Bines dan Tari Guel yang berasal
dari Gayo. Saya yakin ada banyak tarian asli Aceh lain milik suku Tamiang, Singkil, Kluet, Aneuk Jamee dan lain-lain, tapi semua jarang sekali ditampilkan sehingga orang luar hanya mengenal kesenian Aceh
hanyalah kesenian Aceh pesisir.

Orang Gayo yang merupakan etnis terbesar kedua di provinsi ini setelah ertnis Aceh seringkali merasa mereka direpresi oleh suku Aceh secara kultural. Banyak orang Gayo yang merasa eksistensi kultural mereka diabaikan oleh orang Aceh. Tapi di sisi lain orang Gayo melihat beberapa karya budaya mereka dibajak dan diakui sebagai karya budaya milik suku Aceh. Misalnya banyak seni tari Aceh kreasi baru sebenarnya adalah tarian modifikasi dari tarian klasik milik suku Gayo terutama tari Saman Gayo. Tapi oleh seniman yang menciptakannya tarian hasil modifikasi itu dinamai dengan berbagai nama khas Aceh pesisir tanpa sedikitpun menjelaskan bahwa tarian itu adalah hasil adaptasi dari tari Gayo klasik yang bernama tari Saman. Karena tidak ada penjelasan, para penonton yang menikmati tarian itu merasa seolah-olah bahwa tarian yang mereka saksikan dengan penuh kekaguman itu adalah tarian klasik Aceh pesisir. Ini sangat menyakitkan bagi orang Gayo.

Hal yang sama juga terjadi dengan karya seni bordir khas orang Gayo yang disebut Kerawang Gayo. Karya seni Kerawang Gayo ini adalah karya cipta kebanggaan orang Gayo. Motif-motif bordirannya yang khas dapat kita lihat dalam sertiap pakaian adat orang Gayo. Tapi ketika belakangan orang-orang Aceh pesisir mulai mempelajari teknik pembuatan kerawang dan mulai memproduksi kerajinan kerawang. Merekapun mulai memperkenalkannya karya seni ini sebagai Kerawang Aceh. Sama seperti dalam hal tarian dalam hal inipun orang Gayo yang minoritas merasa dirampok.

Kebetulan dalam konferensi ini panitia menghadirkan pertunjukan tarian Aceh sebagai selingan saat jeda menjelang coffee break pertama. Salah satu tari yang ditampilkan adalah tarian Aceh kreasi baru yang banyak menampilkan gerakan-gerakan Saman Gayo dalam koreografinya. Dalam sesi tanya jawab dan diskusi, saat saya menanggapi pemaparan makalah Dr. Humam. Tarian yang ditampilkan ini langsung saya angkat sebagai salah satu contoh kurangnya penghormatan terhadap budaya minoritas.

Dalam forum yang dihadiri oleh peserta dari berbagai negara ini saya katakan bahwa tarian itu adalah salah satu bentuk pembajakan terhadap karya seni milik suku minoritas oleh suku mayoritas. Ketika menyebut kata pembajakan dalam forum ini saya menggunakan kata `hijack' bukan `piracy'. Kata ini saya pilih karena saya menganggap kata `hijack' lebih tepat untuk menggambarkan kasarnya aktivitas pembajakan cultural yang dilakukan oleh suku Aceh terhadap karya seni orang Gayo ini.

Pernyataan saya itu sepenuhnya diamini oleh Dr.Humam. Beliau sama sekali tidak menampik apa yang saya paparkan, malah beliau menambahkan kalau selama ini memang banyak hambatan kultural dan dominasi etnis Aceh pesisir yang membuat etnis-etnis minoritas di provinsi ini merasa asing di tanah mereka sendiri.

Setelah hal itu saya ungkapkan di forum ini, banyak peserta konferensi dari luar negeri yang mendekati saya untuk menanyakan lebih jauh tentang tari Saman Gayo yang gerakan-gerakannya dibajak oleh tari Aceh yang kami saksikan tadi dan dengan senang hati saya jelaskan. Sayangnya tidak semua konferensi internasional tentang Aceh atau pertunjukan seni Aceh dihadiri oleh orang Gayo.

Perasaan-perasan negatif yang dirasakan oleh etnis minoritas seperti ini, jika terus dibiarkan terjadi di provinsi yang pernah lama berada dalam situasi konflik ini tidak bisa tidak, pasti akan menghadirkan
konflik baru antara mayoritas dengan minoritas. Bibit-bibit konflik ini sudah mulai disemai dengan cara mengeksploitir isu dominasi suku Aceh atas suku Gayo oleh orang-orang yang menamakan dirinya pejuang ALA.

Sebenarnya situasi seperti yang kita alami di Aceh sekarang ini adalah situasi yang jamak terjadi di wilayah dunia manapun yang pernah mengalami konflik vertikal.


Dr.Jordi Urgell dari School for a Culture of Peace, Autonomous University of Barcelona yang juga menjadi pembicara dalam konferensi yang saya hadiri ini. Dalam makalahnya yang dia beri judul `Minorities Within Minorities in South East Asia', mengatakan bahwa dalam banyak konflik antara pusat yang mayoritas dengan daerah yang merupakan minoritas yang terjadi di berbagai belahan dunia. Banyak dari konflik itu terjadi disebabkan oleh cara pemerintah sebuah negara yang memperlakukan kelompok minoritas dengan cara pikir dan pola perlakuan ala kelompok mayoritas di negara tersebut.

Tapi ketika konflik terselesaikan dengan memberi keleluasaan dan kekuasaan yang lebih besar kepada kelompok yang minoritas secara nasional. Hal ini seringkali dirasa sebagai ancaman oleh kelompok yang
merupakan minoritas secara lokal (minorities within minorities).

Konflik sering terjadi karena kelompok yang merupakan minoritas secaranasional yang kini menjadi mayoritas secara lokal melalui kekuasaan yang lebih besar yang baru mereka dapatkan memperlakukan minorities within minorities ini seperti mereka dulu diperlakukan oleh kelompok mayoritas nasional sehingga minorities within minorities merasa terancam eksistensinya.


Perlakuan ini misalnya bisa dilihat dari sikap Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh di depan publik yang sering tidak menunjukkan rasa hormat kepada suku-suku Aceh minoritas. Sikap itu mereka tunjukkan dengan perilaku berbahasa mereka yang hanya mau berbahasa Aceh kepada orang Aceh mana saja yang menjadi lawan bicara mereka, tidak peduli asal-usul sukunya.


Situasi seperti ini seringkali membuat minorities within minorities merasa lebih terjamin eksistensinya ketika kelompok yang minoritas secara nasional ini masih dalam posisi minoritas.

Fenomena inilah yang terjadi di Aceh sekarang, jadi isu ALA yang terjadi sekarangpun harus kita lihat dari kacamata minorities within minorities ini dan penyelesaian masalahnyapun tidak bisa kita lepaskan
dari bingkai ini.


Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare. blogspot. Com


Bravo bang Win Wan Nur..
Kusewahen rasa salutku ken pemikiran ni abang....

saya sangat tertarik dengan penuturan Bang Nur, ini fakta yang sudah terjadi sejak dulu, kenapa saya katakan sejak dulu, saya menggunakan ukuran ketika perihal relasi antara suku aceh dan gayo kepada kakek - kakek dan nenek-nenek yang ada di Tanoh Gayo, mengatakan bahwa dari dulu kita memang tidak pernah cocok dengan Urang Aceh, saya pikir argumentasi para pendahulu kita dulu ada benarnya juga, hal ini terlihat dari peminggirin suku Gayo dari seluruh aspek kehidupan di Aceh mulai dari Pendidikan, pemerintahan sampai kepada budaya pun mereka dengan percaya diri hadir sebagai plagiator seni dan sebagai penguasa tunggal daerah, terkesan bahwa selain suku aceh adalah pendatang (hal ini juga kami dengar langsung dari Alm. Prof Dr. Abdullah Ibrahim (sejarawan UGM) yang notabene suku Aceh), ini sama saja memutarbalikkan fakta yang mengatakan bahwa SUKU PENDALAMAN merupakan suku asli suatu daerah. saya pikir kasusnya sama dengan apa yang terjadi di lampung yang jadi korban adalah masyarakat lampung tengah, juga seperti betawi.

fakta ini kemudian dijadikan oleh orang - orang ALA untuk "menyakinkan" masyarakat gayo untuk melakukan pemisahan dengan NAD, pun pada perjalanan "perjuangan" mereka tidak begitu mendapatkan simpati dari seluruh masyarakat Gayo.

Akar masalahnya sebenarnya adalah ketidakadilan dan penindasan dari segala aspek yang dilakukan oleh suku mayoritas (aceh) terhadap 8 suku minoritas yang ada di Aceh. pertanyaannya kemudian apakah ada jaminan ketika ALA terbentuk suku minoritas bisa serta merta merubah keadaan menjadi lebih baik? sulit bagi saya untuk mengatakan YA.

Sebenarnya ketika kita sudah mengetahui akar masalahnya kita bisa melakukan sesuatu untuk mewujudkan marwah gayo di luar Aceh bahkan Internasional, tapi sejujurnya saya juga belum menemukan formula yang pas untuk bangkit dari ketertindasan suku mayoritas dalam hal ini aceh. nah untuk itu saya ingin menggali pemikiran bang win wan nur, karena abang seperti yang saya kutip dibawah ini pernyataan abang tentang penyelesaian masalahnyapun tidak bisa lepas dari bingkai ini

Fenomena inilah yang terjadi di Aceh sekarang, jadi isu ALA yang
terjadi sekarangpun harus kita lihat dari kacamata minorities within
minorities ini dan penyelesaian masalahnyapun tidak bisa kita lepaskan
dari bingkai ini.


karena kami yang selama ini ada di Tanoh Gayo merasakan betapa, kerawang, saman telah mengoyak hati kami, ketika kami berada di yogyapun dalam kurun waktu 1995-2006 , yang ditonjolkan selalu saman dengan diberi embel-embel inong jadi nama tarian SAMAN INONG dari ACEH. belum lagi kebijakan yang diskriminatif, atas nama Gayo nomor dua saja, terlebih saat ini ada kerawang aceh seperti yang dikatakan oleh bang win wan nur, tambahan dari saya, ukiran kerawang aceh sering pula menghiasi gedung-gedung sebagai ornamen gedung untuk menunjukkan kepada dunia luar, bahwa ini lho ciri khas aceh, padahal itu jelas-jelas gayo PUWE. jadi seolah-olah seperti gedung-gedung pemerintahan yang ada di sumatra barat.

berejen bang atas penjelasanne, mokot di nge kite tertindas wan segala aspek kehidupan, cume kurasa pisah rum NAD nume jeweben cerdas,, tolong bang, mungkin ara formula si lebih elegan, berejen atas penjelesanne. .


regards,,

edhie gayo

Ulasan Kosasih Bakar:

Sebelum Bang Win Wan Nur membalas ini, perkenankan saya memberikan beberapa masukan.
Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari tulisan Bang Win Wan Nur:
Pertama, Bang Win Wan Nur mengakui adanya ketidakadilan terhadap suku Gayo yang diberlakukan oleh orang Aceh Pesisir (demikian sebuatan Bang Win Wan Nur), baik dari segi pemerintahan maupun kebudayaan juga sejarah, hal yang paling membuat terlihat usaha itu adalah ketika penggantian nama Kute Reje menjadi Banda Aceh.
Kedua, kemudian permasalahan ‘minorities within minorities’ atau Bang Win Wan Nur menjelaskannya dengan memberi keleluasaan dan kekuasaan yang lebih besar kepada kelompok yang minoritas mak hal ini seringkali dirasa sebagai ancaman oleh kelompok yang merupakan minoritas secara lokal.
Kemudian tambahan dari Edi Kelana yang mencoba untuk mengangkat sukuisme dari Gayo, dengan mengatakan bahwa Gayo adalah pemilik dari Aceh.
Sebenarnya saya masih menunggu tulisan dari Bang Win Wan Nur selanjutnya, karena sudah menjadi kebiasaan dari Beliau dalam setiap penulisannya untuk menyetujui segala hal yang saat ini menjadi permasalahan, namun kemudian Beliau dengan elegan mencoba mempertahankan apa yang selama ini menjadi keyakinannya, untuk tidak setuju dengan pemekaran ALA. Dan hal ini sudah diindikasikan oleh Bang Win Wan Nur dalam akhir tulisannya yang kemudian dicoba diperjelas oleh Edhi.
Baiklah, untuk kesimpulan pertama saya sepenuhnya setuju dengan Win Wan Nur, begitu juga dengan alasan Edi Kelana, amat setuju.
Untuk kesimpulan ke dua, saya hanya bisa berucap setuju juga dengan Win Wan Nur, saya juga mengerti jika Win Wan Nur mengajak kita untuk berpikir bahwa dengan Gayo pisah, maka Jawa juga akan meminta pisah nantinya, atau sering saya katakana sebagai lingkaran setan.
Sebelum saya lanjutkan, sebelumnya saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal yang menyebabkan banyak dari kaum intelektual Gayo tidak setuju dengan pemekaran, ini merupakan hasil catatan saya ketika mengikuti teleconference dengan muda-mudi Gayo.

Tidak Setuju Pemekaran
Alasan Pertama, Aceh adalah milik Gayo, jadi tidak ada alasan kalau kita memisahkan diri, jujur saja saya juga dulu berpendapat seperti ini, sampai-sampai ama, ine, pak cik dan pun-pun saya tentang dengan hujjah seperti ini. Saya teringat bahwa pernah mengatakan kepada Pun saya, dengan nada keras “Cik, enti anggap lemah urang Gayo ni, kite si empun tempat, hana kati kite mulepas daerah si kite kuasai. Sawah ku ujung langit pe muyang datun te gere perah ijin kin pemekaren ni.” Waktu itu sampai merinding saya mengatakannya, karena ketidaksukaan dengan isu pemekaran ini.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu saya berpikir keras, kebetulan saya tinggal di Jakarta, bekerja di salah satu Departemen Pemerintah dengan anggaran yang paling tinggi saat ini. Saya juga sering mendampingi atasan saya melakukan kunjungan ke berbagai daerah, dan kebetulan ia senang mengunjungi daerah-daerah yang tertinggal. Saya pernah mengunjungi seluruh wilayah NTT dalam 2 kali kunjungan kerja, saya sangat miris bagaimana daerah kota di NTT lebih bagus dengan kecamatan yang ada di Jawa. Saya juga ke Papua, Kalimantan, Sulawesi dan banyak lagi, sepertinya hampir setiap provinsi di Indonesia saya pernah kunjungi.
Tiba-tiba kesombongan saya itu runtuh, saya baru sadar bahwa sekarang zaman sudah berbeda, sudah tidak ada lagi Raja Gayo yang kita banggakan sebagai penguasa Sumatera, saya seperti sadar baru menginjak bumi, sekarang ini adalah menghadapi kenyataan yang ada untuk memperbaikinya. Pola pikir saya langsung berubah, tiba-tiba saya sadar bahwa dengan daerah saya Gayo pun tidak lebih baik dari daerah-daerah yang saya kunjungi, utamanya kampong halaman saya.
Lantas saya teringat bahwa pada daerah-daerah pemekaran yang saya kunjungi, ternyata ada yang sedemikian maju seperti Banten dan Gorontalo, mereka begitu menggeliat dengan pembangunannya. Begitu juga dengan Bangka Belitung. Belum lagi pada beberapa Kabupaten/Kota seperti di NTT, terlihat bahwa Kabupate/Kota pemekaran tersebut selalu berusaha untuk menggeliat mencapai apa yang mereka perjuangkan dengan adanya pemekaran tersebut. Namun demikian saya juga menyadari ada beberapa daerah yang belum bisa dengan optimal melakukan pembangunan. Saya pun lantas mempelajari kenapa mereka berpisah, ternyata salah satunya adalah karena perbedaan budaya dan kultur, bahkan diantara mereka juga berucap seperti yang Edi Kelana katakan. Seperti saya teringat orang Banten mengatakan bahwa sesungguhnya Jakarta itu dulunya ada di bawah kekuasaan Kerajaan Banten, seharusnya mejadi milik Banten. Atau ketika orang Betawi berkata dengan sombongnya saya pemilik Jakarta, namun pada umumnya mereka amat tertinggal dari segala aspek kehidupan dibanding dengan orang pendatang ke Jakarta.
Inilah yang saya takutkan bila kita tidak segera melepaskan diri dari tekanan-tekanan, kebebasan kita untuk segera bangkit dan dapat membangun orang Gayo.
Lantas saya mengambil kesimpulan bahwa pemekaran tidak harus sama dengan wilayah yang dipunyai karena perkembangan zaman, akan tetapi ada juga diakibatkan oleh ikatan-ikatan perbedaan kultur yang memang bila disatukan akan menjadi permasalahan. Kelemahan dari intelektual kita adalah mencoba mengignore ini semua, padahal ini berdampak kepada keamanan dan percepatan pembangunan yang dilakukan, atau dapat dikatakan ‘feel like home’. Allah saja tidak pernah mengatakan kita harus satu akan tetapi lebih untuk saling mengenal.
Saya juga tidak bisa salah bagi orang-orang yang tidak menganggap ini menjadi masalah, tapi seperti yang dituliskan Win Wan Nur bahwa memang kita sudah tertekan, kita merasa ada di rumah orang padahal ada dirumah sendiri, tragis bukan.

Kedua, Pimpinan Daerah, mereka beralasan bahwa pemekaran ini hanya kepentingan segelintir elit politik saja, mereka yang mau menjadi pejabat pada daerah pemekaran.
Untuk alasan yang satu ini saya hanya bisa tertawa, sekarang ini adalah zamannya PILKADA, siapapun yang mau jadi pimpinan silahkan pulang dan berlomba-lomba untuk meyakinkan rakyat bahwa mereka bisa jadi pemimpin. Bahkan ada sisi baiknya disini, Gubernur dan Wagub serta pejabat-pejabatnya adalah orang Gayo, atau yang mengaku orang Gayo atau yang bisa berbahasa Gayo atau yang berbudaya Gayo. Sudah barang tentu mereka akan lebih focus untuk membangun daerahnya sendiri dengan sebaik-baiknya.
Sedangkan mengenai perebutan kekuasaan disana dari masing-masing suku, rasanya bukan masalah besar, karena kita menggunakan bahasa dan adat yang sama.

Ketiga, otonomis daerah, ada benarnya bahwa sekarang zaman otonomi daerah Pemerintah Kabupaten/Kota lebih berkuasa atau wewenang, tapi jangan lupakan juga kalau wewenang seorang Gubernur amat besar dalam menyalurkan dana Dekon serta menyampaikan kebijakan-kebijakan dari Pusat. Saya tahu betul, saat ini dalam APBN kami dimarahi oleh DPR, mereka mengatakan sudah tidak diperbolehkan lagi mengalirka dana langsung ke Kabupaten/Kota, semuanya harus ke Provinsi terlebih dahulu. Ini semua akibat anggapan dari Pusat bahwa terlalu jauh tangan Pusat untuk bisa mengawasi Kabupaten/Kota, intinya adalah mencoba untuk membangun kembali kewibawaan dari Provinsi.
Nah, bila ini terjadi alangkah baiknya kalau orang Gayo punya Provinsi sendiri, selama ini jelas kita selalu ketinggalan dari berbagai kebijakan Pusat, bahkan untuk aliran dana saja daerah ALA selalu ketinggalan, ini juga tidak terlepas dari perseteruan tradisional sejak zaman nenek muyang kita dahulu. Kita harus ingat bahwa bila nenek muyang mereka membunuh atau menipu nenek muyang kita tentu aka nada pengaruhnya kepada kita.
Yang terpenting lagi adalah kita bisa mengelola SDA di Gayo yang banyak ini, keamanan di Gayo bukan karena GAM, tapi ada pada orang Gayo sendiri. Kalau GAM berontak lagi kita akan bisa mendongakkan kepala kita, kita punya tentara sendiri. Dan lagi perputaran uang akan lebih banyak di Provinsi ALA.

Keempat, minorities within minorities, hal ini tidak akan mungkin terjadi, rasanya orang Gayo sudah cukup teruji dengan hal ini, dengan karakter terbukanya sejak zaman Kerajaan Linge sampai saat ini. Rasanya tidak ada satu suku pun yang bisa seterbuka suku Gayo, mereka bisa beradptasi dengan Batak, Padang, Jawa, Bugis, China bahkan Aceh sekalipun, walau pun dengan Aceh memang tidak bisa sepenuhnya. Terlebih lagi karakteristik antara Gayo dan Aceh itu jauh berbeda. Karakteristik orang yang berasal dari Melayu tentu berbeda dengan orang yang berasal dari Tamil.
Saya yakin tidak akan terjadi kalau pemekaran ALA lantas semua orang Aceh kemudian dibunuh, seperti halnya GAM membunuh orang Jawa dan Gayo di Aceh Tengah, ada yang unik dari orang Gayo. Keislaman mereka selalu dinomorsatukan, malu mereka selalu dinomorsatukan. Ini pula yang menyebabkan ketika Daud Beureuh ia berjuang lama di dataran tinggi Gayo, karena ia membawa kalimat Laa Ilaha Illallah, ini juga yang menyebabkan perjuangan GAM tidak di dukung oleh orang Gayo, karena perjuangan mereka tidak karena kalimat itu, hanya karena ketidakpuasan pada awalnya.
Sebagai contoh, kita lihat bagaimana orang Gayo tidak pernah demo karena harga bensin naik, waktu DOM bahakan pokok langka, mereka semua tenang-tenang saja, inilah keunikkan Gayo yang saya juga agak heran sampai sekarang. Mereka lebih mementingkan perdamaian di Gayo, inilah yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Gayo sekarang ini, daripada berafiliasi dengan GAM mereka memilih berafiliasi dengan TNI, mereka sadar dengan sifat dari orang Gayo, bukan seorang pemberontak yang bodoh. Tapi jika diajak dengan kalimat Syahadat, baru bisa dilihat bagaimana orang Gayo marahnya.
Untuk ketakutan kita terhadap suku Jawa yang menguasai daerah Gayo rasanya terlalu berlebih-lebihan, dan ini adalah amat berbahaya apabila dipermasalahkan hingga menimbulkan konflik horizontal. Karena rasanya sekarang ini banyak sudah perkawinan silang antara suku Gayo dan Jawa. Rasanya sudah terlambat atau adalah salah jika tema ini disebarluaskan, karena tidak aka nada artinya. Mereka sudah lama terikat dalam satu penderitaan ketika DOM, setiap aksi atau provokasi yang mencoba mengadudomba mereka hanya akan membuat ketidaknyamanan di Gayo, bahkan bisa jadi kemudian mereka mengatakan ini adalah aksi GAM yang tidak mau melihat Gayo aman dan damai.
Kemudian saya juga bisa katakan bahwa suku Jawa itu bukanlah sebuah suku yang suka melakukan kekerasan atau pemberontakkan seperti halnya suku Aceh, mereka relative lebih bisa tunduk dengan kebudayaan setempat, bila kita dapat memimpin atau memeberikan tempat kepada mereka mereka sepertinya akan menjadi teman yang baik, mereka punya loyalitas atau seperti Bang Win Wan Nur katakan ‘Feodal’. Sedangkan dengan Aceh, saya yakin kita akan selalu bertarung dalam hati kita dengam mereka, karena ini terjadi sejak nenek muyang kita.

Setuju Pemekaran
Alasan pertama, bisa mengangkat harkat, martabat dan marwah orang Gayo. Keyakinan mereka dengan lahirnya pemimpin-pemimpin Gayo yang berasal dari Gayo sudah barang tentu akan lebih memikirkan orang Gayo dengan lebih maksimal. Mereka mempunyai keyakinan bahwa siapapun Gubernurnya dengan segala macam kejelekkannya bila berasal dari Tanoh Gayo sudah barang tentu akan berpikir untuk orang Gayo, kasarnya untuk urangnya pasti dipikirkannya.
Yang lebih mereka pikirkan lagi adalah timbul-timbul pejabat yang berasal dari Gayo, dan sudah barang tentu ini akan membuat percepatan-percepatan SDM yang harus dilakukan. Seorang Gubernur Gayo tentunya harus mulai berpikir seperti seorang Gubernur mau tidak mau, ia harus mempersiapkan kapasitasnya sebagai seorang Gubernur, begitu juga dengan pejabat lainnya.
Anak cucu kita akan bangga dengan ini semua, bahkan mereka kemudian bercita-cita menggantikan senior-seniornya, ada peluang besar ke situ. Setiap orang akan bangga dengan Gayonya.
Yang lebih menguntungkan lagi adalah kita bisa dengan lebih leluasa melakukan penelitian-penelitian tentang sejarah Gayo, dan mengaktualisasikannya sebagai eksistesi orang Gayo, bahkan memperkuat adat Gayo yang menjalankan syariat Islam sejak ratusan tahun lalu.
Sekali lagi untuk orang Jawa, saya akan memperlihatkan sebuah Provinsi Lampung yang notabene hampir 60% jawa, tetap Gubernur mereka orang Lampung asli, inilah salah satu keunikan orang Jawa.
Terlebih lagi suku Gayo adalah salah satu suku yang selalu berhasil perpaduan budaya dengan suku manapun, sebagai contoh di Aceh Barat dan Aceh Selatan bahasa padang tidak hilang dari kehidupan mereka, ini menandakan bahwa Aceh tidak pernah bisa memenangkan budaya mereka terhadap suku Jamnee. Lihat di Gayo, Aceh Tenggara yang merupakan perpaduan Aceh dan Padang, bahasa Padang hilang digantikan dengan bahasa Gayo.
Selain itu, sudah barang tentu pada awal-awal pemerintahan orang Gayo akan memimpin ALA selama beberapa generasi, kita dapat mempersiapkan mereka, generasi Gayo, dengan lebih baik lagi tentunya.
Terakhir, masa yang akan datang, bukan suku lagi yang dipikirkan orang tapi bagaimana semua menjadi sejahtera, Islam menjadi tujuan. SBY yang pernah ke Gayo mengatakan bahwa Gayo adalah Indonesia Mini di Indonesia, maka jadikan Gayo sebagai sebutan bagi orang-orang yang mengikuti adat Gayo dan berbahasa Gayo.
Kedua, percepatan pembangunan, ini kiranya sudah jelas, seperti yang saya jelaskan pada awal tadi, bahwa ke depan untuk otonomi daerah peran daerah tingkat I atau Provinsi akan diperkuat, yang bertujuan memperkuat nasionalisme sekaligus mempermudah untuk melakukan pengawasan terhadap Kabupaten/Kota yang ada pada regional mereka. Atau bahasa kerennya adalah memperpendek rentang kendali.
Mau tidak mau SDM Gayo akan maju, baik dengan cara transfer knowledge dengan pihak luar, memperkuat pendidikan, membangun budaya lokal. Yang terpenting adalah SDA dataran tinggi Gayo bisa dikelola penuh oleh orang Gayo dan dipergunakan untuk kemashalatan orang Gayo. Yang saya herankan adalah ketika orang mengatakan bahwa orang Jawa akan membawa kekayaan Gayo ke Jawa, ini adalah sesuatu yang amat bodoh di era otonomi daerah.
Namun, hal itu bisa terjadi apabila Gayo terjadi konflik, kita jangan terprovokasi untuk hal ini. Salah satunya adalah dengan wacana Gayo Merdeka, ini amat berbahaya. Bila kita berkaca kepada Aceh, maka ada wacana bahwa GAM tersebut merupakan sebuah scenario untuk menghabiskan SDA Arun dengan mudah. Bayangkan, sejak Arun dimenangkan USA kemudian timbul pemberontakkan GAM yang sepertinya sama sekali tidak ada upaya yang serius untuk menggagalkan kekayaan alam tersebut di bawa ke USA, jelas sekali yang mendapatkan keuntungan besar dari proyek Arun adalah Exxon. Dalam pemikiran mudah kita, seharusnya target utama GAM adalah tidak berjalannya proyek Arun, kenyataannya sudah hampir habis SDAnya. Jadi adalah wajar ketika kita mengatakan bahwa ada main mata antara GAM, oknum TNI dan USA untuk menjadikan Aceh tidak aman sehingga bisa menggerus habis Arun sekaligus menghabiskan para Tengku yang berbahaya bagi Soeharto.
Begitu juga halnya bila Gayo Merdeka menjadi sebuah perjuangan, ini akan dianggap sebagai kaki tangan GAM. Salah satu tahapan dari Gerakan Gayo Merdeka (baca Kaki Tangan GAM) adalah dengan menjadikan konflik horizontal antara Gayo dan Jawa, dengan mengangkat kesukuan atau Chauvisme Gayo. Bayangkan ketidakamanan yang akan diderita orang Gayo dan tentunya orang Aceh (baca GAM) akan tertawa dengan riang, bahkan oknum TNI akan senang melihatnya, ada proyek penggerusan baru. Ini yang harus kita jaga.
Dengan ALA, semuanya akan menjadi lebih mudah, dengan ALA nasionalisme kita akan mendapatkan penghargaan dari NKRI, kesempatan membangun kita akan lebih besar, karena daerah Gayo terkenal sebagai daerah putih, atau daerah yang mendukung NKRI. Gayo akan aman dan anak cucu kita bisa menggapai cita-citanya.
Ketiga, keamanan, dengan ALA kita akan mempunyai teritori sendiri untuk mengamankan daerah kita, kita akan punya Kodam sendiri. Daerah konflik akan lebih mudah ditangani, GAM akan lebih mudah dibrangus. Rakyat Gayo sudah punya kepercayaan diri untuk menghancurkan GAM, mereka sudah punya kekuatan yang jelas dari TNI.
Bahkan dengan terbelahnya Aceh, maka yang bisa diprediksikan tidak ada lagi konsep Aceh Merdeka oleh GAM, semuanya gugur. Tidak perlu lagi rakyat Gayo menjadi korban dari PERANG BODOH selama puluhan tahun yang membuat rakyat Gayo menderita, terancam, terintimidasi, kekurangan pangan, sandang dan papan, kehilangan kepercayaan diri. Ini semua dapat kita hilangkan dengan pemekaran ini.
Tiga hal ini saja, maka dapat dipastikan Gayo sekarang akan berbeda dengan Gayo 10 tahun yang akan datang, kita akan lihat anak-anak kita menjadi seorang Profesor, kita akan lihat tenaga kerja yang baik, perkebunan yang aman, pendidikan yang maju, perekonomian yang bergerak.

Walau demikian pada 3 tahun pertama, merupakan masa-masa sulit, kita akan diuji dengan kemampuan kita untuk menjaga keamanan, salah satunya adalah GAM yang pasti akan menggagalkan ini, karena Aceh Merdeka akan hilang dari muka bumi ini. Selanjutnya dilanjutkan dengan kemampuan untuk menarik banyak investor, kemampuan untuk mencarikan formulasi yang terbaik sesuai dengan kondisi dataran tinggi Gayo yang tidak merusak alam dan menegakkan syariah Islam.

Kesimpulan
Kepada masyarakat Gayo, utamanya generasi mudanya mari kita berpikir luas dan tidak sempit, dengan ALA kita dapat membangun dengan cepat SDM dan mengelola SDA bagi SDM kita. Kita tidak akan lagi ketakutan dengan PERANG BODOH atau agenda-agenda Aceh Merdeka. Kita bisa membuktikan bahwa ALA bukan hanya mensejahterakan orang Gayo tapi segala suku yang ada di ALA dengan sebaik-baiknya, sebuah Indonesia Mini.
Kita tidak bisa mempercayakan nasib kita kepada GAM atau orang Aceh, kebencian mereka terhadap suku Jawa adalah luar biasa, bila ini kita biarkan maka sama saja kita bunuh diri menciptakan konflik pada daerah kita sendiri yang kemudian kita akan sesali.
Pemberontakkan tidak akan pernah menang sekarang ini, jangan samakan Aceh dengan Kosovo, Kosovo punya Rusia, itupun sulitnya bukan main. Siapa yang mau membela Aceh, Gayo saja tidak bisa mereka rangkul, tentu dunia internasional akan terus mempertanyakan hal ini.
Namun, kita bisa samakan Aceh dengan Tamil di Sri Lanka, dan ini memang nenek muyangnya.
Tapi kita tidak bisa samakan Aceh dengan Khasmir di India, Poso di Fhilipinna, Chencya di Rusia, Moro di Thailand, apalagi Hamas di Palestina. Mereka memperjuangkan nasionalisme dengan menghalalkan darah sesame muslim, sehingga hanya membuat murka di sisi Allah.

Berijin.

Tidak ada komentar: