04 Februari 2009

Gamang Memberi Arti ?

Bagian pertama

Ketika sampai dirumahnya Umar menemukan Win sudah ada di ruang tamunya, duduk di sofa tamunya yang lembut, menunggunya. Umar memang mempunyai rumah yang indah yang lengkap dengan perabotan mewahnya sekaligus halaman yang luas.
“Hmmm. Asslam Win,” sapa Umar
“Hai, Wasslm. Wah saudaraku yang luar biasa ini sudah datang rupanya,” jawab Win.
“Kaifa haluk ?” tanya Umar
“Ahlan wa sahlan, syukron akhi, antum ?” Jawab Win.
“Alhamdulillan baik, ada apa Win, tumben kau kemari, ada yang bisa kubantu,” tanya Umar kembali.
“Hah, jangan begitu kau Umar, aku hanya ingin bercerita kepadamu. Tapi kau jauh berubah sekarang ya, rumahmu mewah sekali, ketika aku ke sini tadi hampir aku tidak percaya ini rumahmu. Anak dan istrimu juga cantik dan gagah-gagah. Kau buat aku iri kawan, iri dengan semuanya. Ketika melihat anakmu yang perempuan aku teringat anakku yang kecelakaan. Aku merindukannya Mar,” kata Win sambil berkaca-kaca air matanya.
“Sabar Win, inget Tuhan…ah sudahlah jangan lah kita berdiskusi kembali tentang Tuhan, aku sudah tahu jawabanmu,” cepat-cepat Umar berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Mar, kau ingat tentang pembicaraan kita sebelum aku pergi ke Denmark dan kau ke Mesir tentang Kemerdekaan, waktu itu kita berdebat keras bahwa kemerdekaan menurut kamu adalah ketika kita merdeka dari yang namanya kemiskinan dan kebodohan tanpa harus menjadi sebuah Institusi atau Negara selama mereka tidak melakukan pembudakan. Tapi aku bersikeras bahwa kemerdekaan itu harus diraih bila sudah punya institusi yang mengayomi kepentingan kita, setelah itu baru kita mengejar ketertinggalan, apapun pengorbanannya” kata Win.
“Ha ha, ya aku ingat itu. Kau tetap tidak mau mengakui argumenku bahwa bila ini dilakukan maka yang terjadi adalah setiap keluarga di dunia ini punya keinginan Merdeka, gila kan kalau ini terjadi, jangan-jangan nanti akan ada Negara Cahaya dan Langit..ha ha ha.” Ujar Umar.
“Ah, aku masih tidak setuju dengan kau Mar. Kau tidak tahu apa-apa tentang kemerdekaan, bagiku lebih baik kita jadi sebuah keluarga yang punya kehormatan dengan mengorbankan yang harus dikorbankan sebagai pahlawan, bukankah itu lebih heroic. Kehormatan Mar, kehormatan…tak ngerti kau Mar tentang hal itu karena kau terlalu banyak baca Kitab sejak dulu,” jawab Win.
“Win, apa yang kau inginkan dari kemerdekaan ? Apa Win ? Bukankah yang kita tuju tetap kepada memerdekakan diri kita dari kemisikinan dan kebodohan dari pada kau sebar itu konflik lantas kita harus masuk ke dalam lingkaran setan berupa dendam dan intimidasi, berpikirlah kau Win,” kata Umar lantang, rupanya ia sudah terbawa kembali masa lalu ketika mereka berdua muda berdebat.
“Itulah kau Mar sejak dulu tidak pernah lepas dari mata kudamu, ya itu dengan Agama gilamu itu, lepas Mar, berpikir merdeka. Kita ini punya darah pejuang, darah anti dijajah orang lain, kita ini punya kelebihan sama orang-orang bodoh di bawah kita itu. Sekarang gimana caranya kita menguasai orang-orang bodoh itu untuk kemudian kita bakar semangat mereka untuk merdeka lantas kita jadi pemimpin dan kemudian kembali membodohi mereka. Jangan lupa kita siapin pengganti kita dari anak-anak kita, ha ha,” ujar Win sambil tertawa.
Umar terheran-heran dengan Win, pemikiran-pemikiran ini pernah ia dapat dari Illuminati sewaktu pertama kali, walau ia mengikutinya ia tetap mempertanyakannya dihatinya, rupanya aku masih punya filter, tapi Win Gila ini menelan habis cerita itu dan bahkan ia sudah punya kemampuan untuk menambah-nambahnya.
Umar menarik nafas panjang kemudian berkata ““Dari dulu aku selalu mengatakan bahwa Islam tidak pernah mengijinkan kita untuk berjuang dengan ashobiyah atau golongan, kau pernah dengar hadistnya kan. Win semakin gila kau Win, lebih dari dulu..he he,” sahut Umar.
“Terserah kau lah. Mar, aku mau minta bantuan kamu untuk itu. Aku mau pimpin Keluarga ini, aku mau turunkan dulu bapak-bapak kita yang sudah tua itu, mereka sudah tidak punya keberanian lagi untuk bertindak, mereka sudah pikun semua. Aku mau buat cheos keluarga ini sebelum kemudian menghancurkan keluarga Langit,” kata Win bersemangat.
“Ah, kau Win. Kau mau mengambil hakku ya..he he. Tapi sebelum itu kau harus lihat dulu tayangan ini,” kata Umar dengan corak wajah yang tiba-tiba menyendu.
Umar bangkit dari tempat duduknya dan menghidupkan TV serta alat pemutar Video kemudian berkata “Win, aku ada wawancara dengan keluarga kita yang hidupnya tidak seberuntung kita yang aku filmkan, aku melakukan ini tempo hari untuk mejadi bahan penelitianku tentang kondisi keluarga kita yang sudah mulai kehilangan kebersamaannya ini,” kata Umar.
Di layar Televisi terlihat bahwa Umar berjalan-jalan dipinggiran kota, ia mengunjungi sebuah rumah gubuk yang terlihat memiriskan hati bagi orang yang melihatnya.
Tok tok tok, suara pintu diketuk oleh Nur.
“Asslm,” kata Umar.
“Wasslm, siapa ya,” jawab orang yang ada di dalam rumah itu.
“Umar Nek, ini cucu Nenek. Masih ingat kan ? “ ujar Umar.
Terdengar suara batuk-batuk dari dalam rumah tersebut. Krreekk, pintu reot itu terbuka perlahan dan terlihat seorang wanita tua yang sudah agak bungkuk, wajah dan tangannya ditutupi keriput yang menandakan ketuaannya, rambutnya yang sudah memutih semua di tutupi oleh pakaian bersih yang sangat tua tanpa model yang amat dekil, tapi matanya masih terlihat tajam.
“Uh, siapa ni. Nenek da lupa, masuk, masuk, duduk, duduk” kata Nenek lirih.
Terlihat di TV Umar menyalami nenek tersebut sambil mencium tangannya. Win berkata “Wah, kau seperti masih dalam zaman feodal saja..he he,”
Umar hanya melirik saja kepada Win sambil tersenyum sinis.
Kembali ke layar televise, terlihat Umar duduk di sebuah kursi tua yang terbuat dari rotan, kondisinya sudah amat mengharubirukan. Rumah gubuk itu ternyata hanya mempunyai 3 ruangan, ruang tamu bergabung dengan dapur berukuran 4 x 5 m, kemudian sebuah ruangan yang menjadi kamar bagi nenek itu dan sebuah kamar mandi sepertinya dipojok kanan rumah. Ketika nenek itu sedang mempersiapkan minuman bagi mereka berdua tanpa sengaja kameraman memperlihatkan bahwa di dalam kamar nenek itu seorang anak yang sepertinya berumur 9 tahun sedang tertidur dengan pulas.
Melihat hal ini Umar teringat kembali masa-masa kecilnya dahulu yang penuh dengan kehangatan dari nenek dan kakeknya memeliharanya. Walau bedanya ialah anak itu dalam keadaan yang serba kekurangan sedangkan ia dapat dikatakan berkecukupan.
Umar sejak kecil memang sudah yatim piatu sejak berumur 5 tahun, kedua orang tunya telah menjadi korban konflik antara Keluarga Cahaya dan Keluarga Langit. Semenjak itu pula ia di asuh oleh kakek dan neneknya dengan segenap kasih sayang sehingga ia terbebas dari akibat psikologis seperti korban konflik lainnya. Kakek dan Neneknya selalu menyuruhnya untuk dekat kepada Tuhan, tidak boleh mendendam dan memberikannya semua keindahan sebuah keluarga. Ia diasuh oleh keduanya sampai ia pergi ke Mesir. Keduanya meninggalkan dunia ini ketika ia baru 3 bulan di Mesir dan mendengar bahwa keduanya meninggal karena kecelakaan. Semenjak itulah ia di Mesir berusaha untuk dapat menyambung hidup dengan segala upayanya melanjutkan kuliahnya.
Sejarah hidupnya inilah yang mendekatkan dirinya dengan Win, seperti juga dirinya hal ini terjadi juga dengan Win, tapi bedanya Win masa kecilnya agak berbeda dengannya sejak kecil sudah harus membawa dendam dihatinya. Kalau ia diasuh oleh Kakek Neneknya dengan menghilangkan dendam dari hatinya tapi Win hidup dengan pamannya bersama sepupu-sepupunya dalam dendam. Ia megetahui ini karena mereka SD satu bangku, masuk pesantren dari SMP dan SMA juga bersama-sama. Dibalik kebuasannya sebenarnya dalam diri Win masih ada sedikit kelembutan dan kebaikan yang selama ini dicoba ditutupinya juga karena ia terkadang kelepasan dalam setiap ucapan dan tindakkannya. Dan ini menyebabkan ia harus bisa bersikap seperti apa yang ia ucapkan dan tindakannya. “Kasihan kau Win, malah kau sekarang masuk ke dalam perangkap Illuminati, padahal kalau kau tahu kau hanya sebagai pion yang akan dikorbankan tentu kau akan berpikir 1000 kali mengikuti wanita setan itu. Walau aku masuk tapi aku masih punya hal-hal yang kupersiapkan untuk kepentingan aku, aku menggunakan mereka untuk kepentinganku,” ujar Umar dalam hatinya.
“Kamu siapa, tapi wajah kamu sepertinya mengingatkan aku akan seseorang ?” tanya Nenek.
“Saya Umar Nek, anaknya Indah, saya dulu sering main ke sini bersama kakek dan nenek. Mungkin nenek ingat sama dengan Ida, Nenek saya,”kata Umar.
Terlihat nenek itu berpikir keras,tiba-tiba wajahnya semeringah “Iya, nenek inget sekarang, ya ya kamu, da besar dan ganteng lagi sekarang ya…,” katanya. Kemudian nenek bangkit dari duduknya dan memeluknya serta mencium dahinya.
“ Iya Nek, sudah hampir setahun aku ada disini, dan baru bisa mendapatkan alamat Nenek sekarang. Dengan siapa sekarang, Nek ? Kemana om Adi dan Ali, kenapa nenek tidak tinggal bersama mereka, dan itu siapa yang di kamar?” tanya Umar setelah Nenek itu mengenalinya, karena memang Umar sejak dahulu selain sama kakek dan neneknya dekat dengan keluarga ini.
Nenek itu tiba-tiba sesegukan menahan sedihnya, air mata mulai keluar berjatuhan tanpa bisa tertahan lagi, kemudian ia berkata “Umar, semuanya sudah habis karena konflik, semuanya sudah diambil Tuhan, hanya Tari satu-satunya yang tinggal bersama Nenek, dial ah yang mengurus Nenek. Tapi nenek tidak bisa memenuhi semua kebutuhannya, nenek tidak punya apa-apa, untuk menyabung hidup nenek mendapat bantuan dari saudara-saudaramu hingga sekarang bisa berjualan alakadarnya di pasar dekat rumah ini Umar,” jawab Nenek.
Mendengar hal tersebut hati Umar menangis, tanpa terasa ia meneteskan air matanya. Ia teringat kakek neneknya yang juga berjuang baginya untuk mendapatkan pendidikan yang baik, tapi ini. Ini merupakan sebuah siksaan bagi nenek yang sudah tua ini. “Konflik…konflik…konflik…kenapa kita semua mau ke dalam konflik, apakah kalau kita tidak mau konflik kemudian dikatakan pengecut. Kenapa orang-orang yang gila konflik itu tidak berlaku seperti Mahatma Gandhi yang telah memerdekakan India tanpa harus dengan perang yang mengorbankan orang ribuan. Atau kenapa harus konflik kalau kami yang masih seiman ini masih bisa bersama untuk menjunjung perdamaian. Layakkah perang ini terjadi kalau masih bisa ada kedamaian yang bisa dicapai ? Laknatullah kau yang telah menyukai konflik,” tiba-tiba Umar berteriak dalam hatinya.
Ketika ia tersadar dari teriakan hatinya ia sadar bahwa mungkin ia juga telah terjerumus kedalam konflik ini atau sedang terjerumus. Ketika masuk kedalam kelompok Illuminati ia sudah mengadakan kesepakatan untuk tidak terjebak dengan konflik yang ada pada keluarganya saat ini. Tapi ia telah berulang kali membantu untuk kepentingan Illuminati untuk membuat cheos berbagai keluarga dan membuat hancur berbagai organisasi. Tapi khusus untuk dari kalangan yang seiman dengannya ia hanya memberikan informasi penting tentang actor-aktor yang berperan serta perencanan dari organisasi yang akan dihancurkan tersebut, tapi ia juga tahu actor-aktor yang menghancurkan agamanya itu. Hal inilah yang membuat ia berdua muka. Mukanya tiba-tiba memerah dan tangannya gemetar menahan amarah dan penyesalan yang ada pada dirinya.
Nenek itu bangkit dari kursinya dan mengambil sesuatu dari kamarnya, “Cucunda, nenek diberi fhoto oleh salah satu keluarga kita bagaimana keluarga kami dibantai oleh orang-orang yang tidak dikenal, bahkan pelakunya sampai saat ini belum ditangkap. Tapi dari bukti-bukti ini dilakukan oleh Keluarga Langit…hu hu,” tiba-tiba nenek itu menderu tangisnya.
Foto-foto itu memang menggambarkan kebiadaban dari penbantaian tersebut, bahkan rasanya ini di luar kemanusiaan atau bahkan sengaja dibuat untuk membuat panas situasi orang yang melihatnya. Foto yang disorot oleh Kameranya temannya Umar memperlihatkan bahwa mayat-mayat tersebut sudah dipotong-potong menjadi beberapa bagian, bahkan bagian dari terpotong-potong itu terlihat hangus, wajah mereka juga semuanya sekarang sudah tidak dikenal lagi. Terlihat terdapat 4 mayat orang dewasa dan 1 mayat anak kecil.

Melihat fhoto-fhoto ini Umar tak kuasa lagi menahan sedih dan amarahnya, terlihat di layar Televisi itu ia segera keluar rumah tersebut, ntah apa yang dilakukannya.
Umar yang menonton hanya dapat menarik nafas panjang, karena diluar ia memukulkan tangannya ke pohon pisang hingga pohon itu tumbang, karena untuk meluapkan kemarahannya ia telah memukul dengan keras berkali-kali pohon itu menumpahkan segala kemarahannya dan rasa bersalahnya.
Tak lama kemudian Umar memasuki rumah tersebut dengan raut muka yang sudah agak tenang.
“Umar, kedua pamanmu menurut otopsi Pemerintah darahnya telah habis sebelum dibakar, rasanya mereka telah menguras darah dari kedua pamanmu sebelum dibunuh,” lanjut nenek itu sambil sesenggukan.
“Iya Nek, sabar ya Nek, nanti Umar akan cari tahu siapa yang telah membunuh keluarga nenek, harus sabar ya. Ini Nek, ada sedikit rezeki dari saya untuk Nenek, mudah-mudahan Nenek bisa menggunakannya untuk usaha dan ini juga bisa membantu Tari untuk sekolah sampai SMA,”
“Umar, terima kasih Umar, kamu baik sekali, semoga Allah akan memberikan kamu berkah dan rahmatnya. Ingat Umar, jangan tergoda bisikan syetan, semua kekerasan yang sekarang terjadi di daerah kita adalah bisikan iblis yang terkutuk, dimana manusia sudah menjadi serakah, manusia sudah menjadi binatang dan yang lebih bahaya lagi manusia sudah menjadi sombong seperti iblis, sehingga ia merasa dirinya paling mulia dibandingkan manusia lainnya dan merasa pantas untuk bisa menghina manusia lain yang bukan dari golongannya. Terakhir pesan nenek Umar, jangan kamu sekali-kali menyimpan dendam, karena Nabi tidak pernah mengajarkan kita dendam, itu semua adalah perbuatan syetan. Nenek bisa lihat kamu masih ada gundah dengan semuanya, ingat pesan nenek ya Umar..” nenek itu kembali sesenggukan lebih keras kali ini. Seolah-olah nenek itu tahu apa yang ada di hati Umar, seolah-olah ia mengerti apa kegundahan Umar.
Mendengar hal itu Umar tak kuasa memeluk neneknya itu, ia juga meneteskan air matanya. Tak lama kemudian ia membelai pipi nenek itu kemudian kepalanya dan mengecup keningnya, selanjutnya berkata “Iya Nek, terima kasih Nek. Doakan Umar. Asslm,” salam Umar kemudian ia bersama temannya meninggalkan rumah tersebut.
Umar lantas mematikan TV tersebut, dan berkata “Win, gimana Win, kamu da lihat kan akibat konflik, tidak saja fisik tapi juga psikis, dan kita yang menjadi salah satu korbannya, kita juga merasakan kan Win,” ujar Umar.
Win yang sejak tadi diam karena batinnya kembali terlibat konflik hanya menganggukkan kepala saja.
Seperti juga Umar, ketika ia melihat anak kecil tadi ia juga teringat dirinya. Ia telah megarungi hidup yang berat karena konflik, karena ia merupakan korban konflik. Sejak kedua orang tuanya meninggal karena dibunuh oleh Keluarga Langit, dendam sudah tertanam dalam hatinya. Ia selalu berniat suatu saat ia harus berhasil menjadi orang yang punya kekuasaan untuk menghancurkan Keluarga Langit bagaimanapun caranya.
Terlintas kembali olehnya dokumen rahasia yang diberikan Nur kepadanya bagaimana upaya dari Illuminati untuk membuat 2 keluarga itu terus bertempur dengan alasan Keluarga Langit memang tidak layak diberikan ada dengan semua ulahnya, ini menyebabkan ada sedikit kesal dalam diri Win. Dokumen yang dibacanya juga menceritakan bahwa Keluarga Cahayalah yang sesungguh lebih baik daripada Keluarga Langit, kemunduran Keluarga Cahaya selama ini karena mereka telah terjajah puluhan tahun lamanya. Bahkan dokumen tersebut juga menunjukkan data-data kebiadaban yang terjadi selama konflik berlangsung.
Semuanya seolah-olah berupaya menunjukkan bahwa yang menyebabkan terjadinya konflik ini adalah karena Keluarga Langit menjajah Keluarga Cahaya, yang menyebabkan kemunduran. Dan yang terpenting menurut Illuminati bahwa Langit harus dienyahkan, dan kedamaian hakiki itu tidak akan pernah ada selama ada Keluarga Langit di muka bumi ini. Hal inilah yang menyebabkan Illuminati selalu berupaya berulangkali dengan strateginya untuk dapat mengobarkan perang kembali untuk mengembalikan kejayaan dari Keluarga Cahaya. Dan adalah hal yang wajar jika yang nantinya sebagian keuntungan akan diberikan kepada actor-aktor yang berjasa, demikianlah yang terpikir di otaknya si Win yang egoismenya kini sudah menjadi Tuhan.
Memikirkan ini semua maka semakin tertutup hati Win, semakin dendam kepada Keluarga Langit dan kepada Tuhan semua itu menjadi tertutup, ia tidak peduli lagi dengan korban tambahan yang harus dikorbankan. Semua itu semakin menjadi ditambah dengan keangkuhannya, yang sudah terlukiskan dengan segala perbuatan dan perkataannya. Yang pasti apapun yang akan diberitahukan kepadanya untuk mencegah konflik kembali adalah seperti masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri. Sungguh ironis…

Bagian kedua
Umar yang melihat Win terdiam saja dengan dingin setelah melihat film tersebut hanya bisa diam juga seperti patung melihat sahabatnya sepertinya sudah tidak lagi mempunyai hati nurani dan akal yang dapat dipergunakan untuk kebaikan keluarganya. Hanya konflik saja yang dipikirkannya. “Sungguh wanita setan itu telah berhasil mempengaruhinya dengan sebaik-baiknya,” dalam hati Umar berkata.
“Win…,” dengan sedikit membentak Nur menghardik Win.
Win yang terdiam, tiba-tiba sadar dari lamunannya. “Afwan Akhi, maaf, apa tadi yang kau katakana ?” tanyanya.
“Apa tanggapan kau tentang film tadi, konflik yang berkepanjangan ternyata hanya membawa anak-anak kembali menjadi seperti kita dahulu, selalu dalam kesulitan dan selalu dalam dendam,” tanyanya kembali.
“Oh, itu tadi adalah salah satu pengorbanan dari keluarga kita untuk mempertahankan kehormatan kita, mereka yang meninggal itu adalah pahlawan keluarga kita,” jawab Win singkat.
“Tapi apa yang mereka dapat kecuali mereka kembali dalam kesusahan, engkau tidak dengan kata-kata terakhir dari nenek kita tadi agar kita tidak memdendam, karena itu adalah perbuatan setan. Lagian menurut aku kalau sesama saudara muslim itu berperang amat dibenci Allah. Win membunuh 1 orang nyawa muslim sama dosanya dengan kita membunuh semua muslim yang ada di dunia ini, bila ada satu orang muslim yang terluka maka kita akan merasakannya juga, apakah kau mau memotong tanganmu sendiri ?” kata Umar.
“Kalau memang tangan itu adalah penyakit maka aku akan rela memotongnya, agar penyakit itu tidak menyebar,” jawab Win.
“Lantas apa engkau yakin bahwa tangan itu memang sakit sehingga engkau mau memotongnya ?” tanya Umar kembali.
“Iya, mereka adalah penyakit, kita seperti sekarang karena tingkah pola mereka, kalau mereka hilang tentu kita akan lebih aman, dan itu lebih baik kita hidup dengan satu tangan daripada hidup 2 tangan dengan satu tangan berpenyakit,” jawab Win dengan lantang karena ia merasa mendapatkan angin segar untuk dapat menekan setiap perkataan dari Umar saat ini.
“Sungguh kau sudah gila Win, kalau kau mau memotong tanganmu sendiri walau engkau tidak tahu mereka itu penyakit atau bukan sudah barang tentu engkau akan rela membunuh keluargamu sendiri untuk mendapatkan ambisi gilamu itu,” kata Umar sambil menggeleng-geleng kepalanya.
“Gini Win, aku tidak suka dengan pemikiran kamu ini, mereka saudara kita, mereka mengucapkan syahadat, dan lagi yang kita perjuangkan sekarang adalah ashobiyah, barang siapa yang melakukannya maka ia tidak akan masuk ke dalam golongan Nabi Muhammad,” tukas Umar.
“Aku tidak peduli Mar, engkau suka atau tidak suka, aku tetap dengan prinsip aku, kalau perlu aku mati menghancurkan mereka,” kata Win dengan berapi-api.
“Istigfar Win. Kau harus tahu Win sebenarnya yang membuat kita berkelahi dengan mereka hanya karena pepesan kosong yang seharusnya bukan dijadikan alasan untuk perang. Hanya karena dulu nenek moyang kita memperebutkan harta warisan, lantas berlanjut sampai sekarang, kau tahu itu kan. Satu lagi kita merasa paling hebat sejak zaman dulu dari mereka, tapi apa yang kita dapat sekarang mereka sudah berlari menuju bulan kita malah menggali sumur kematian keluarga kita sendiri. Pikirkan ini Win” jawab Umar.
“Aku sudah tidak peduli lagi Mar, aku hanya ingin merebut kembali harta warisan itu, kalau dari belahan lain tidak bisa sekarang adalah giliran aku untuk mendapatkannya,” ujar Win dengan sedikit bersungut-sungut mulutnya menunjukkan kekesalan dirinya.
Umar hanya bisa menggelengkan kepala ketika melihat Win yang begitu keras kepala, sampai-sampai semua perkataannya sepertinya menjadi sia-sia. Kembali ia menarik nafas panjang. “Huh, aku rasa selain nafsu gilamu kau memang sudah berhutang budi terlalu banyak Win dengan Illuminati, apa yang sudah diberikannya uang, harta, tubuhnya atau apa, menyedihkan kau Win,” kata Umar dalam hatinya.
Tiba-tiba Umar bertanya dengan lembut kepada Win,“Win, apakah menurut hati kecilmu hanya untuk mengejar sebuah kehormatan keluarga lantas kita bisa mengorbankan semuanya, bahkan mengorbankan keluarga kita yang lain, itu satu. Yang kedua, untuk tanah warisan itu siapa yang punya Win, hanya Tuhan yang punya, apakah engkau tahu ratusan tahun yang lalu itu tanah kepunyaan siapa ? Jawab Win, apakah aku salah ketika aku katakana ini semua hanya pepesan kosong, jawab Win. Terakhir, sudahkah kau berpikir panjang ke depan atas apa yang terjadi saat ini, untung ruginya bagi keturunan kita kelak ?,”
Tiba-tiba Umar melanjutkan kata-katanya “Sebelum kau menjawab Win, kau ingat apa yang di bilang nenek di video tadi yang mengatakan bahwa darah kedua pamanku habis, itu menandakan bahwa kedua pamanku sudah terkena ritual dari salah satu sekte setan yang menganggap orang itu lebih rendah dari pada dirinya, mereka menggunakan darah dari pamanku untuk pesta agama mereka, dan sekte itulah yang telah merusak semua generasi keluarga kita selalu dalam konflik. Sekarang masihkah kau tidak percaya kalau kita semua ini hanya dijadikan pion untuk mereka mengeruk keuntungan dari pertikaian keluarga cahaya dan keluarga langit,”
Win terlihat galau pada wajahnya, ia mulai meneteskan air matanya, namun matanya masih menunjukkan dendam membara yang ada pada hatinya. Tangannya terlihat mengetuk-ngetuk pinggiran sofa yang didudukinya. Kakinya juga demikian mengantuk-ngatuk ubin yang ada di bawahnya. Seperti halnya iblis yang merasa kehilangan muka ketika Tuhan menciptakan Adam dan menyuruhnya untuk bersujud kepada Adam. Sejak dari dulu yang menyebabkan manusia ini hancur adalah rasa sombong dan dendam, seperti halnya iblis, seperti apa yang dikatakan nenek tadi.
“Tidak Umar,” teriak Win. “Aku tidak peduli semua, kalau perlu semua akan kuhancurkan, aku hanya mau Keluarga Langit hancur karena mereka telah mengambil hak keluarga kita dan aku dendam kepada mereka, mereka membunuh keluargaku, aku mau bunuh mereka semua, aku mau…aku mau… aku lebih baik dari mereka….” sambil bangkit dari duduknya dan berbicara dengan tersengal-sengal menumpahkan semua kemarahannya dengan berteriak-teriak.
“Win, tenang kau, ini rumahku, jangan bikin malu kau,” tegur Umar secara berbisik keras sambil menarik tangan Umar untuk segera duduk kembali dan menenangkan diri.
“Tenang sobat, tenang, kita teman bukan,” lanjut Umar menenangkan Win.
Win terlihat mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, sebentara ia sudah bisa mengendalikan emosinya. Memang wataknya sulit berubah, mungkin ini terjadi hampir kepada semua korban konflik yang ada di dunia ini, perkembangan korteks yang tidak normal dan menimbulkan gangguan emosional. Ini pulalah yang nantinya pada daerah konflik itu akan besar potensi konfliknya karena mereka sudah sedemikian rupa telah dibuat menjadi orang yang bersifat reaksioner dan pendendam. Perlu ada sebuah penanganan khusus bagi anak-anak korban konflik, Umar merupakan contoh mata bagaimana ia bisa keluar dari trauma konflik, adanya kasih sayang dari kedua kakek neneknya. Sehingga ia mampu untuk keluar dari lingkaran itu.
Hati Umar ingin sekali bisa menyadarkan Win bahwa apa yang ia lakukan adalah salah, bahwa ia akan dijadikan korban dan semua yang ia kumpulkan akan musnah seperti halnya dengan mudah ia mendapatkannya. Ketika istrinya memanggil Umar untuk makan malam, maka Umar lantas mengajak Win untuk makan malam bersama keluarganya yang telah menunggunya. Sejenak Win dan Umar melupakan semua hal yang mereka berdebatkan, mereka membicarakan hal-hal lain berkenaan dengan keluarga Umar, anaknya yang baru bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, istrinya yang kesulitan ke pasar karena tersesat, Umar yang sungkan dengan wanita-wanita Indonesia yang terlalu ramah dan masih banyak hal lain.
Namun sesekali terlihat bahwa wajah Win terbersit kesedihan yang selalu dicoba ditutupinya ketika datang, ia ingin menunjukkan bahwa ia juga bahagia dengan hidupnya. Ia menceritakan istrinya yang kini sudah terkenal, sebagi figure masyarakat, masuk ke dalam kalangan artis dan elit. Istri Umar yang bernama Anisah itu mungkin tidak dapat melihatnya, tapi Umar jelas dapat melihat perubahan wajah pada sahabatnya itu.

bersambung..

Tidak ada komentar: