13 November 2008

Gayo Melihat Pemekaran ALA (Dialog Dengan Win Wan Nur)

Win Wan Nur berujar (1):

Serinen Kosasih yang baik...

Belakangan ini kesibukan saya memang tidak memungkinkan saya untuk
selalu hadir dalam setiap perkembangan di milis ini.

Melihat suasana yang terjadi di tanoh tembuni, sebenarnya saya ingin
kembali ke Daerah kita secepatnya untuk terlibat langsung dalam
permasalahan yang kita hadapi. Tapi masalahnya, saya masih punya
tanggung jawab lain yang secara langsung oleh pencipta saya langsung
dibebankan kepada saya sendiri, yaitu keluarga saya. Karena itulah
selama 6 bulan belakangan ini saya seperti timbul tenggelam di milis ini.

Timbul tenggelamnya saya di milis ini selama ini adalah karena saya
sedang mempersiapkan 'Tungul' untuk keluarga saya. Sebelum saya terjun
sepenuhnya terlibat dalam permasalahan kita di Gayo.

Alhamdulillah, sekarang 'tungul' yang saya persiapkan sudah berdiri
dan sekarang saya sudah bisa tenang, kalau melibatkan diri dalam
permasalahan Gayo tanpa harus memikirkan lagi perekonomian keluarga saya.

Insya Allah pertengahan bulan November ini saya akan kembali ke daerah
kita dan langsung melibatkan diri secara penuh ke dalam persoalan dan
isu-isu yang sedang berkembang sekarang.

Pada tahap awal nanti saya berencana mendeklarasikan secara terbuka,
FPPG, forum yang saya bentuk bersama beberapa teman yang merasa
prihatin dengan apa yang terjadi di 'tanoh tembuni'. Saya harap
teman-teman yang berpandangan sama dengan saya bisa menghadiri
deklarasi itu nanti.

Setelah itu sudah ada beberapa rencana yang saya susun bersama
rekan-rekan yang lain. Tapi rencana itu nanti akan saya informasikan
setelah saya berada di daerah kita.

Cuma pada intinya, saya tetap berpegang pada ide awal dibentuknya FPPG
secara maya dulu. Kita ingin mengajak seluruh komponen masyarakat Gayo
untuk berdialog dengan pikiran terbuka dengan mengesampingkan
kepentingan pribadi dan kelompok tertentu untuk kemaslahatan kita
semua. Kalau perlu kita akan mendiskusikannya di layar kaca agar 'ama'
dan 'inente' di kampung-kampung juga dapat menilai argumen-argumen kita.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo

Lanjutan...

Belakangan ini sejak saya tidak terlalu aktif di milis, saya melihat
kemunculan dua orang miliser yang cukup memberi warna di milis ini,
kedua miliser itu bernama Kosasih Bakar dan Lembide Gayo yang keduanya
menyuarakan keresahan orang Gayo yang merasa terpinggirkan di Aceh,
beberapa argumen mereka cukup berbobot.

Dalam beberapa hal, saya sependapat dengan kedua orang serinen saya
ini (kalau benar keduanya adalah orang gayo). Saya sepakat dengan apa
yang mereka katakan tentang adanya diskriminasi dalam relasi sosial
kesukuan terutama antara Gayo dan Aceh. Saya sepakat dalam hal ini
karena saya sendiri pernah tinggal di Banda Aceh selama 13 tahun.
Selama masa itu terutama di masa-masa awal keberadaan saya di Banda
Aceh. Status saya sebagai suku Gayo seringkali menjadi bahan
olok-olok. Pernah juga hubungan saya dengan pacar saya tidak direstui
orang tuanya hanya karena saya orang Gayo. Tapi belakangan ketika saya
mulai lebih akrab dengan orang Aceh dan sayapun mulai fasih berbahasa
Aceh, saya merasakan hubungan itu perlahan-lahan mulai mencair. Mereka
sudah tidak pernah lagi melecehkan saya, meskipun dari nama saya yang
cuma satu-satunya di dunia ini, teman-teman Aceh saya tetap tahu kalau
saya adalah orang Gayo.

Hal kedua yang saya sepakati adalah pernyataan Lembide Gayo tentang
adanya rasa ketidak setujuan orang Gayo atas perang yang terjadi di
Aceh. Perasaan itu lahir karena orang Gayo beberapa kali merasa
dikhianati, misalnya saat Darul Islam dulu, pasukan Gayo yang tengah
berjuang mempertaruhkan nyawa dan menunggu bantuan dari pesisir malah
mendapati Tgk Daud Beureueh telah menerima tawaran damai. Begitu juga
dengan kasus Teungku Ilyas Leubee, meskipun saya yakin Almarhum dan
keluarganya tidak berpikiran seperti yang dikatakan Lembide Gayo itu.
Tapi harus diakui kalau anggapan atau Ide bahwa Tengku Ilyas Leubee
dijadikan tumbal dalam perjuangan banyak berkembang di Tanoh Gayo.
Dalam hal ini saya sepakat dengan Lembide Gayo bukan berarti saya
menyetujui pandangannya itu. Tapi saya setuju dengan Lembide kalau
pandangan seperti itu memang ada dan berkembang di dalam omongan
sehari-hari di antara masyarakat di Tanoh Gayo, pandangan yang
menimbulkan kekecewaan terhadap Suku Aceh yang selama ini kami anggap
sebagai saudara.

Yang tidak saya setujui dari kedua serinen saya ini adalah solusi yang
mereka tawarkan untuk memecahkan persoalan itu yaitu MENDIRIKAN
PROVINSI BARU.

Saya punya banyak alasan untuk tidak menyetujui SOLUSI seperti itu,
alasan utamanya adalah karena solusi seperti itu merupakan solusi
dengan type menyelesaikan masalah dengan membuat masalah. Solusi
model seperti ini jika kita lihat di sepanjang sejarah peradaban
manusia tidak pernah ada sejarahnya bisa menyelesaikan masalah,
melainkan menjadikan masalah yang tidak terlalu rumit menjadi sangat
rumit.

Bentuk kongkrit dari SOLUSI ini, kedua serinen saya ini menawarkan ALA
sebagai alternatif, tapi apakah benar ALA ini akan menyelesaikan
masalah yang kita hadapi sekarang?... mari kita uji.

Apakah benar ALA bisa menyelesaikan diskriminasi yang bernuansa
etnis?...sejujurnya saya sama sekali tidak yakin. Alasannya sebagai
berikut :

ALA tidak akan mampu menyelesaikan diskriminasi bernuansa etnis,
karena diskriminasi bernuansa etnis dan kelompok seperti ini bukanlah
melulu terjadi antara Gayo dan Aceh tapi merupakan fenomena Global. Di
bagian manapun di belahan bumi ini yang memiliki komunitas dengan cara
pandang atau cara hidup apalagi etnis yang berbeda, diskriminasi
semacam ini selalu ada.

Di Medan, orang Medan selalu melecehkan orang Aceh, saya yakin banyak
dari kita yang hapal olok-olok khas Medan yang menjadikan orang Aceh
sebagai objek.
Di Jakarta, orang Jawalah yang menjadi bahan olok-olok.
Di Surabaya, orang Madura yang menjadi bahan olok-olok.
Di Bali orang Banyuwangi yang menjadi bahan olok-olok
Di Banyuwangi sendiri orang Jember yang dijadikan bahan olok-olok.
Di luar negeri juga begitu, misalnya di Thailand..di Bangkok, orang
dari utara (Chiang Mai dan Chiang Rai) selalu dipandang rendah.
Di negara maju semacam Amerika dan Eropapun diskriminasi semacam ini
tetap terjadi, di Amerika orang melecehkan dan menganggap rendah orang
hispanik dan negro. Di Perancis, orang Paris menjadikan orang
Marseille dengan logat selatannya sebagai bahan tertawaan.

Bahkan di Tanoh Gayo sendiri, di Takengen, dulu ketika saya masih
kecil oleh orang Gayo asli Takengen sebagai orang Gayo asal Isak saya
sering diolok-olok sebagai 'urang Isak pekak-pekak' . Apakah kalau itu
juga nanti tetap terjadi saat ALA berdiri saya harus minta Linge
memisahkan diri dari ALA dengan Isak sebagai ibukota baru provinsi Linge?

Kalau ALA jadi dibentuk, atas dasar apa kita bisa memastikan kalau
nantinya juga tidak terjadi diskriminasi antara Aceh dan Gayo dengan
Gayo sebagai pihak aktif?...apakah nantinya kalau ALA berdiri orang
Aceh yang sudah terlanjur tinggal di wilayah ALA harus diusir semua?

Jadi menurut saya, solusi untuk masalah ini hanya satu...kita
perbanyak dialog antara Gayo, Aceh dan suku-suku lainnya sehingga
antara kita terjalin hubungan yang lebih erat, perbedaan dan kesalah
pahaman antara kita bisa terjembatani. Mengenai caranya bisa kita
bicarakan asalkan ada niat ke arah itu.

Yang kedua, soal perasaan orang Gayo yang merasa dikhianati.. .ini
lebih sulit, meskipun fakta tentang adanya pengkhianatan ini sulit
dibuktikan secara empiris. Tapi fakta bahwa perasaan itu ada dalam
diri sebagian orang gayo tidak dapat dibantah. Untuk ini Irwandy,
Nazar dan orang-orang yang berada di pucuk tertinggi pemerintahan
harus memperkuat komunikasi dengan orang Gayo dan meyakinkan orang
Gayo kalau anggapan mereka itu tidak benar adanya.

Lalu ada lagi keluhan dari Kosasih tentang perdamaian yang sekarang
ini hanya menguntungkan segelintir pihak. Ini adalah keluhan khas di
akar rumput. Meskipun mungkin jika secara umum kita melihat
perdamaian ini dan besarnya dana yang menyertainya telah membuat Aceh
lebih baik dari sebelumnya. Tapi jika kaca mata yang dipakai adalah
kacamata orang yang tidak menikmati secara langsung dana yang
menyertai perdamaian itu maka apa yang terlihat akan sangat berbeda.
Dari kacamata orang yang tidak menikmati dana-dana tersebut secara
langsung yang terlihat adalah seperti apa yang dikatakan Kosasih
Bakar. Hanya petinggi-petinggi GAM yang mendapatkan manfaat dari
perdamaian.

Untuk inipun solusinya jelas bukan mendirikan provinsi baru, karena
kalau provinsi baru juga berdiri nantinya. Tidak ada jaminan hal
seperti ini tidak terulang. Buktinya belum jadi provinsi saja, praktek
seperti ini sudah terjadi. Contohnya di Takengen, saat Orang Isak jadi
Bupati ya orang Isak yang banyak mendapat bagian proyek, saat hari ini
orang Bebesen yang jadi Bupati ya orang Bebesen yang dapat bagian
proyek, orang Isak gigit jari.

Solusi untuk masalah ini kuncinya ada di para petinggi pemerintahan,
bagaimana mereka bisa mendistribusikan kemakmuran itu secara lebih
merata. Lalu perlu ada tekanan kuat dari bawah agar di Aceh dibentuk
badan super semacam KPK yang bersifat lebih lokal. Sebab harus kita
akui, selama ini pengawasan terhadap lalu lintas dana-dana bantuan ini
lemah sekali.

Dalam banyak argumen pro ALA, saya sering melihat mereka menggunakan
momen rombongan Kepala Desa berblangkon ke Jakarta atau kerumunan
Massa yang menuntut berdirinya ALA sebagai cerminan keinginan seluruh
rakyat Gayo untuk mendirikan provinsi baru.

Saya sangat tidak sepakat dengan pandangan ini, alasannya; selama ini
dalam propaganda pembentukan provinsi ALA, masyarakat hanya disodori
satu skenario, masyarakat hanya diberitahukan satu kemungkinan yaitu
seandainya ALA berdiri masyarakat akan makmur dan aman. titik. Tidak
ada kemungkinan apapun lagi!...Tapi apakah benar hanya ada satu
kemungkinan skenario seperti itu kalau ALA jadi dibentuk?... tentu saja
tidak.

Ada skenario lain, misalnya kalau ALA berdiri ada kemungkinan konflik
kembali pecah, ada kemungkinan pasukan dalam jumlah besar akan
didatangkan kembali ke Tanoh Gayo, dalam konflik seperti itu besar
kemungkinan penculikan dan pembakaran marak kembali.

Jadi kalau kita ingin tahu keinginan masyarakat Gayo yang sebenarnya
menyangkut ALA ini, seharusnya kemungkinan- kemungkinan yang bisa
terjadi dalam skenario kedua ini juga diinformasikan secara seimbang,
agar masyarakat bisa menimbang sendiri kemungkian-kemungki nan itu.
Kita harus tanyakan kepada masyarakat Gayo, apakah untuk
memperjuangkan ALA mereka siap untuk tiap malam jaga malam
lagi?...apakah mereka siap untuk membuat barikade di setiap jalan
lagi?...apakah mereka siap untuk memberikan kendaraan mereka dipinjam
tiap hari oleh anggota pasukan kapanpun mereka mau seperti dulu lagi?.

Untuk mendapatkan pendapat yang sebenarnya dari masyarakat Gayo,
kemungkinan- kemungkinan di atas perlu kita sosialisasikan karena
secara peluang, jika ALA berdiri DALAM SITUASI PERDAMAIAN YANG MASIH
SANGAT RAPUH seperti sekarang ini. Dibandingkan dengan skenario
pertama yang selama ini selalu diteriakkan oleh para Propagandis ALA,
justru skenario kedua seperti yang saya sebutkan di atas jauh lebih
besar kemungkinannya untuk terjadi.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare. blogspot. Com


Jawaban Kosasih
Sebelum saya mencoba mengulas apa yang disampaikan Abang Win Wan Nur (saya juga tidak tahu apakah ia orang Gayo asli atau tidak, wallahu’alam bishowab), saya pertama kali mengucapkan terima kasih dengan kembalinya seorang yang dikenal dengan santun setiap perkataanya, mudah-mudahan ini akan menjadi modal kita dalam berdiskusi kedepan. Kemudian yang harus saya sampaikan lagi adalah memang ada perbedaan antara kami berdua, yang satu ada keluarganya dibunuh oleh Marsose yang katanya ada dari Jawa, sedangkan Kakek saya dicincang oleh DI TII. Selanjutnya kemudian perbedaan itu semakin kental ketika mempermasalahkan PEMEKARAN WILAYAH NAD, ALA DAN ABBAS.

Sebelum saya membahas, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya lahir, besar, menikah dan bekerja bukan di Aceh, akan tetapi kedua orang tua saya berasal dari Gayo. Kemudian, tidak pernah saya didoktrin untuk membenci siapapun, karena saya memegang teguh agama saya yang tidak membedakan asal seorang manusia dari suku manapun, perbedaannya hanya ketaqwaannya. Pun demikian, saya bisa sampai berkehidupan yang lumayan seperti sekarang karena bantuan dari orang Aceh Pesisir, saya tidak akan melupakan jasa beliau dalam kehidupan saya. Bahkan ia sering kali dikatakan orang sebagai ‘maaf’ tanduk GAM sewaktu zaman Aceh rusuh dahulu. Terakhir, saya menuliskan ini bukan karena dendam akan tetapi untuk mencapai perdamaian dan kedamaian serta kemajuan bagi rakyat Aceh yang kita semua cintai. Tidak juga saya menginginkan sebuah jabatan di Pemerintah Daerah ALA atau sebagai legislative dalam sebuah Partai dengan menjadi sebuah Ketua Asosiasi/Forum terlebih dahulu, tidak juga karena uang atau harta, karena saya sudah merasa cukup dengan apa yang saya punya, saya bersyukur. Saya hanya ingin rakyat Gayo maju.

Pada alinea pertama sampai ketiga Abang Win Wan Nur mencoba menyampaikan persamaan ide yang dilontarkan oleh saya dan Limbide, berkenaan dengan penderitaan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh orang Aceh terhadap orang Gayo. Untuk ini saya hanya ingin menambahkan bahwa sesungguhnya penderitaan yang diterima orang Gayo lebih dari itu, saya tambahkan dari hasil beberapa analisa saya.

Penghilangan sejarah orang Gayo, orang Aceh harus bisa mengakui terlebih dahulu bahwa sesungguhnya penduduk asli Aceh itu adalah Gayo bukan lainnya sekaligus mengangkat banyak pahlawan Gayo menjadi pahlawan nasional. Mohon maaf, ketika saya melihat mahkota, senjata, tongkat Kerajaan Linge yang selalu di sosialisasikan oleh Iwan Gayo terlihat bahwa Kerajaan Linge itu sudah sangat tua, ini terlihat dari corak ular dan naga yang ada pada peninggalan situs tersebut. Kemudian saya teringat bahwa minggu kemarin saya pergi ke Ciamis dan Garut daerah Jawa Barat, saya mengunjungi salah satu peninggalan situs Kerajaan Galuh, salah satu Kerajaan Tertua di Jawa Barat. Dari beberapa sumber saya mengetahui bahwa ternyata dahulu Kerajaan Galuh tidak bisa terkalahkan oleh Kerajaan Majapahit, terlebih lagi dengan pengkhianatan yang dilakukan Gajah Mada dengan membunuh semua keluarga Raja Galuh dengan cara perkawinan. Rombongan yang besar menuju Kerajaan Majapahit untuk mengawinkam Putri Raja Galuh dengan Raja Majapahit, tapi Patih Gajah Mada membunuh semuanya dengan cara mengatakan kepada rombongan bahwa mereka bukan akan menikahkan akan tetapi memberikan puterinya sebagai upeti. Berkenaan dengan hal ini semua berdampak orang Sunda (Suku di Jawa Barat) amat membenci orang Jawa (permusuhan tradisional). Ini semakin kentara ketika zaman Soeharto, dimana ketika itu Soeharto begitu menjaga peninggalan-peninggalan Kerajaan Jawa, akan tetapi sepertinya tidak memperdulikan situs-situs Kerajaan Sunda. Bahkan sebuah batu prasasti yang membuktikan Prabu Siliwangi di daeah Bogor menurut sebagian besar orang Sunda sudah dihilangkan, belum lagi situs-situs lainnya yang terus hilang. Kenapa saya memberikan contoh cerita ini kepada kita semua, saya hanya ingin memberikan gambaran bahwa begitu juga halnya yang terjadi antara Gayo dan Aceh, memang permusuhan tradisional itu sudah ada. Di Jawa ini oleh para pendiri Negara kita diantisipasi dengan cara pemekaran wilayah Jawa, menjadi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, kesemuanya sebenarnya jika ditelusuri adalah diakibatkan oleh adanya perbedaan kebudayaan. Dan ketika ini dipisahkan menjadi masing-masing wilayah pedamaian dapat terjadi dan pembangunan dapat terlaksana dengan baik, perlu saya juga sampaikan bahwa sampai sekarang dimanapun (ex: Jakarta) antara Sunda dan Jawa itu selalu bersaing, dan satu lagi bahwa ternyata kedua suku tersebut mempunyai bahasa yang berbeda sekali seperti halnya Gayo dan Aceh. Saya hanya ingin menegaskan bahwa memang ada perbedaan antara Gayo dan Aceh, tidak usah ditutup-tutupi dengan persaudaraan, karena sesungguhnya kita juga bersaudara dengan suku manapun selama dia mengucapkan syahadat. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita mensikapi perbedaan yang terjadi itu.

Yang kedua, banyak dari suku Gayo yang menjadi korban oleh GAM, ntah itu suku Gayo asli, suku Jawa, Padang, dsb, hanya kerana mereka tidak mau mengikuti GAM. Yang menjadi permasalahan adalah pengorbanan mereka tidak hanya fisik tapi juga psikis, pernahkan anda semua bayangkan bagaimana petani Gayo kesulitan untuk memasarkan hasil kopinya ? Berapa banyak kerugiannya ? Pernahkah kalian semua bayangkan sulitnya BBM dan kebutuhan pokok lainnya ? Berapa banyak kerugiannya ? Atau pernahkan kalian tahu sakitnya Ama dan Inenya ketika mengetahui anaknya dipaksa menjadi anggota GAM atau keluarganya diancam dibunuh ? Berapa banyak kerugiannya ? Atau pernahkan taunya sakitnya para transmigran Jawa, tanpa bersenjata mereka disiksa, dibilang binatang, apakah mereka tidak seiman dengan kita ? Berapa banyak kerugiannya ? Atau pernahkah kalian tahu betapa sulitnya menentukan sikap, harus menjadi mata-mata siapa, GAM atau TNI, karena semuanya berakibatkan kematian dan siksaan ? Berapa banyak kerugiannya ? Atau pernhakan kalian tahu anak-anak kami semakin kehilangan kesempatan mendapatkan kehidupan yang layak ? Berapa banyak kerugiannya ? KENAPA ? Karena semua PERANG BODOH INI.

Yang ketiga, apakah ada keadilan MoU Helsinky itu ? Contoh hanya ada keadilan bagi Militer TNI yang melanggar HAM, tapi tidak bagi anggota GAM. Jadi sudah sepatutnya kami orang Gayo menuntut pelanggarana HAM yang dilakukan GAM, bukan hanya TNI. Tahukah anda semua kenapa terjadi kejadian Atu Lintang, karena semua rakyat daerah tersebut sudah jengah dengan tingkah laku KPA yang selalu meminta-minta dengan seenaknya, sehingga massa yang akhirnya menghukum mereka. Apakah kalian tahu orang Jawa yang membakar itu mengatakan bahwa saya melakukannya karena mereka juga dahulu melakukan hal yang sama dengan keluarga saya, menyedihkan bukan. Pembunuhan yang dilakuakn dengan aksi massa itu harusnya sudah membuka mata kalian semua bahwa rakyat Gayo sudah bosa dengan semuanya. Ini sepertinya tidak terjadi di Takengon saja, akan tetapi hanya orang Gayo saja yang berani menentang GAM sejak dahulu kala. Sering saya ke Banda Aceh, mereka selalu mengatakan bahwa KPA atau anggota GAM saat ini sudah formal melakukan pemaksaan untuk meminta jatah. Ini adalah masalah ketidakadilan, bukan saja permasalah akar rumput. Jika ingin mencapai perdamaian maka penuhi dulu keadilan. Atau jika mau adil maka tidak ada perdamaian dengan MoU Helsinky tapi betul-betul menuju perdamaian untuk rakyat Aceh bukan GAM.

Rasanya saya tidak perlu memberikan tanggapan tentang bahan olok-olokkan suku mana dengan mana, yang pasti adalah orang Jawa sudah membuktikan bahwa mereka memang suku tertua yang ada di Indonesia, situs di Solo. Ini juga menandakan bahwa memang bermacam ragam suku, ini adalah sunnatulaah bahwa Allah menciptakan manusia memang untuk beragam suku untuk saling mengenal dan berinteraksi. Intinya adalah jangan kita menghilangkan perbedaan tapi jadikan perbedaan itu sebagai sebuah kekayaan dalam persatuan, Bhineka Tunggal Ika.

Sebelum saya mengulasi tulisan Bang Win Wan Nur tentang ALA, ada baiknya saya mengulas sedikit tentang sifat orang Gayo. Ada sebuah buku karangan Snouckronge (Orientalis Islam, Penulis yang handal), judul bukunya GAYO, tebal sekali hampir 1000 halaman lebih, saya mendapatkannya di LIPI Jakarta, disitu ia menuliskan sejarah Kerajaan di Gayo. Seorang Snouckronge saja mengatakan bahwa ada suku asli Aceh disana suku Gayo dengan sifat keterbukaan, keramahan, mempunyai daya ingat tinggi dalam melakukan pemetaan wilayah. Ia mengatakan dalam tulisannya bahwa Suku Gayo itu mengangkat ‘maaf’ pembantunya dari suku batak yang diajak yang kedepannya sekarang banyak juga perkawinan silang dengan suku batak (bahkan ada yang menyebutkan orang Gayo dekat dengan Batak Karo), kemudian kerap kali melakukan perkawinan antar suku, ntah itu Aceh, Padang, dsb. Dalam tulisannya jelas bahwa suku Gayo bukan seorang dengan sukuismenya yang terlalu tinggi. Ini terbukti sampai sekarang bagaimana suku Gayo begitu dekat dengan transmigran Jawa, begitu juga halnya dengan Aceh, mohon maaf banyak keluarga saya yang menikahi suku Aceh atau dalam adatnya diangkap bahkan ada yang dibeli. Anda silahkan baca buku ini, sebagai rujukan bagaimana Gayo itu sesungguhnya lengkap dengan Kerajaan-kerajaan yang ada dan pecahannya, juga dengan Kerajaan Linge. Buku ini dapat dijadikan sebagai rujukan teman-teman orang Gayo yang ingin tahu adat istiadat orang Gayo.

Aceh Louser Antara (ALA) atau sebelum GALAKSI atau ntah apalagi sebelumnya. Yang perlu saya informasikan adalah gerakan ini sudah ada sejak zaman Bupati I Aceh Tengah, Mude Sedang, waktu itu jejaringnya sudah dibangun juga seperti yang terjadi sekarang. Ini juga diakibatkan pemikiran tetua kita dahulu bahwa memang sudah terjadi ketidakadilan dari Aceh kepada orang Gayo, dari sejarah maupun banyak factor lainnya. Yang menjadi permasalahan waktu itu adalah keinginan dari tetua kita untuk orang Aceh memberikan penghormatan orang Gayo, seperti pengakuan bahwa penduduk asli Aceh adalah Gayo, penghormatan kepada Pahlawan-pahlawan Gayo.

Kemudian rakyat Gayo dengan sikap terbukanya juga menjadikan rakyat Gayo sebagai salah satu suku yang beragam asalnya dan selalu mengutamakan budaya malu. Malu Berkhianat. Ketika Takengon dengan Rimba Rayanya menjadi corong pengakuan kemerdekaan di dunia internasional, ketika orang Gayo tahu sekali dengan NKRI makan tetap dengan NKRI, pantang jilat diludah. Tidak seperti halnya ‘maaf’ Hasan Tiro, yang katanya merupakan salah satu keturunan Pahlawan Nasional Teuku Cik Ditiro, Kakeknya menjadi pembela NKRI, cucunya menjadi pemberontak NKRI. Sebenarnya ini bagi orang Gayo adalah malu. Yang menarik dari suku ini adalah mereka itu dari pada meminta-minta, atau merampok, mereka lebih baik ke kebun kopi, makanya ketika ada yang mengatakan orang Gayo malas perlu dipertanyakan atas dasar apa ? Persamaan ini pulalah yang menyebabkan antara Gayo dan Jawa menjadi satu, suka berkebun dan bertani, tidak suka perang. Tapi jangan tanyakan keberanian orang Gayo untuk berperang dengan Kafir, bukan dengan seiman, mereka lebih berani dari semua orang Aceh, lihat saja Aman Dimot dan masih banyak lagi Muyang atau Datu kita yang dicincang oleh Belanda dan Jepang.

Ada 2 hal yang menarik yang dikatakan Win Wan Nur, yaitu ALA adalah solusi masalah mengakibatkan masalah dan meragukan para pejuang ALA.

Ketika Win Wan Nur mengatakan bahwa ALA adalah solusi yang mengakibatkan masalah menjadi masalah, maka sesungguhnya yang terjadi ialah ia telah membenarkan sekaligus mengancam rakyat Gayo bahwa jika ada ALA maka akan terjadi ketidakamanan. Kemudian pertanyaannya adalah siapa yang melakukan ketidakamanan ? Jawabannya pun mudah pastinya GAM. Jelas tidak mungkin rakyat Gayo akan menimbulkan ketidakamanan, jelas tidak mungkin juga orang Gayo akan mengusir orang Aceh yang banyak sudah menjadi saudar karena perkwinan seperti halnya dengan orang Jawa, Batak dan Padang, dsb. Kembali pertanyaannya, kenapa GAM yang tidak setuju ? Sudah jelas kiranya dari pernyataan Nazar yang mengatakan mundur jika ada pemekaran atau yang dikatakan Fauzan, Panglima Tinggi GAM di Gayo bahwa akan ada perang jika terjadi pemekaran. Yah, sebenarnya semua orang dapat melihatnya dengan kasat mata saja.

Ketika Win Wan Nur meragukan para pejuang ALA yang ke Jakarta dengan alasan menggunakan blankon, yang saya pertanyakan adalah sudahkah ia klarifikasi bahwa dari 470 an orang tersebut hanya ada 40 orang Kade dari Jawa, apakah semuanya dikatakan berblankon ? Kasihan. Yang terhormat Abang Win Wan Nur, tolong dicatat bahwa sebagian besar mereka adalah orang Gayo. Inikah yang abang ragukan perjuangannya ? Maaf kembali alasan ini terlalu dibuat-buat.

Berbicara scenario, scenario 1, scenario 2, kenapa tidak ada scenario 3 dan 4 atau 5 sekalipun. Seorang perencana yang matang harus mempunyai banyak scenario, akan tetapi dengan tujuan yang satu. Bukan banyak scenario dengan tujuan yang banyak pula, itu bukan scenario tapi sebuah kontra scenario.

Ucapan Ban Win Wan Nur ketika mengatakan “Kita harus tanyakan kepada masyarakat Gayo, apakah untuk memperjuangkan ALA mereka siap untuk tiap malam jaga malam lagi?...apakah mereka siap untuk membuat barikade di setiap jalan lagi?...apakah mereka siap untuk memberikan kendaraan mereka dipinjam tiap hari oleh anggota pasukan kapanpun mereka mau seperti dulu lagi?”. Seperti halnya menantang orang Gayo, tidak usah ditanyakan kepada mereka Bang, sekian puluh tahun mereka terkena konflik mereka tetap mendukung NKRI, sudah jelas kan kepada siapa orang Gayo itu berafiliasi, karena rakyat Gayo bukan pengkhianat NKRI, bukan yang suka menjilat lidahnya sendiri, bukan yang suka menipu-nipu, lebih baik ke kebun dari pada meminta pajak nanggroe. Statement Bang Win Wan Nur itu untuk TNI ? Kenapa juga tidak ditanyakan kepada rakyat Gayo siapkah anda kembali merakit senjata untuk melawan pemberontak ? Jangan pancing keberanian orang Gayo, jangan menganggap lemah orang Gayo Bang. Muyang Datu kita bukan orang lemah, semua orang Aceh takut dengan orang Gayo, tanyakan sejarah. Sedih saya ternyata semakin banyak yang menganggap remeh orangnya sendiri. Kalau seperti ini lebih baik kita berperang akan tetapi harga diri dan marwah orang Gayo terjaga. Maaf, saya tidak suka anda menganggap rendah orang Gayo.

Tujuan ALA hanya satu yaitu masyarakat ALA yang sejahtera, jelas. Skenarioanya banyak ya jelas harus memikirkan banyak perencanaan kedepannya. Saya sebenarnya sudah sering kali pentingnya ALA, bagaimana yang mempermudah penangkapannya. Salah satu contohnya adalah seringkali kita mengataknan rentang kendali yang terlalu jauh, sehingga tidak tertangani daerah Gayo oleh NAD, atau ALA adalah percepatan dalam pembangunan masyarakat ALA, SDA ALA untuk masyarakat ALA, SDM ALA akan dapat dilakukan percepatan dalam membangunnya. Oh ya, mudahnya begini sajalah, selain itu semua pemekaran itu dimaksudkan untuk menuju perdamaian dan keamanan yang abadi, pemekaran itu akan memecahkan kekuatan GAM untuk merdeka sehingga tidak ada lagi pemberontakkan di NKRI, pemekaran itu untuk mencegah terjadinya pemberontakkan kembali oleh sebagian rakyat Aceh karena tingkat kesejahteraan semakin tinggi, pemekaran itu akan lebih mengangkat harkat, martabat dan marwah orang Gayo (bayangkan dengan adanya ALA sejarah akan diluruskan, dengan adanya ALA adat isitiadat orang Gayo akan terangkat, dengan adanya ALA anak-anak tidak memikirkan perang dan dendam lagi, dengan adanya ALA keamanan bisa dijaga oleh orang ALA sendiri tidak oleh TNI atau GAM, dengan adanya ALA semua rakyat Gayo bisa berdiri di kakinya sendiri, dst.. dst… ). Menurut saya Bang Win Wan Nur, jika kita berpikir ke depan dan tidak ada maksud apapun, hanya untuk masyarakat Gayo maka kita semua harus mempertanyakan kecintaan orang Gayo yang menolak ALA.

Skenario Dialog, bukannya saya anti dialog, itu pula yang saya perntanyakan ketika Gorontalo ingin pisah dari Sulawesi Utara, ternyat memang ada perbedaan disitu, orang Gorontalo itu kebanyakan muslim, ada perbedaan budaya disitu. Atau ketika Maluku menjadi 2 dengan Maluku Utara, atau Irian dengan Irian Barat guna memberikan perhatian terhadap daerah yang sedemikian luas, dan yang membuat saya terkesima adalah pemekaran Banten dari Jawa Barat, yang lebih membuat saya heran lagi ternyata untuk pemekaran wilayah Banten tidak perlu ada persetujuan dari Gubernurnya. Yang berhasil maju sampai saat ini untuk daerah pemekaran adalah Banten dan Gorontalo, sangat maju. Yang menjadi aman karena pemekaran adalah Maluku Utara dan Irian Barat. Dialog juga dilakukan ketika Banten ingin keluar dari Jawa Barat, tapi tetap bisa dilakukan karena rakyat Banten bersatu padu mendukungnya. Apakah anda juga tahu sudah berapa banyak pemekaran yang dilakukan tingkat Kabupaten/Kota sudah amat banyak, jika ingin dilihat hasilnya mari kita tunggu.

Kembali ke Dialog, sudah sekian tahun Irwandy menjadi Gubernur tapi belum ada sebuah kebijakan yang amat mendasar untuk orang Gayo, belum ada. Sejarah orang Gayo masih dilupakan, asik saja Bapak Irwandy memberikan kesejahteraan untuk mantan anggota GAM melalui KPA-KPA nya atau mempersiapkan Partai Lokalnya. Belum lagi tahun 2009 dana BRR sudah habis, bagaimana ia harus menghadapi anggota GAM yang tidak terdidik dan tidak mempunyai keterampilan, bagaimana jika Partai Aceh gagal memenangkan Pemilu. Dialog seperti apa yang akan dilakukan ? Seharusnya Irwandy jika memang mencintai rakyat Aceh,maka ia akan menyetujui pemekaran ini untuk mencegah teradinya pemberontakkan kembali, karena internal GAM sendiri tidak mampu lagi menutupi perpecahan yang terjadi di kalangannya.

Sudah sekian lama rasanya berdialog, sehingga KP3ALA tidak mampu menyelesaikan tugasnya dengan cepat, karena dialog. Kemudian rakyat Gayo terus dalam ketidaktentraman, ketidakamanan, penekanan.

Terakhir, hai Pemuda dan Pemudi Gayo, enti kam bewen kam pegeson, erahen urang Gayo ni berani, si memude. Kite urang mude ara we si mu idealis, enti kite I kuduk dor, kite turah tar arap. Mera ke anak cucu kam sabe wan karu, ike kite nge gere cocok urum urang Acih enti mi ne I paksa, sara keduduken, bersaing. Gerara ne terror, bayak mi aten kam bewen mu kin urang mu.

Orang Gayo itu bukan rakyat pengecut yang mudah ditakut-takuti, hanya saja selama ini sedang terlena, berapa banyak korban yang jatuh karena PERANG BODOH ini, berapa banyak tekanan yang terjadi. Semua sudah cukup. ALA adalah solusi bagi orang Gayo yang memang cinta kepada Gayo, ALA adalah masa depan kita, mohon bisa lihat semuanya untuk masa yang akan datang, bukannya esok hari, tapi lihatlah 10 tahun yang akan datang.

Berijin.
Kosasih Bakar
Anggota Asosiasi Korban GAM

Ulasan Win Wan Nur (2):

Serinen Kosasih yang baik, sayapun senang sekali dengan keberadaan orang seperti anda di dalam jajaran pendukung ALA. Saya senang karena akhirnya ada juga pendukung ALA yang bisa diajak berpikir dengan kepala dingin. Selama ini di jajaran ALA saya hanya menemui orang-orang yang hanya memakai kacamata kuda. Sama sekali tidak peduli dengan cara pandang lain diluar apa yang mereka percayai. Orang yang mengatakan halal darahnya bagi orang Gayo yang menolak ALA.

Dari penuturan serinen saya seperti melihat diri saya sendiri dalam diri serinen. Ada ketulusan dan kecintaan yang begitu besar terhadap Gayo. Hanya cara pandang kita dalam melihat apa yang terbaik bagi Gayo sangat berbeda. Dari tulisan-tulisan saudara saya melihat perbedaan ini ada karena perbedaan dalam jumlah referensi yang kita punya ketika kita menilai.

Terima kasih juga serinen telah menjelaskan latar belakang serinen dan karena itu dengan sepenuh hati saya mohon ma'af karena pernah meragukan ke'Gayo'an Serinen Kosasih. Soal saya Gayo atau bukan, saya juga mengerti keraguan serinen karena dunia tempat kita saling mengenal ini adalah dunia Maya dimana orang bisa mengaku apa saja. Tapi perlu serinen ketahui kalau nama yang saya pakai di milis ini
adalah nama asli saya yang tentu saja sangat Gayo. Kalau serinen mau lebih yakin saya Gayo atau bukan, serinen boleh google nama saya . Atau kalau serinen yang bergabung di barisan pendukung ALA dan mungkin sering berinteraksi dengan tokoh ALA semacam Cik Sukur Kobat yang saya kenal cukup dekat, serinen bisa menanyakan pada beliau Win Wan Nur itu orang Gayo atau bukan. Mungkin juga serinen mengenal Zulfan Diara, sahabat saya yang juga sangat pro ALA, saudara juga boleh menanyakan soal saya Gayo atau bukan pada dia.

Soal keraguan saya atas status Ke'Gayo'an serinen. Agar selanjutnya tidak menjadi ganjalan, perlu serinen ketahui kalau keraguan saya itu muncul karena saya merasa sangat asing dengan beberapa cara pandang serinen yang sangat tidak Gayo. Salah satunya tentu cara pandang serinen dalam menafsirkan dan memahami teks Qur'an dan Hadits sehingga sampai pada kesimpulan bahwa Ulil Amri orang Gayo itu adalah Pemerintah RI yang berdomisili di pulau Jawa.

Saya yang lahir dan besar di Gayo dan memahami teks-teks Agama berdasarkan cara pandang tengku-tengku di Gayo yang merupakan penerus Tengku Silang atau Tengku Jali terus terang merasa sangat asing dengan cara serinen memaknai teks-teks agama itu. Teks agama meskipun sumbernya satu, tapi cara orang memaknainya sangat subjektif (kalau serinen mau berdiskusi khusus soal ini, kita bisa membuka thread lain. Kita bisa mendiskusikan bagaimana berbedanya cara orang Islam di Asia
tenggara dengan orang di Maroko dalam memahami teks agama yang sama). Cara pandang itu sangat bergantung pada kondisi geografi, sejarah, mentalitas dan budaya yang tumbuh di tempat-tempat tersebut, tergantung pada latar belakang dan mentalitas yang berkembang di tempat orang yang menafsirkan teks-teks itu.

Dalam banyak literatur antropologi yang bisa kita lihat. Mulai dari penelitian Hurgronje sampai Bowen. Gayo selalu digambarkan sebagai masyarakat dengan karakter REPUBLIK yang merupakan lawan kata FEODAL. Artinya orang Gayo tidak mengenal yang namanya TUNDUK TOTAL terhadap manusia lain, dalam hal ini kita sangat mirip dengan Aceh. Karakter Gayo yang seperti ini terlihat dalam semua aspek kehidupan orang Gayo termasuk terlihat dalam karakter ulama-ulama yang tumbuh di Gayo yang tercermin dalam setiap penafsiran mereka terhadap teks-teks agama. Baik Tengku Jali atau Tengku Silang dan juga penerus-penerus mereka juga tentu saja tumbuh dalam mentalitas seperti ini, sehingga
penafsiran bahwa Ulil Amri orang Gayo itu adalah Pemerintah RI yang berdomisili di Pulau Jawa seperti penafsiran serinen yang menunjukkan ketertundukan total itu tidak akan pernah bisa kita temui dalam
penafsiran seoarang Ulama Gayo. Karena itulah saya yang lahir dan tumbuh besar di Gayo dan tumbuh dalam mentalitas seperti ini pula merasa asing dengan tafsiran serinen yang sama sekali tidak mencerminkan mentalitas GAYO dan kemudian meragukan kegayoan serinen.

Tapi keraguan saya ini telah terjawab di balasan serinen kali ini yang menjelaskan latar belakang serinen yang ternyata memang sangat bertolak belakang dengan saya. Jika serinen lahir, besar, menikah dan
bekerja bukan di Aceh, akan tetapi kedua orang tua berasal dari Gayo. Saya sebaliknya saya lahir dan besar di Gayo serta kuliah di Banda Aceh. Persamaan kita ada pada kedua orang tua yang berasal dari Gayo sehingga secara genetik kita berdua adalah GAYO. Kakek saya dari pihak Ayah berasal dari Isak dan nenek dari Bale. Ayah saya dan adik-adiknya tumbuh dalam nilai-nilai yang dianut oleh nenek saya yang berasal dari Bale itu. Sehingga Ayah saya dan keluarga besar saya dari pihak Ayah semuanya bermental UKEN. Preferensi agama mengikuti cara pandang Tengku Jali. Ibu saya berasal dari Temung Penanti yang merupakan wilayah Ciq, baik kakek maupun nenek saya dari pihak ibu saya keduanya orang Ciq sehingga nilai-nilai yang mereka anut dan mentalitas dalam keluarga ibu saya sangat TOA. Preferensi agama mengikuti cara pandang Tengku Silang. Saya yang sejak kecil terbiasa menginap di tempat kakek
dari pihak ayah atau kakek dari pihak ibu tumbuh dalam kedua nilai itu.

Di Gayo saya pernah tinggal di Isak, Fajar Harapan ( tidak jauh dari bandar lampahan) dan tentu saja Takengen. Jadi saya yang secara genetik adalah Gayo tumbuh besar dalam nilai-nilai Gayo dan ketika
dewasa mentalitas yang membentuk saya adalah mentalitas GAYO. Jika anda tidak pernah didoktrin untuk membenci siapapun. Sayapun begitu, tapi sebagaimana orang Gayo umumnya, meskipun tidak di doktrin saya tumbuh dalam sentimen negatif terhadap orang Aceh.

Waktu saya masih SD di SD Negeri Karang Jadi di Fajar Harapan, sekitar 3/4 isi kelas saya adalah orang Gayo, sisanya Jawa (inilah sebabnya kenapa sampai hari ini saya sangat fasih berbahasa Jawa) sama sekali tidak ada orang Aceh. Suatu hari kami SD kami yang kekurangan guru kedatangan guru baru dari pesisir. Guru kami yang bernama Ibu Meram ini juga membawa serta seroang keponakannya yang sekelas dengan saya. Keponakan Ibu Meram ini bahasa Indonesianya sangat belepotan dengan
aksen Aceh. Aksennya itu tentu mengundang tertawaan kami semua, dia selalu kami olok-olok dengan olok-olok khas Gayo terhadap orang Aceh. Sehingga keponakan guru kami ini selalu menangis setiap pergi sekolah, sampai Ibu Meram pernah masuk ke kelas kami dan dalam emosinya mengatakan "Kalau kalian mentertawakan orang Aceh seperti ini, minta sana sama kepala sekolah cari Guru yang cuma orang Gayo".

Untuk memahami kenapa rasa sentimen negatif ini muncul perlu kita lihat relasi sosial keseharian antara Gayo dan Aceh. Di Gayo orang Aceh umumnya bekerja sebagai pedagang, relasi yang terjadi antara
orang Gayo dengan orang Aceh umumnya adalah relasi antara pedagang dan pembeli. Relasi yang tidak terlalu akrab, ada jarak di sana karena perbedaan kepentingan, Aceh yang penjual menginginkan harga yang tinggi sementara Gayo yang pembeli menginginkan harga yang rendah. Perbedaan profesi dan kepentingan inilah yang membuat Gayo dan Aceh jarang melebur di dalam pergaulan sosial di desa-desa di Gayo.

Alasan itu pulalah yang menyebabkan meskipun secara mentalitas kita sama dengan Aceh tapi dalam keseharian kita di Gayo lebih akrab dengan orang Jawa. Itu karena orang Jawa di Gayo sama seperti kita, bekerja sebagai petani. Sentimen negatif terhadap suku Aceh di Gayo juga tidak bisa kita lepaskan dari relasi ini. Ketika berhadapan dengan Aceh, Gayo dan Jawa mempunyai kepentingan yang sama, sama-sama menginginkan harga murah. Di Gayo, sebenarnya sentimen seperti ini juga tumbuh terhadap orang Padang dan Cina yang dalam relasi sosial dengan orang Gayo dan Jawa polanya juga sama seperti terhadap Aceh. Orang Aceh ketiban sial karena dengan orang Aceh relasi ini juga dibumbui dengan
persaingan politik. Karena secara struktural Aceh Tengah berada dalam wilayah provinsi Aceh, bukan Sumatera Barat atau Cina.

Serinen, soal penghilangan sejarah orang Gayo. Seperti juga serinenku sayapun sangat prihatin pada penghilangan sejarah orang Gayo itu. Tapi adalah sangat tidak beralasan jika serinen menyalahkan orang Aceh atas penghilangan sejarah itu. Orang Aceh mungkin juga sedikit ikut memiliki andil atas hilangnya sejarah itu, tapi tanggung jawab terbesar ada pada kita sendiri orang Gayo. Karena memang yang paling
bertanggung jawab atas hilangnya sejarah itu adalah kita sendiri orang Gayo. Dan sekarang kita Orang Gayo pula yang harus bertanggung jawab mengembalikan sejarah yang benar suku kita ini.

Mungkin sulit bagi serinen Kosasih yang sangat cinta Gayo tapi tidak pernah tinggal di Gayo dalam memahami apa yang saya katakan ini, karena serinen tidak tumbuh dalam dinamika dan semangat yang
berkembang di Gayo. Tapi fakta yang terjadi di Gayo tanah asal serinen adalah seperti yang saya ceritakan di bawah ini.

Pada masa Belanda, kita orang Gayo dipecah belah. Belanda menempatkan reje-reje feodal untuk menjadi penguasa di Gayo dan memberi hak bagi mereka untuk menarik pajak dari awan-anan kita sekaligus juga menindas awan-anan kita. Oleh Belanda, reje-reje itu diberi kuasa atas dasar edet dan kebiasaan zaman dulu yang berlaku di tanoh Gayo. Akibatnya pada awal kemerdekaan, ketika Belanda tidak lagi ada di Takengen. Awan-anan kita ramai-ramai menggembosi kekuasaan para reje feodal itu.
Ironisnya dalam penggembosan itu, awan-anan kita ikut menolak semua penerapan edet Gayo dalam kehidupan sehari-hari, karena saat itu edet diidentikkan dengan kekuasan FEODAL dan bertentangan dengan semangat nasionalisme yang berkembang saat itu. Pada masa itu orang yang tidak setuju dengan edet disebut Modern.

Cara pandang ini terus berkembang sampai hari ini, saat saya masih bersekolah di Takengen. Saya bisa merasakan sendiri semangat itu, bagaimana teman-teman saya yang merasa modern ketika dalam keluarga berbicara dalam bahasa melayu (dalam skala Nasional sindrom ini kira-kira seperti sinrom Cinta Laura yang berkembang belakangan ini) . Orang seperti saya yang di rumah berbahasa Gayo oleh lingkungan saya dianggap kampungan. 'Pun', 'ngah' atau 'Kil' saya, merasa malu dengan panggilan yang sangat GAYOWI itu, mereka lebih suka bahkan memaksa untuk dipanggil Cik dan Bibik yang terdengar lebih Melayu.

Pada masa awal kemerdekaan itu pula nama-nama tempat di Gayo banyak yang dimelayukan, Contohnya ya Takengen menjadi Takengon, Bebesen pernah menjadi Bobasan meskipun tidak berlanjut, Kebet menjadi KOBAT. Sisa-sisa semangat 'modernisasi' Gayo zaman itu masih bisa kita lihat pada nama Cik Sukur KOBAT.

Begitulah semangat 'modernisasi' yang berkembang di tanah warisan muyang datu kita pasca kemerdekaan serinenku Kosasih. Dengan semangat yang sangat anti GAYO seperti itu menjadi semangat dominan, ketika orang Gayo lebih bangga berbahasa melayu ketimbang bahasa Gayo, orang Gayo merasa lebih bangga mengenal sejarah buatan Soekarno daripada sejarah asli muyang datu kita. Bagaimana kita bisa menyalahkan orang lain atas hilangnya sejarah asli kita?....Bukankah naif dan memalukan sekali kalau sekarang kita malah menuntut Orang Aceh yang tidak tahu apa-apa untuk mengembalikan sejarah kita yang benar yang telah lalai kita jaga itu?. Tuntutan salah alamat kita ini terdengar lebih aneh lagi kalau kita melihat fakta bahwa yang menulis sejarah resmi di Indonesia inipun bukanlah orang Aceh melainkan para cendekiawan yang tinggal di pulau tempat serinen Kosasih lahir. Jadi kalaupun serinen tidak mau mengakui kalau hilangnya sejarah itu adalah karena kesalahan orang Gayo sendiri dan harus menyalahkan orang lain atas hilangnya sejarah kita. Maka Orang lain yang lebih pantas serinen tuntut atas hilangnya sejarah Gayo itu adalah pemerintah Republik Indonesia para cendekiawan yang tinggal di pulau tempat serinen Kosasih berdomisili sekarang.

Kalau serinenku Kosasih merasa sangat tahu seperti apa pahit getirnya konflik di Gayo. Serinen, percayalah bahwa kami yang tinggal di dalam konflik seperti yang serinen gambarkan itu jauh lebih mengerti pahit getir dan perihnya konflik itu ketimbang serinen yang hanya membaca dari berita. Jika serinen membaca berita tentang konflik itu di tanah Jawa yang permai. Saya mengalami sendiri bagaimana was-was dan gugupnya saat pulang ke Takengen harus menghadapi puluhan pos pemeriksaan di sepanjang jalan. Kadang bis diberhentikan TNI, kadang oleh GAM, jika pada saat pemerikasaan itu kita sedikit saja salah bersikap apalagi salah menjawab pertanyaan yang tidak sesuai dengan maunya si pemeriksa. Anggota GAM atau Anggota TNI yang dalam kondisi lelah dan fasiltas minim tapi tetap diwajibkan oleh atasan mereka melakukan pemeriksaan itu tidak jarang kehilanga kontrol dan langsung menghajar wajah kita dengan popor senjata. Apalagi kalau habis terjadi kontak senjata, tanpa tanya lagi jika kita melewati pos TNI tanpa tanya KTP atau apa langsung semua laki-laki di dalam bis disuruh turun dipukuli dan diinjak-injak. Dalam suasana seperti itu, salah seorang kerabat saya dalam perjalanan pulang dari Banda Aceh ke Takengen dibunuh oleh GAM di sebuah daerah di Pidie hanya karena Cik saya ini berambut cepak seperti tentara dan karena dia orang Gayo tidak bisa berbahasa Aceh. Sepupu saya yang lain dimasukkan ke penjara dan dipukuli sampai babak belur hanya karena saat TNI melakukan operasi mencari GAM dia sedang berada di luar rumah, menanam tomat di dekat dengan desa yang dicap sebagai basis GAM. Seorang teman saya yang stress karena diputus pacarnya nekat jalan malam-malam, suatu pagi kami temukan mayatnya dengan bekas peluru di kepala.

Jadi serinen, saya bukan hanya tahu tapi MENGALAMI DAN MERASAKAN SENDIRI apa yang serinen katakan. Saya selalu selamat dalam setiap pemeriksaan baik oleh GAM maupun TNI karena keuntungan yang saya punya. Saya fasih berbahasa Jawa dan sangat mengenal banyak daerah terpencil di pulau Jawa yang kadang merupakan daerah asal anggota TNI atau Brimob yang memeriksa saya. Kemudian saya juga fasih berbahasa Aceh dan juga mengenal banyak sekali desa-desa di pedalaman Aceh
sehingga saya tidak pernah punya masalah saat diperiksa oleh GAM. Tapi yang punya keberuntungan seperti saya tidak banyak.

Jika anda mengetahui berbagai berita tentang Aceh dari kata orang dan membaca serta menonton dari berbagai media. Kalau saya tidak hanya membaca atau menonton, tapi sejak tahun 2000 saya bekerja di berbagai media, mulai dari New Yorker, Berliner Zeitung sampai Reuters. Pada masa itu saya banyak menjelajah dan melakukan wawancara ke berbagai pelosok daerah konflik. Melalui wawancara itu, saya dapat merasakan sendiri betapa tertekannya perasaan seorang Brimob muda yang baru saja
lulus SMA tiba-tiba harus berada di medan perang yang sama sekali tidak dia kenal. Saya bisa merasakan sendiri bagaimana perasaan seorang tentara dengan uang saku 7000 rupiah sehari harus berjaga siang malam di pojok hutan terpencil, dengan siaga penuh setiap hari dengan resiko kemungkinan mati terjadi setiap saat. Saat bekerja di media ini pula saya banyak mengetahui adanya wartawan bodrex, adanya wartawan embeded adanya wartawan yang dibayar untuk membuat berita
sesuai pesan sponsor.

Kalau serinen menanyakan pernahkan anda semua bayangkan bagaimana petani Gayo kesulitan untuk memasarkan hasil kopinya ?...pada masa itu saya justru sedang memulai bisnis kopi saya. Setiap hari saya dilanda kecemasan apakah kopi milik saya selamat sampai ke Medan, apakah nanti di jalan tidak dibakar orang.

Pada masa itu pula saya berkesempatan melakukan wawancara dengan beberapa panglima GAM beserta pasukannya, diantaranya Tengku Hamzah, pimpinan pasukan Gajah Keng, GAM Aceh Besar ditengah belantara Aceh Besar yang katanya tidak jauh dari markas mereka. Juga Tengku Darwis
Jeunib di sebuah kawasan hutan di Plimbang. Saat melakukan wawancara itu saya tidak hanya berbicara pada pimpinan mereka tapi juga kepada anggota pasukan yang ada di sana. Saya bertanya motivasi apa yang membuat mereka bergabung dengan GAM. Dari pembicaraan itu saya dapat menangkap adanya dendam yang sudah kait-mengkait dalam urusan konflik yang berkepanjangan ini. Ada banyak alasan yang membuat mereka bergabung dengan GAM, ada yang mengatakan bapaknya yang tanpa salah
apapun pulang dari sawah ditembak TNI hanya karena sebelumnya ada anggota TNI yang tertembak dalam kontak senjata, ada yang mengatakan orang tuanya disembelih di depan mata mereka.

Lalu di beberapa daerah yang berdekatan dengan pemukiman suku Jawa, mereka mengatakan banyak suku Jawa yang dipakai oleh TNI sebagai TPO atau tenaga pembantu operasi, orang ini telah menyebabkan orang tuanya meninggal sehingga dia dendam pada orang jawa. Sementara ketika saya
mewawancarai orang jawa sendiri mereka mengaku posisi mereka terjepit, mereka dipaksa membantu TNI dan tidak bisa menolak, ketika mereka membantu mereka dimusuhi GAM. Saya juga pernah bertemu dengan seorang tentara di Simeulue yang mengaku masuk tentara karena dendam akibat
bapaknya dibunuh GAM di depan matanya.

Saya juga pernah mewawancarai berbagai elemen di Aceh mengenai konflik ini, ada Pak Nurdin orang RATA , korban penyiksaan yang mendirikan lembaga yang menampung korban penyiksaan selama konflik baik penyiksaan yang dilakukan oleh TNI maupun GAM. Saya juga sempat mewawancarai Abu Yus ketua DPRD saat itu. Ke kantor Polda mewawancarai komandan operasinya sampai ke ketua Henry Dunant Center yang saat itu menjadi lembaga mediasi serta banyak tokoh lagi.

Jadi serinen, saya sangat memahami betapa rumitnya sudah permasalahan yang disebabkan oleh konflik ini. Situasi dendam yang terjadi ini sudah kait-mengkait dan rumit sekali serinenku. Tapi kalau kita
menelusuri lebih jauh asal mula dendam yang saling kait-mengkait itu sampai ke sumber asalnya, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa tanggung jawab terbesar terhadap kusut masainya permasalahan dendam yang saling kait-mengkait tak berkesudahan ini ada pada pengelola negara ini yang tidak mampu melakukan dialog dan lebih memilih untuk menanggulangi masalah dengan senjata. Ketika dialog terjadi dan telah disepakatipun dalam sejarah bisa kita lihat pengelola negara ini
sering tidak jujur dan mengkhianati janji yang telah mereka buat sendiri. Ingat status Daerah Istimewa Aceh yang hanya istimewa di kertas. Contoh lain, ketika dalam kampanye, Megawati menyebut diri Cut
Nyak dan berjanji tidak akan ada lagi darah yang tumpah di Aceh kalau dia jadi Presiden. Tapi kenyataanya apa?.. ketika dia menjabat presiden, malah si 'cut nyak' ini menerapkan kebijakan garis keras yang menyebabkan terjadinya PERANG yang serinen sebut BODOH dan telah mengakibatkan hal-hal yang serinen sebutkan.

DENDAM inilah yang sekarang harus kita putus serinen. Cara memutus dendam ini adalah dengan mulai membangun saling pengertian antara kita orang Gayo dengan seluruh komponen yang ada di Aceh ini.

Tentang Jawa, saya lumayan banyak tahu sejarah, peradaban dan budaya mereka yang sangat tinggi. Tapi saya juga tahu persis ada banyak kebiasaan dan budaya khas mereka yang sangat tidak cocok diterapkan di tempat kita karena sangat bertentangan. Kalau ingin mendiskusikan ini mari kita buka juga Thread lain.

Saya sama sekali tidak menolak apa yang dikatakan Snouck Hurgronje tentang suku Gayo seperti yang serinen katakan. Penyebab adanya kedekatan dengan suku Jawa juga sudah saya ulas alasannya. Saya juga setuju dengan serinen yang mengatakan Buku ini dapat dijadikan sebagai rujukan teman-teman orang Gayo yang ingin tahu adat istiadat orang Gayo.

Tapi sebelum mempercayai mentah-mentah apa yang dikatakan Hurgronje, perlu juga diingat kalau faktanya adalah Hurgronje sama sekali tidak pernah menginjakkan kakinya di bumi Gayo. Semua informasi yang dia tulis dalam penelitiannya adalah berdasarkan dari Informasi yang dia
dapat dari Nyaq Putih, pemuda Gayo yang berasal dari kampung saya di Isak yang dia temui di pantai barat Aceh saat Nyaq Putih sedang memperdalam agama islam pada seorang ulama di sana. Informan kedua Hurgronje berkaitan dengan Gayo bernama Aman ratus dari Gayo Lues.

Untuk melakukan studi tentang Gayo, Hurgronje membuat Kuisioner yang diberikan kepada staf-staf Belanda yang ditempatkan di berbagai daerah, dia mengumpulkan informasi topografi dari ekspedisi militer yang ditemani oleh Nyaq Putih untuk mewawacarai lusinan orang Gayo. Nah dari informasi inilah Hurgronje berkesimpulan bahwa orang Gayo itu sebagai "True Republicans" . Alias orang Republik Sejati dalam pengertian, orang Gayo bisa dikatakan secara pribadi tidak tunduk pada hirarki politik lokal. Menurut Hurgronje orang Gayo di suatu daerah sama sekali tidak takut berbicara tentang hal-hal yang bertentangan dengan pendapat Reje setempat. Artinya orang Gayo tidak memiliki sifat ketertundukan mutlak seperti halnya Abdi dalem di Kesultanan Yogyakarta. Ringkasnya Hurgronje mengatakan GAYO jauh dari sikap FEODAL. Inilah yang sangat kontras membedakan kita dengan JAWA. Peryataan Hurgronje ini bisa serinen baca di kompilasi tulisan Hurgronje yang dia beri judul Gayoland and Its Inhabitants atau dalam bahasa aslinya Het Gajoland en Zijne Bewoners (1903:xv-xvi)

Serinen, saya tinggal di Banda Aceh dan sangat sering pulang ke Gayo pada masa berkembangnya Ide GALAKSI dulu. Argumen yang diajukan saat itu adalah tidak meratanya pembangunan dan Gayo merasa didiskriminasi padahal argumen Galaksi itu sangat lemah karena faktanya saat itu semua daerah di Aceh mengalami hal seperti yang kita alami.

Pada masa itu saya yang bergabung dengan UKM PA Leuser Unsyiah sangat sering mengadakan berbagai ekspedisi ke pelosok-pelosok Aceh. Saya menyaksikan sendiri bagaimana kalau apa yang dikatakan diskriminasi pembangunan terhadap Gayo itu ternyata terjadi di semua pelosok Aceh. Di berbagai daerah di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur, saya menemui banyak sekali perkampungan yang sangat menyedihkan. Saya sering bertemu dengan orang yang tinggal di gubuk berdinding dan beratap
rumbia yang terpaksa sehari-hari makan sagu karena tidak mampu membeli beras. Hal seperti ini sama sekali tidak pernah saya temukan di Gayo yang juga berbagai pelosoknya telah saya jelajahi. Mulai dari
pelosok-pelosok daerah Lane, Waq, Penarun samapi ke perkebunan kopi di Belantara Berawang Dewal sana. Satu yang sama temukan secara umum kehidupan masyarakat kita yang paling parah sekalipun, dalam banyak hal masih jauh lebih baik dari peghidupan banyak saudara-saudara kita di pelosok Aceh.

Soal pengakuan penduduk asli Aceh adalah Gayo, saya pikir tidak ada (setidaknya pemerintah) yang tidak mengakui ini. Beberapa kali dalam wawancara yang saya baca Irwandi mengatakan penduduk asli Aceh adalah Gayo bahkan saya baca di detik.com Irwandi di juga mengatakan hal itu ketika bertemu delegasi suku Ache di Paraguay.

Soal sejarah dan penghormatan pada para Pahlawan, terus terang saya malu ketika serinen menyalahkan orang Aceh sebagai penyebab pahlawan Gayo tidak dihormati. Karena dari yang saya lihat justru kita sendiri yang perlu merenung apakah kita sudah menghormati pahlawan-pahlawan Gayo.

Serinen, setelah saya bersekolah di SD Karang Jadi sampai kelas III, kelas IV saya pindah ke Takengen dan saya bersekolah di SD Negeri No.1 Takengon (saya tulis Takengon karena resminya nama sekolah saya memang seperti itu). Tahun 1985, saat saya kelas V, kuburan Belanda yang terletak di samping bangunan sekolah saya yang merupakan monumen dan saksi bisu yang menunjukkan kepahlawanan muyang datu kita dalam berperang dibongkar. Saya sendiri bersama teman-teman saya yang menyaksikan pembongkaran itu. Lalu di atas tanah bekas kuburan belanda itu dibangun gedung perluasan sekolah kami. Saat ini gedung itu menjadi SD Negeri No. 8 Takengon. Sama sekali tidak ada lagi kuburan Belanda. Saat ini saat saya kembali ke Tekengen dengan anak saya. Kepada anak saya, saya tidak bisa lagi menunjukkan bukti kalau dulu muyang datu kita adalah para pahlawan yang begitu gagah perkasa melawan Belanda. Karena bukti keperkasaan muyang datu kita itu sekarang telah berbentuk gedung sekoalah biasa yang sama sekali tidak lagi menunjukkan bekas bahwa di sana dulunya terkubur Belanda-belanda korban kegagahan perjuangan muyang datu kita.

Yang menarik dari pembongkaran itu adalah. Saat itu sama sekali tidak ada protes dari cendekiawan Gayo, tidak ada demo dan tidak ada penentangan yang berarti yang membuat keputusan untuk membongkar kuburan Belanda itu dibatalkan. Takengen selama proses pembongkaran itu sangat tenang, tidak ada yang peduli pada penghapusan bukti sejarah yang sedang berlangsung itu. Saya yang masih kelas V SD pun saat itu tidak protes, saya malah bergabung dengan teman-teman saya yang menonton dengan penuh rasa ingin tahu, melihat ada kerangka yang dimakamkan dalam posisi jongkok, ada kuburan anak-anak yang seluruh bagian tubuhnya sudah jadi tanah tapi sandal karet milik jasad itu masih awet dan dibawa pulang oleh si penggali kubur untuk dipakai anaknya.

Jadi berdasarkan fakta ini, saya tanyakan kepada serinen, dengan perilaku seperti ini bagaimana kita bisa dengan tanpa rasa malu mengatakan bahwa orang Aceh lah yang menyebabkan pahlawan-pahlawan
kita tidak dihormati?

Sejarah kepahlawanan juga demikian, gugatan serinen adalah gugatan salah alamat. Bukan orang Aceh yang harus serinen gugat soal tidak terdengarnya sejarah kepahlawanan Gayo. Tapi tanyakan sudah sejauh mana usaha kita orang Gayo untuk membuat sejarah para Pahlawan kita itu terdengar. Kalaupun serinen mau menggugat pihak lain, seharusnya yang serinen gugat adalah pemerintah RI, karena Pemerintah RI lah yang punya otoritas penuh untuk menulis sejarah resmi dan menetukan
Pahlawan Nasional. Bukan orang Aceh. Pemerintah RI pula yang seharusnya serinen gugat soal pemahaman sejarah yang tidak benar seperti yang serinen alami. Misalnya seperti kesalahan pemahaman serinen yang mengatakan bahwa Tengku Chik Di Tiro adalah pahlawan
pembela NKRI. Faktanya seumur hidupnya Tengku Chik Di Tiro tidak pernah bersentuhan dengan ide NKRI, negara yang kita tinggali ini yang baru berdiri beberapa puluh tahun setelah kematian beliau.

Serinen, kalau serinen katakan saya meragukan para pegiat ALA saya akui itu benar. Kenapa saya ragu?...sudah saya jelaskan di atas. Karena maaf serinen, para pegiat ALA sejauh ini saya lihat tidak lebih
seperti sekumpulan anak manja yang cengeng, yang tidak pernah merasa salah. Mau mendirikan provinsi seolah seperti mau mengajak orang main patok lele, tanpa perlu memiliki argumen kuat. Dalam argumennya sejauh ini yang saya lihat para pegiat ALA hanya bisa mengajukan alasan yang kekanak-kanakan dan selalu menyalahkan orang lain atas akibat dari kesalahan yang mereka buat sendiri. Saya ragu karena sejauh ini saya lihat semua argumen-argumen pegiat ALA hanyalah argumen-argumen
emosional yang sangat dangkal dalam pemetaan masalah. Masalah yang mereka katakan masalah sangat berat itu sebenarnya hanyalah masalah-masalah yang sangat bisa kita selesaikan dengan dialog.

Kalau saya dikatakan mengancam apa yang saya ancam?...Saya hanya menggambarkan fakta yang ada saat ini. Kalau saya katakan perdamaian ini masih sangat rapuh itulah kenyataannya. Kalau saya katakan
seandainya ALA berdiri dalam kondisi keamanan yang seperti ini maka konflik akan kembali pecah, itulah kenyataannya. Kenyataan inilah yang harus disadari oleh Masyarakat. Tidak boleh disembunyikan.

Kalau menurut serinen itu ancaman, tolong berikan argumen berdasarkan data-data yang ada yang bisa meyakinkan kami orang Gayo bahwa kejadian seperti yang saya gambarkan pasti tidak akan terjadi. Tolong serinen tunjukkan argumen yang bisa membuktika bahwa ALA sama sekali tidak akan mengundang reaksi negatif dari pihak-pihak yang sebelumnya bertikai. Sehingga bisa kembali memicu perang.

Soal Kades yang ke Jakarta itu saya merasa tidak perlu mengklarifikas berapa Jawa dan berapa Gayonya, karena seperti serinen sayapun tahu pasti yang dominan dalam rombongan itu adalah orang Gayo. Tapi kenapa Blangkon yang saya tekankan adalah karena memang Blangkon itulah yang di blow oleh sejumlah media untuk mempengaruhi opini massa bahwa di tanoh Gayo itu ada sekelompok keturuan Jawa yang harus dilindungi. Karena itu harus dibuatkan provinsi baru. Jadi yang terbaca oleh saya dalam perjuangan ALA ini jadi JEWE TER ARAP.

Saya tahu ini mungkin bagian dari strategi politik pejuang ALA untuk menarik simpati anggota DPP RI yang sebagian besar adalah orang Jawa, dan menurut etika politik pegiat ALA hal seperti itu sepertinya
sah-sah saja. Tapi perlu serinen ketahui kalau strategi semacam ini sangat melukai perasaan orang Gayo yang merasa tanoh Gayo adalah warisan nenek moyangnya, bagi mereka adalah penghinaan besar ketika dalam memutuskan masa depan daerah kita sendiri justru Jawa yang dikedepankan.

Soal skenario, untuk menentukan langkah ke depan tentu saja harus ada banyak skenario dan kemungkinan, apalagi langkah yang mau diambil ini adalah hal yang sangat krusial seperti yang serinen lakukan. Yang saya pahami mendirikan provinsi baru itu bukanlah seperti main patok lele yang jika kita salah memetakan keadaan resikonya hanya gantian jaga. Yang saya pahami, sebelum memutuskan mendirikan sebuah provinsi baru ada banyak dimensi yang perlu dipertimbangkan, diperlukan banyak
kajian, baik ekonomis maupun sosiologis. Ingat ujar-ujaran tetua kita ' Maju sara langkah surut sara jengkal', artinya setiap langkah maju kita itu harus benar-benar diperhitungkan dengan matang.

Skenario yang saya katakan di e-mail sebelumnya itu adalah scenario yang 99,99% pasti terjadi seandainya ALA jadi terbentuk. Kenapa begitu?...karena perdamaian yang kita nikmati belum lama ini masih sangat rapuh. Masih banyak luka yang belum sembuh. Karena itulah ketika anda dan para pejuang ALA dalam melakukan sosialisasi sama sekali mengesampingkan kemungkinan ini dan malah seperti sengaja menyembunyikan kemungkinan yang 99,99% pasti terjadi ini dari audiens anda. Jelas hal itu membuat saya menjadi sangat ragu dengan kematangan rencana dan tujuan utama dari pendirian provinsi baru ini.

Skenario lain adalah terjadinya kecemburuan antar daerah yang selama inipun sebenarnya dalam sejarahnya selalu terjadi konflik kepentingan. Gayo dengan Alas misalnya. Dulu Gayo Lues pisah dari Aceh Tenggara, meskipun dalam alasan pendiriannya tidak disebutkan tapi secara de fakto. Gayo lues dibentuk adalah karena kekecewaan orang Gayo lues karena yang menjadi Bupati Aceh Tenggara selalu orang Alas. Saya sama sekali tidak melihat ada strategi matang dari para Pejuang ALA untuk
mengantisipasi kemungkinan kembalinya terjadi konflik Alas-Gayo ini seandainya Provinsi ALA nanti terbentuk. Belum lagi kita bicara Singkil yang sepanjang sejarahnya tidak pernah memiliki hubungan
emosional apapun dengan Gayo.

Soal ucapan saya "Kita harus tanyakan kepada masyarakat Gayo, apakah untuk memperjuangkan ALA mereka siap untuk tiap malam jaga malam lagi?...apakah mereka siap untuk membuat barikade di setiap jalan lagi?...apakah mereka siap untuk memberikan kendaraan mereka dipinjam tiap hari oleh anggota pasukan kapanpun mereka mau seperti dulu lagi?". yang serinen permasalahkan itu, itu bukan hanya untuk TNI. Tapi itu adalah gambaran seperti apa keadaan dalam konflik, seperti yang serinen baca di 'media' dan serinen dengar 'dari orang' itu tapi saya alami sendiri di Tanoh Gayo. Kalau serinen mau menambahkan pertanyaan itu dengan "Kenapa juga tidak ditanyakan kepada rakyat Gayo siapkah anda kembali merakit senjata untuk melawan pemberontak ?", silahkan juga ditambahkan pertanyaan itu.

Saya merasa perlu menanyakan itu juga sama sekali bukan untuk memancing keberanian orang Gayo apalagi menganggap lemah orang Gayo. Tujuan saya mengajukan pertanyaan itu adalah untuk mengetahui apakah orang Gayo siap kembali berada dalam situasi perang yang serinen katakan BODOH itu hanya untuk memperjuangkan hal yang sebenarnya sangat bisa kita dialogkan. Apakah orang Gayo merasa layak dibawa kembali ke dalam suasana mencekam seperti itu hanya demi memperjuangkan PEPESAN KOSONG bernama ALA?.

Kenapa ALA saya sebut pepesan kosong?...karena ALA sama sekali tidak menawarkan konsep apapun yang berbeda dengan apa yang sudah ada sekarang. ALA sama sekali tidak pernah membicarakan CARA memajukan orang Gayo kalau ALA sudah berdiri. Yang ditawarkan ALA sampai saat ini hanya KEYAKINAN yang berdasarkan pada fantasi kekanak-kanakan para pegiatnya bahwa Gayo tertinggal karena Aceh tidak suka Gayo maju.

Yang saya tahu otonomi daerah sekarang berpusat di kabupaten. Pengelolaan yang benar di tingkat Kabupaten semacam Jembrana atau Sragen di Solo sangat efektif untuk membuat satu daerah maju.
Sementara saya tidak melihat kalau Pemda Aceh Tengah dan Bener Meriah serta Gayo Lues sudah demikian baik dan sempurnanya mengelola daerah kita. Sebagaimana Gede Winasa mengelola Jembrana.

Saya sama sekali tidak melihat Pemda Aceh Tengah mampu membuat Aceh Tengah seperti Jembrana. Saya sama sekali tidak melihat Pemda Aceh Tengah mampu membuat Aceh Tengah bebas korupsi dan perkoncoan. Keberpihakan pada kelompok tertentu masih jelas terlihat dalam setiap kebijakan pemerintah baik di Aceh Tengah maupun Bener Meriah.

Melihat bukti empiris seperti itu bagaimana saya bisa percaya kalau ALA berdiri nantinya tidak ada diskriminasi antar kelompok. Bagaimana saya bisa percaya kalau ALA berdiri nantinya seluruh orang Gayo dan orang Jawa di daerah kita diperlakukan dengan setara. Bagaimana saya bisa percaya kalau ALA berdiri nantinya, tidak ada lagi kolusi antara pejabat dan pengusaha untuk menebangi hutan demi kepentingan pribadi.

Tapi yang digambarkan oleh para pegiat ALA adalah seolah semua yang dilakukan pemerintah di Tanoh Gayo sudah sedemikian sempurnanya Sau-satunya alasan kenapa orang Gayo tetap terpuruk adalah karena Aceh selalu menghalang-halangi niat baik pemerintah di Tanoh Gayo untuk memakmurkan warganya. Satu-satunya alasan kenapa Gayo tetap terpuruk adalah karena Aceh begitu bencinya pada Gayo.

Jadi kalau serinen mempertanyakan kecintaan orang Gayo yang menolakALA terhadap Gayo. Kami yang menolak ALA juga sebenarnya jauh lebih heran dan selalu bertanya-tanya, Cinta jenis macam apa sebenarnya yang dimiliki oleh para pegiat ALA seperti serinen yang tidak pernah tinggal di Gayo ini terhadap Gayo hingga hanya demi pepesan kosong bernama Provinsi ALA yang konsepnya sangat tidak jelas dan cenderung kekanak-kanakan itupun orang-orang seperti serinen bahkan tega menyeret orang Gayo kembali kedalam PERANG BODOH seperti yang selalu serinen sebutkan.

Serinen sudah menjelaskan sendiri alasan kenapa Gorontalo pisah dari Sulawesi Utara, ternyata memang ada perbedaan disitu, orang Gorontalo itu kebanyakan muslim. Sedangkan Aceh dan Gayo tidak. Kita sama-sama Muslim. Tidak ada perbedaan mendasar antara Aceh dengan Gayo seperti
perbedaan mendasar antara Jawa dan Gayo seperti dalam tulisan Hurgronje. ( Jawa = Feodal , Gayo = Republik).

Serinen melihat perbedaan antara Aceh dan Gayo ini sedemikian tajamnya tidak lain hanyalah dikarenakan serinen dan banyak orang Gayo yang hanya mengenal Aceh dari kata orang. Sebelum tinggal di Banda Aceh saya sendiri masuk dalam kategori Orang Gayo jenis ini. Orang Aceh dalam benak saya saat itu adalah orang yang sombong, pemberontak dan bengis. Tapi ketika saya bergaul sendiri dengan orang Aceh, menjelajahi banyak pelosok Aceh saya menemukan betapa miripnya orang
Aceh dengan orang Gayo.

Dulu sayapun berpikiran orang Aceh pasti anti Gayo, tapi ketika saya berinteraksi dengan lebih banyak orang Aceh saya tahu itu tidak benar. Ketika saya masuk ke berbagai perkampungan Aceh, termasuk sarang GAM di Kandang Lhokseumawe sana saya menemukan betapa ramahnya mereka, di
kampung-kampung Aceh itu rumah manapun bisa kita ketuk dan kita pasti disuguhi minum. Keramahan merekapun sama sekali tidak berubah ketika mereka tahu bahwa saya orang Gayo.

Untuk saya sendiri, pernah warga satu kampung di Aceh Besar, rela mempertaruhkan keselamatan mereka untuk melindungi saya yang Gayo ini. Kejadiannya pada tahun 1994 saat saya ditahan di penjara Kodim karena dituduh bersalah telah mendampingi warga Kuta Baro yang berdemo ke DPRD akibat lahan mereka diserobot PT Indonusa Indrapuri milik pengusaha Aceh bernama Ibrahim Risjad. Saat itu warga Kuta Baro yang 100% orang Aceh itu, mau berdiri berpanas-panas sepanjang hari di
bawah ancaman senjata menuntut saya yang orang Gayo ini dilepaskan dari tahanan Kodim.

Sejauh ini, asumsi-asumsi yang disampaikan oleh para pegiat ALA tentang orang Aceh tidak lain hanyalah asumsi yang hanya didapat dari 'kata orang' dan 'media', sementara para pegiat ALA sendiri tidak pernah benar-benar merasakan langsung denyut nadi kehidupan di desa-desa pelosok Aceh. Semua asumsi itu berdasarkan praduga.

Aceh begitu buruk dalam pandangan para pegiat ALA, tidak lain seperti yang saya katakan adalah akibat dari fakta bahwa para pegiat ALA rata-rata adalah para aktivis yang sama sekali tidak pernah
benar-benar berinteraksi dengan masyarakat Aceh. Pegiat ALA didominasi oleh orang-orang Gayo yang kuliah di Medan atau di pulau Jawa atau seperti serinen Kosasih yang bahkan sama sekali tidak pernah
tinggal di Aceh, yang hanya mengenal Aceh dari 'Media' dan 'kata orang'.

Latar belakang yang tidak terlalu mengenal Aceh ini misalnya bisa dilihat pada latar belakang tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dan dikenal sebagai pendukukung kuat ALA. Tokoh-tokoh itu seperti Cik
Sukur Kobat dan Cik Tagore yang saya kenal baik sebagai pioneer pembentuk Ikatan Mahasiswa Gayo, IMAGA di Medan. Begitu juga sahabat aya Zulfan Diara yang juga adalah tokoh penting dalam sejarah Imaga.

Bukan kebetulan kalau aktivis mahasiswa Gayo yang dulu berdemo diluar hotel garuda saat terjadi pembicaraan tentang pembentukan provinsi ALA rata-rata adalah mahasiswa Gayo yang kuliah di Banda Aceh. Mereka berdemo karena mereka tahu persis bahwa Aceh tidaklah seburuk yang digambarkan oleh para pegiat ALA.

Serinen, kalau memang diskriminasi yang dilakukan orang Aceh terhadap Gayo sedemikian parahnya seperti digambarkan oleh serinen Kosasih. Maka seharusnya kamilah aktivis-aktivis Gayo yang kuliah di Banda Aceh yang paling bersemangat meng goalkan ALA. Logikanya, kalau memang sikap orang Aceh terhadap Gayo sedemikian buruknya. Bukankah orang seperti saya yang sehari-hari bergaul dengan orang Aceh yang paling merasakannya dan seharusnya paling benci pada orang Aceh dan paling
menginginkan Gayo pisah dari Aceh?

Tapi faktanya kan tidak demikian, justru orang Gayo seperti saya dan beberapa teman aktivis Gayo yang pernah lama tinggal di Aceh dan benar-benar mengenal adat dan budaya Aceh, yang benar-benar tahu
seperti apa orang Aceh yang justru merasa terpanggil untuk menolak ALA.

Serinen Kosasih, dalam hidup saya, takdir membuat saya tinggal di banyak tempat. Selain di Gayo, saya pernah tinggal di Banda Aceh, Medan, Bangkok, Bandung, Bali dan Jakarta. Dari kesemua tempat yang
pernah saya tinggali itu, hanya Bali dan Banda Aceh yang membuat saya selalu ingin kembali. Bali membuat saya rindu dengan kebebasan dan keindahan yang ditawarkannya, sedangkan Banda Aceh membuat saya rindu kepada orang-orangnya. Di Banda Aceh saya memiliki banyak teman orang
Aceh yang telah menganggap saya seperti saudara sedarah. Di Banda Aceh saya memiliki banyak kerabat Aceh yang sama sekali tidak memiliki pertalian darah dengan saya tapi mau melindungi saya dengan taruhan nyawa.

Karena itu serinen, kalau sekarang serinen merasa bahwa kesimpulan serinen tentang orang Aceh itu adalah satu-satunya kesimpulan yang benar, meskipun kesimpulan itu seperti serinen akui, serinen dapat hanya berdasarkan 'kata orang' dan 'media'. Maka sekarang saya sarankan tambahlah referensi serinen. Supaya kesimpulan serinen ini tidak menjadi fitnah, cobalah sekali-sekali pulang.

Karena kata serinen, sekarang kehidupan serinen sekarang lumayan dan sayapun sama. Cuma bedanya untuk bisa seperti sekarang saya sama sekali tidak pernah mendapat bantuan secara langsung dari orang Aceh Pesisir yang mantan tanduk GAM. Jadi karena kita sudah berpenghasilan lumayan, marilah kita sisihkan sedikit penghasilan kita. Saya mengajak serinen pulang untuk menyaksikan sendiri seperti apa kondisi di daerah kita. Nanti serinen bisa saya ajak mengunjungi desa-desa di Aceh dan merasakan sendiri kalau Orang Aceh tidaklah seburuk yang serinen gambarkan.

Saya mengajukan ajakan ini karena saya melihat ada kesamaan serinen dengan saya, seperti juga saya, serinen pun hanya ingin rakyat Gayo maju. Karena kecintaan saya yang besar terhadap Gayo inilah saya tidak ingin orang Gayo mengalami kembali situasi sulit dan mencekam seperti yang saya alami di masa konflik dulu. Itulah sebabnya saya dan teman-teman membentuk forum ini. Ajakan ini penting saya sampaikan pada serinen Kosasih, karena selama ini saya lihat serinen begitu tulus memperjuangkan sesuatu yang sangat sensitif dan sangat berpotensi menyeret kembali Gayo yang serinenku cintai ke dalam konflik yang berkepanjangan yang akan menyengsarakan orang Gayo, konflik yang sebenarnya sangat bisa kita hindari.

Sama seperti serinen yang tidak menginginkan jabatan di Pemerintah atau sebagai anggota legislative dalam sebuah Partai, sayapun demikian. Memang sejak maraknya pencalegan ini banyak partai yang
mencoba mendekati saya karena kebetulan para pengurus partai-partai itu adalah teman-teman saya dan merekapun mengenal saya dengan baik. Tapi dengan sangat menyesal permintaan teman-teman itu terpaksa saya tolak. Alasan saya, kalau saya bergabung ke salah satu partai, tidak bisa tidak, suara saya akan diasosiakan sebagai suara partai tempat saya bergabung. Padahal saya berniat menjadikan forum ini sebagai forum yang bebas dan tidak partisan. Untungnya sekarang Pengajuan nama Caleg sudah ditutup jadi tidak perlu lagi tidak enak-tidak enakan.

Meskipun sama-sama ingin memberikan yang terbaik bagi Gayo dan bertujuan menyelesaikan persoalan-persoalan antara Aceh dan Gayo. Tapi ke depannya, forum saya ini akan terlihat sangat berbeda dengan KP3ALA. Jika KP3ALA dalam menyelesaikan persoalan-persoalan antara Aceh-Gayo mengutamakan pendekatan Konfrontasi, maka forum ini mengedepanan dialog, baik dengan pemerintah Aceh sendiri maupun dengan elemen-elemen masyarakat Aceh lainnya.

Ide awal kenapa forum ini saya bentuk adalah karena saya melihat sebenarnya soal ALA ini, sangat bisa didialogkan. Masalahnya KP3ALA yang saat ini bersuara paling kencang mengatas namakan Gayo saya lihat tampaknya sangat bermasalah dalam kemampuan melakukan dialog dengan orang yang berbeda pandangan. Dengan orang gayo yang berbeda pandangan saja KP3ALA tidak memiliki kemampuan untuk melakukan dialog apalagi dengan orang Aceh.

Kalau KP3ALA tidak mampu berdialog dengan orang Aceh itu sangat saya pahami, itu terjadi karena KP3ALA sejauh ini tampaknya menilai orang Aceh adalah sekumpulan manusia keras kepala yang tidak bisa diajak berdialog. Seperti saya katakan di atas ini terjadi karena KP3ALA memang didominasi oleh aktivis-aktivis yang tidak pernah benar-benar mengengenal Aceh, rata-rata aktivis pegiat ALA hanya mengenal Aceh dari 'media' dan 'kata orang'. Padahal pengalaman saya mengatakan tidak demikian. Sebaliknya Orang Aceh yang saya kenal adalah orang-orang yang sangat menghargai sikap baik dan ketulusan. Karena itulah dengan adanya forum ini saya berniat untuk membantu permasalahan KP3ALA yang tidak memiliki kemampuan berdialog itu.

Cuma yang saya tidak mengerti adalah kenyataan bahwa KP3ALA juga sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk berdialog dengan orang Gayo yang tidak sepandangan dengan mereka. Menghadapi perbedaan pandangan tentang ALA, sampai hari ini alih-laih menerima ajakan dialog, KP3ALA hanya bisa memberi ancaman serta melabeli orang-orang yang berseberangan dengan mereka dengan bermacam cap yang buruk, entah itu pegeson lah, pengkhianat Gayo lah, tidak cinta Gayo lah dan lain sebagainya. Bahkan kabarnya Cik Tagore dalam sebuah fotum di Berastagi pernah mengeluarkan ucapan Halal Darahnya, Orang Gayo yang tidak setuju ALA. Melihat fakta ini saya jadi curiga, jangan-jangan KP3ALA
memang sama sekali tidak memiliki kemampuan berdialog dengan siapapun yang berbeda pandangan dengan mereka.

Selama ini banyak teman-teman Gayo yang berpikiran seperti saya, sayangnya mereka tidak terorganisir dan banyak juga teman-teman di Takengen yang tidak setuju dengan ALA yang mengkhawatirkan keselamatan keluarga atau jabatan mereka kalau mereka secara terbuka menyatakan ketidak setujuan mereka terhadap ALA. Dengan adanya forum ini teman-teman ini nantinya bisa berkumpul dan kita bisa mengumpulkan permasalahan yang kita hadapi. Hasil dari pengumpulan masalah-masalah itu tidak jauh berbeda dengan keluhan-keluhan serinen Kosasih danLembide. Bedanya untuk mencari penyelesaian keluhan-keluhan itu. Sekali lagi jika KP3ALA mengutamakan pendekatan konfrontasi, kami lebih mengedepankan dialog.

Kenapa dialog yang kami pilih?, itu karena banyak masalah yang serinen sampaikan itu terjadi akibat selama ini memang orang Aceh sendiri tidak terlalu banyak tahu mengenai Gayo. Karena itu saya pikir tugas kitalah untuk membuat saudara kita orang Aceh untuk lebih mengenal Gayo. Dan itu bisa terjadi melalui dialog.

Melalui jaringan yang saya punya, forum ini nanti akan saya jadikan jembatan untuk memperbanyak dialog antara Gayo, Aceh dan suku-suku lain. Forum kami ini nantinya akan banyak diisi oleh orang-orang Gayo yang punya semangat damai yang bukan hanya menuntut orang Aceh mengenal Gayo tapi juga mau berusaha mengenal orang Aceh.

Untuk maksud inilah pada pertengahan November ini saya akan pulang ke Aceh, maksud kepulangan saya adalah supaya saya sendiri bisa langsung terlibat dan merasakan apa yang sebenarnya terjadi, bukan hanya berdasar 'kata orang' dan 'media'. Soalnya bukan apa-apa, saya yang lama di media tahu kalau tidak semua media itu jujur meberitakan fakta apa adanya.

Seperti serinen katakan, sudah sekian tahun Irwandi menjadi Gubernur tapi belum ada sebuah kebijakan yang amat mendasar untuk orang Gayo, saya pikir itu terjadi karena memang tidak ada orang gayo yang
memberitahu Irwandi apa yang harus dia lakukan terhadap Gayo. Untuk itulah saya pulang, keberadaan saya di Aceh nanti akan saya manfaatkan untuk terjun langsung membangun komunikasi itu.

Soal ALA ini bukan soal pegeson, bukan soal munuruh ni behu, apalagi soal i kuduk dor...Ini adalah soal apakah layak kita mengorbankan kedamain yang sangat berharga ini hanya untuk memperjuangkan PEPESAN KOSONG?.

Soal ikuduk Dor ini justru seharusnya serinen katakan pada orang-orang di KP3ALA bukan pada kami. karena ALA belum berdiripun yang terlihat sudah Blangkon i arap.

Lalu soal Gayo yang selalu di belakang Aceh ini menurut pengamatan saya sebenarnya hanyalah mitos yang dikembangkan oleh orang-orang Gayo yang sama sekali tidak pernah mengenal orang Aceh dan berinteraksi langsung dengan Aceh. Karena menurut pengalaman saya selama di Aceh, fakta yang saya dapatkan Orang Aceh adalah suku yang sangat terbuka dan sangat bisa menerima perbedaan dan mau mengakui keunggulan orang lain. Mungkin ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa suku Aceh sendiri
memang bukan suku yang didasarkan pada kesamaan genetik. Aceh itu suku kosmopolitan. Teman-teman Aceh saya ada yang secara genetik sangat eropa, ada yang sangat Cina, ada yang sangat Arab dan sangat banyak yang sangat India, mereka semua mengaku suku Aceh meskipun asal-usul genetisnya sangat beragam.

Bukti dari Gayo yang selalu di belakang Aceh ini adalah mitos, adalah kenyataan pada tahun 1994, Ketua Senat Unsyiah yang dipilih oleh mayoritas orang Aceh adalah orang Gayo yang bernama Syaifuddin Manan. Tahun 1995 Ridwan orang Gayo asal Centong Blang Kejeren dipilih langsung oleh mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah sebagai ketua senat. Tahun 1996, saya sendiri diminta oleh teman-teman saya di Leuser untuk maju sebagi ketua, tapi saya menolak. Tahun 1998 saya sendiri berada di depan massa saya, mahasiswa Unsyiah yang mayoritas adalah teman-teman suku Aceh, memimpin demo penurunan Suharto tanpa ada mempermasalahkan suku saya apa padahal seluruh Teknik tahu saya orang
Gayo. Di milis ini banyak saksi peristiwa itu.

Jadi serinen, kami menolak ALA bukan karena ditakut-takuti, bukan karena pegeson kami menolak ALA. Kami menolak ALA adalah karena sejauh ini ALA sama sekali tidak menawarkan solusi kongkret apapun selain fantasi. Dan penolakan ini semuanya kami lakukan bukan hanya untuk esok hari, tapi untuk sepuluh dua puluh dan beberapa puluh tahun mendatang.

Yang kami lihat dari ide ALA yang sama sekali tidak terpola ini bukanlah kemakmuran, tapi kekacauan. Yang kami lihat satu dua tahun ke depan jika ALA berdiri akan terjadi perbeutan jabatan di antara
orang-orang yang merasa berjasa dalam perjuangan. Akan ada tuntutan pembagian proyek dari kelompok lain yang juga merasa berjasa. Akan ada kelompok lain yang menggalang massa karena tidak puas dengan pembagian jatah proyeknya. 4 tahun setelah ALA berdiri akan berkembang rasa
tidak senang di kalangan masyarakat Alas dan Singkil yang merasa dianak tirikan. Lalu berkembang tuntutan dari orang Alas supaya Gubernur ALA harus orang Alas, kalau Tidak ALAS akan membuat provinsi sendiri. Kami melihat beberapa tahun ke depan kalau ALA berdiri akan ada orang Singkil yang berdemo karena kecewa Singkil dipinggirkan dalam pembangunan ALA. Kalau ALA berdiri kami melihat akan ada sekelompok Kontraktor asal Uken atau Toa yang menggalang massa karena pemerintah Provinsi ALA hanya berpihak pada satu golongan yang dekat dengannya saja.

Serinenku Kosasih, itulah alasan kenapa kami merasa ALA sangat tidak layak diperjuangkan dengan taruhan darah bahkan nyawa. Seperti saran serinenku yang sepanjang hidupnya tidak pernah merasakan dinamika hidup di bumi Gayo. Yang hanya mengenal Gayo dan dinamikanya dari 'kata orang' dan kata 'media'.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare. blogspot. com

Jawaban Kosasih Bakar (2):

Alhamdulillah, setelah sekian lama menanti akhirnya saya bisa membaca tulisan Bang Win Wan Nur, saya sedikit kaget juga karena ketika saya print sebanyak 16 halaman, 84 alenia, 7291 kata, dan 647 baris dengan ukuran halaman A4, luar biasa. Bahkan sedikit agak lama saya menelaahnya dan mencernanya ditengah kesibukkan pekerjaan saya. Namun jujur pada awalnya saya juga sempat tertegun membacanya karena tulisan ini sedikit banyak telah menggugah dukungan saya terhadap ALA, pandangan saya terhadap konflik di Aceh, pertemanan dengan orang Aceh dan terlebih lagi dengan sosok ketokohan atau perjalanan hidup Bang Win Wan Nur itu sendiri yang ternyata lebih banyak diceritakan disini. Tapi, yang menarik saya merasakan hubungan batin saya dengan Bang Win Wan Nur semakin kuat saja, karena saya harus berpikir dan menggunakan hati saya untuk dapat membalas tulisan Bang Win Wan Nur yang menggunakan hatinya ini juga. Karena tujuan kita yang sama, untuk membangun rakyat Gayo. Semoga serinen kita semua dapat berpikir jernih untuk dialog ini. Terimakasih sebelumnya.
Tampaknya saya harus memberikan penjelasan terlebih dahulu tentang arti mengetahui Gayo dari ‘media’ dan ‘orang lain’, saya mengetahui Gayo dari media adalah jelas, namun sebenarnya kalau mau jujur apa yang diberikan media tentang Gayo itu adalah amat sedikit, terlebih lagi di level Koran lokal Serambi atau Waspada via internet, dalam media ini lebih sering kepada kepentingan Pemerintah Irwandy atau GAM saja saat ini. Sedangkan untuk sumber ‘dari orang’, memang saya juga seringkali melakukan wawancara dengan orang-orang Gayo atau pun dari orang Aceh sendiri bahkan dari GAM, memang saya tidak merasakan apa yang dirasakan oleh Win Wan Nur, tapi rasanya dengan seringnya saya ke Takengon, seringnya saya ke Banda Aceh, bahkan saya juga kemarin ke Tapak Tuan dan Meulaboh serta Abdya (nanti akan saya coba ceritakan). Ya, sudah sangat jelaslah dari dua sumber itu yang paling efektif bagi saya untuk mendapatkan informasi. Bedanya saya dengan Win Wan Nur adalah ia langsung mengalami pahit getirnya di masa DOM, sedangkan saya tidak, tapi saya sendiri ketika membaca tulisan ini seperti ikut merasakan penderitaan dari Bang Win Wan Nur masa DOM, bagaimana sulitnya sehingga keluarga ada yang dibunuh oleh GAM atau TNI, dsb…dsb.. Saya tidak ragukan untuk permasalahan itu.

Oh ya, untuk Yang Terhormat Bapak Tanduk GAM tersebut memang telah banyak menolong saya, saya juga mengetahui ia dikatakan sebagai tanduk GAM ketika melakukan kunjungan ke Banda Aceh tahun kemarin, dimana seringkali ia dibicarakan oleh orang-orang. Kembali ia tidak pernah mendoktrin saya, saya selalu diberikan kebebasan dalam berpikir. Ini sebenarnya biasa saja seperti juga Bang Win Wan Nur yang malah telah berhutang nyawa dengan orang Aceh Besar. Bang, dalam kehidupan ini semuanya bisa terjadi, kadang kita di atas, kadang kita ada di bawah, semuanya merupakan ujian dari Allah SWT.

Sebelum saya melanjutkan ke diskusi kita, ada hal yang menggelitik saya tentang komentar Bang Win Wan Nur mengenai penggiat ALA. Saya hanya bisa katakan, Bang, tidak semua dari mereka itu hanya tahu dari ‘media’ dan ‘kata orang’, apakah Tagore CS (Syukur Kobat) tahu hanya dari sumber itu saja, saya rasa dibandingkan Bang Win Wan Nur, dia lebih mengerti kondisi Gayo, dia lahir di Gayo, besar di Gayo, sekolah di luar Gayo, tapi akhirnya kembali dan berkiprah di Gayo dengan segala keterbatasannya, situasi dan kondisi yang memaksa dia mengambil keputusan-keputusan. Sedangkan kita, ‘maaf’ kiprah kita kepada Gayo masih saya anggap kurang, berapa lama kita ada di Gayo dan membangun Gayo ? Bandingkan dengan mereka yang selalu ada dan membela orang Gayo. Maaf, kita harus belajar mengakui apa yang telah mereka lakukan dibandingkan dengan kita, dengan segala keterbatasan mereka. Seringkali saya membaca dalam mailing list ucapan-ucapan yang menghina para tokoh-tokoh kita di Gayo sana, ntah itu Syukur Kobat, Tagore, bahkan sampai Ali Kasim yang baru saja meninggal dicerca hanya karena mereka mendukung ALA, seperti inikah mental orang Gayo ? Padahal ketika mereka kita hina, Ali Kasim disholati oleh banyak orang, penuh mesjid yang menyolatinya, Tagore terpilih oleh rakyat menjadi Bupati Bener Meriah dan begitu banyak yang loyal kepada dia, Syukur Kobat tetap menjadi legislative terpilih oleh rakyat. Namun, kita yang menghina ini sepertinya tidak memberikan sumbangsih apapun selain menjelekkan mereka dan mencari sedikit kesalahan mereka untuk kemudian di blow up. Apa yang sudah diberikan Kosasih Bakar kepada rakyat Gayo ? Sedikit sekali. Apa yang telah diberikan Bang Win Wan Nur kepada rakyat Gayo ? ntahlah, saya belum melihatnya.

Saya hanya ingin mengajak kepada teman-teman semua agar kita ubah pola-pola ini. Menurut saya hal yang terpenting sekarang adalah membuat sebuah system yang bisa mengawasi, terlebih lagi saya selama ini jarang melihat LSM-LSM di daerah tengah Aceh yang mampu berjuang dengan kesungguhan hati, kebanyakan dari mereka ketika mendapatkan uang akan diam seribu bahasa. Kita sadar bahwa memang Pemerintah mereka belum sempurna karena tidak ada pengawasan, mari kita ubah, dan berikan pengertian kepada mereka bahwa generasi penerus mereka siap melakukan hal yang lebih baik ke depan, atau katakan kepada mereka sudah saatnya estafet itu diserahkan kepada kita secara baik-baik atau dengan paksa. Tapi rasanya di era demokrasi ini secara Pemilu dan Pilkada, bukan begitu Bang Win Wan Nur.

Sedangkan untuk permasalahan ‘Patuhilah Allah, Rasulullah dan Ulil Amrimu’ yang ada dalam Al Qur’an, yang saya herankan dari pernyataan Bang Win Wan Nur adalah mengatakan bahwa Presiden NKRI bukan ulil amri kita, lantas siapa ? Apakah Bupati ? Apakah Gubernur NAD, lantas siapa ulil amri Gubernur NAD ? Ya sudah tentu Presiden NKRI. Apabila sudah ada khilafah islamiyah di dunia ini tentunya ialah yang menjadi ulil amri kita, bukan begitu Bang.

Kemudian ketika dikatakan bahwa rakyat Gayo adalah Republikan, sedangkan orang Jawa adalah Feodal, kembali saya harus mempertanyakan hal yang satu ini dengan hati-hati. Kalau lah dikatakan orang Gayo itu Republikan sudah barang tentu GAM akan banyak berasal dari daerah ini, tapi kenyataannya tidak, bahkan daerah Gayo alas itu selalu dikenal dengan sebutan Daerah Putih, atau daerah nasionalis. Orang Jawa dikatakan feodal, ntah kenapa kembali saya pertanyakan hal ini, salahkah seseorang itu mengikuti rajanya ? atau yang dikatakan sebagai pemimpinnya ? Ketika Majapahit menguasai hampir seluruh wilayah nusantara apakah orang Jawa dikatakan feodal juga ? Atau orang Aceh malah mengatakan Penjajah Jawa. Ataukah apakah orang Gayo dikatakan Republikan jika mau tunduk di bawah NAD, ataukah ternyata orang Gayo itu lebih Republikan dengan mendirikan ALA. Bang, Bang Win Wan Nur telah ‘maaf’ kembali telah melecehkan orang Gayo, seharusnya jika Bang Win Wan Nur menganggap orang Gayo Republikan maka sudah seharusnya kita mendirikan Provinsi ALA yang seringkali dikatakan PEPESAN KOSONG itu. Saya lebih ingin mengatakan bahwa orang Gayo itu mungkin egaliter, dalam artian bebas dalam berbicara atau mengemukakan pendapat, dan ini yang sepertinya semakin lama semakin hilang di daerah yang kita cintai, o ya kati ku peren mari kite tar arap ken tos perubahen.

Sedikit saya tambahkan, sebenarnya orang Jawa itu suku yang mudah adaptasi dengan budaya setempat dan amat menghargai budaya setempat, asal budaya tersebut betul-betul diterapkan dengan baik. Bahkan sekarang ini yang tetap membuat NKRI bertahan lama adalah karena orang Jawa, maksudnya, transmigran sudah menyebar ke seluruh Indonesia, utamanya ke daerah ALA, jadi kalaupun diadakan referendum di ALA dan ABBAS maka untuk terjadinya ALA adalah amat besar, belum lagi dengan sudah banyaknya perkawinan silang yang saat ini terjadi. Saran saya janganlah diadudomba antara Jawa dan Gayo, karena rasanya hal ini adalah sia-sia saja, ketika Bang Win Wan Nur mengatakan hal sedemikian maka yang terjadi adalah Bang Win Wan Nur juga menyakiti masyarakat Gayo yang notabene banyak telah melakukan ikatan persaudaraan melalui perkawinan, belum lagi jumlah mereka yang cukup banyak. Sebentar saya akan bahas masalah ini berkenaan dengan strategi GAM mengadudomba orang Gayo dan Jawa.
Sebagai contoh adalah Lampung. Walau Provinsi tersebut hampir 60% adalah Jawa, namun ternyata dalam Pilkada yang dilakukan sepertinya aturan tidak tertulis bahwa jika ingin menang maka Gubernurnya berasal dari penduduk asli Lampung sendiri sedangkan untuk mengambil suara dari orang Jawa maka Wakil Gubernurnya dari suku Jawa. Mungkin yang dimaksud dengan Feodal oleh Bang Win Wan Nur adalah bahwa orang Jawa itu tidak suka menjadi pemberontak seperti halnya ‘maaf’ orang Aceh (bukan Gayo), sekali lagi maaf saya harus mengatakan demikian karena dengan alasan apapun memang GAM itu adalah pemberontak.

Terakhir, untuk permasalahan ini kembali saya ingatkan bahwa dalam Islam tidak membedakan siapapun dari suku manapun, ntah itu Jawa atau suku manapun, hanya ketaqwaanya, karena apa, yang membentuk manusia itu adalah lingkungannya. Sebagai contoh, Bang Win Wan Nur yang asli dari Gayo, lahir di Gayo, akan tetapi ternyata hidupnya besar di Banda Aceh, Bali, dan lain sebagainya, teman-temannya mungkin kebanyakan adalah yang memang ‘maaf’ membenci orang Jawa, sehingga ujung-ujungnya menganggap ALA itu adalah PEPESAN KOSONG. Atau seorang Kosasih Bakar secara genetik GAYO lahir, besar, sekolah, menikah di Jakarta, bekerja di Jakarta, tidak pernah berdialog langsung dengan orang Aceh Pesisir, tapi ternyata berhutang budi dengan Aceh Pesisir ternyata ia malah penggiat ALA, namun bila dilihat dari ini semua, maka mungkin cara pandang saya lebih rasional dan jernih. Uniknya lagi keduanya selalu mengatakan tidak bermaksud apa-apa selain memperjuangkan nasib orang Gayo. HIDUP ADALAH PERUBAHAN, JANGAN PERNAH TAKUT DENGAN PERUBAHAN, KARENA YANG KEKAL ITU ADALAH PERUBAHAN.

Permasalahan permusuhan tradisional sepertinya serinen terlalu ringan mengartikannya, mengartikan mentalitas Aceh sama dengan Gayo namun dalam keseharian lebih dekat dengan orang Jawa. Saya punya cerita yang menarik bahwa nama Aceh itu baru diketemukan dalam naskah kuno Suma Oriental, tahun 1520 oleh seorang Portugis Tome Pires, dunia internasional semuanya lebih mengenal ‘Kute Reje’ dalam bahasa Gayonya, yang artinya Kota Para Raja. Padahal kerajaan yang ada pada daerah Sumatera tersebut sudah dikenal dunia internasional sejak abad 14 atau mungkin lebih tua lagi. Hebatnya lagi nama Aceh itu pun sebenarnya tidak disebutkan Aceh seperti yang kita lafalkan sekarang akan tetapi dengan sengau. Ini dimungkinkan karena orang Portugis ada kesulitan dalam pengucapan huruf. Kemudian beberapa teman mencoba untuk memberikan alasan-alasan mengapa hal ini terjadi dikait-kaitkan dengan berbagai macam alasan kondidi Aceh pada saat itu. Pertama, Pidie sampai saat ini orang-orangnya tidak mau disebutkan ‘Aceh’ Pidie, padahal sepertinya asal mula orang Aceh ini berasal dari sini kebanyakan, Tamil, yang sekarang Sri Lanka (sampai sekarang masih terus dalam perang saudara, sama persis ketika Aceh belum damai). Kedua, jarang sekali diketemukan yang namanya anjing di Aceh, silahkan anda perhatikan sendiri. Ketiga, ternyata di zaman Kesultanan Iskandar Muda dan sebelumnya para pedagang di pesisir itu terkenal tipu dan liciknya, ini mungkin dalam budaya kita terkenal dengan ‘tipu Aceh’, sebutan ketidakbaikan dari Aceh pesisir yang selalu menipu, melanggar peraturan, tidak bisa diatur, dsb..dsb.., sebutan ini tidak saja terkenal di Nusantara tapi hampir di Luar Negeri. Uniknya, untuk mempertegas kebenarannya zaman Iskadar Muda sering kali Sultan tersebut mengeluarkan kebijakan-kebijakan cukup keras yang menekan para pedagang-pedagang. Akhirnya kami berkesimpulan bahwa kata Aceh itu berasal dari bahasa Gayo,’maaf’ sekali lagi ‘maaf’ yang dinamakan dalam bahasa Gayo ‘ASU’ atau anjing dalam bahasa Indonesianya. Mungkin inilah yang disebutkan oleh Bang Win Wan Nur tentang akibat perdagangan yang kerap dilakukan oleh orang Gayo dengan orang pesisir. Ucapan ‘ASU’ bagi orang Portugis ternyata tidak bisa dilafazkan oleh mereka dengan baik, sehingga ucapannya seperti mendengau ‘Ase’ akhirnya karena zaman terus berlanjut menjadi Aceh. Ini juga lah yang menyebabkan Pidie tidak mau disebutkan Aceh Pidie, begitu juga halnya dengan orang Gayo yang tidak mau dikatakan Aceh Gayo. Bahkan karena kebodohan inilah kita ketika harus pisah pun tetap menggunakan nama ‘Aceh’. Inilah yang dinamakan sampai kapanpun kebenaran itu akan terus terungkap, bahkan sejarah sekalipun akan membuktikannya secara perlahan, bahwa mereka telah menghina diri mereka sendiri. Sekali lagi saya bukan bermaksud menghina atau apapun namanya, saya hanya ingin mengajak semua tahun bahwa memang ada perbedaan antara Gayo dan Aceh, bahkan sesame Aceh seperti Pidie pun tidak mau disebut Aceh, mari kita cari lebih dalam lagi kebenarannya. Dan yang lebih penting lagi sepertinya sampai kapanpun Aceh tidak akan aman selama tidak “menghormati” kepada empunya, orang Gayo. Dan sekali lagi saya tegaskan bahwa interaksi antara Gayo dan Aceh itu sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, mohon bisa dimengerti ini Bang.

Ketika Win Wan Nur mengatakan merasa tidak setuju bahwa yang menghilangkan sejarah orang Gayo itu orang Aceh, saya merasa kecewa. Hal yang harus pertama kali diakui oleh orang Aceh adalah mengakui Iskandar Muda itu adalah orang Gayo, telusuri keturunannya, untuk kemudian diberikan penghargaan kepada mereka. Hal seperti ini saja masih tidak bisa dilakukan oleh orang Aceh, salahkah kami semua mengatakan orang Aceh menghilangkan sejarah orang Gayo. Akan tetapi orang Aceh dengan bangga mengatakan bahwa orang Aceh yang bergelar Teuku atau Cut itu merupakan keturunan Raja, Raja yang mana ? Raja yang memberontak kepada Raja Gayo. Cukup untuk yang satu ini. Terlebih menyedihkan lagi ketika Win Wan Nur menyalahkan Pemerintah NKRI atas hilangnya sejarah Gayo, padahal sampai saat ini yang banyak mencoba menuliskan sejarah-sejarah atau cerita-cerita Aceh adalah orang Aceh itu sendiri, bahkan yang lebih banyak menulisnya adalah orang-orang yang berasal dari Luar Negeri. Tapi serinenku semua tidak perlu kuatir karena banyak tulisan-tulisan tentang daerah pesisir Sumatera Bagian Utara yang seringkali di datangi oleh Portugis, China, Inggris yang ada catatan-catatannya, jadi biar bagaimanapun mereka menutupinya dunia internasional tidak akan bisa mereka tutupi. Saya hanya mencoba menggambarkan bahwa permusuhan tradisional itu sudah ada sejak zaman 14 M atau mungkin lebih lama lagi, yang lebih mudah dibuktikan ketika zaman Iskandar Muda, 16/17 M, salah satu Kesultanan di utara Sumatera yang diakui dunia internasional. Bang Win Wan Nur, saya berharap anda sebagai orang Gayo asli dapat mengerti ini, memang sudah zaman nenek muyang kita tidak suka dengan orang pesisir, bukan karena menginginkan harga murah, tapi lebih kepada tingkah mereka yang memang amat tidak disuka, kenapa kita harus ingkari ini. Seterusnya mereka tumbuh kembang dan melakukan pengkhianatan-pengkhianatan terhadap orang Gayo, bahkan dengan menggulingkan Kesultanan yang ada di Aceh. Maaf, saya hanya mencoba mengetuk hati serinenku karena saya tahu ia amat mencintai orang Gayo.

Kembali ke Aceh kini, untuk pahit getirnya ketika masa sulit di Aceh, saya hanya bisa katakan, ini salah siapa ? Jelas salah pemberontak GAM. Inilah karakteristik Aceh seperti halnya saudaranya di Tamil, Srilanka, tapi tidak untuk orang Gayo, karena jikalau orang Gayo itu ‘Republikan’ menurut Win Wan Nur, sudah barang tentu tidak ada Kesultanan Iskandar Muda atau Kerajaan Linge. Saya selalu katakan bahwa Hasan Tiro akan menanggung dosa yang amat besar diakhirat karena telah menghalalkan darah sesama muslim di NKRI, beliau langsung angkat senjata, tidak lagi melakukan dialog, siapa korbannya ? Jelas rakyat Aceh, Win Wan Nur sudah menjelaskan. Perbedaan antara Win Wan Nur dan Hasan Tiro adalah Win Wan Nur mencoba melakukan dialog antara suku asli dan pendatang, sedangkan Hasan Tiro mengobarkan perang antara saudara seiman.

Ketika Win Wan Nur menyalahkan Megawati atau Soeharto atau Ali Murtopo yang menyebabkan adanya DOM di Aceh, pertanyaan saya kembali, siapa yang salah ? Kenapa harus ada pemberontakkan di Aceh. Kenapa kita mau dipancing menuju pertikaian ini. Atau kenapa korban dari saudara kita Aceh Pesisir lebih banyak, tapi di Gayo relatif lebih sedikit. Kenapa daerah Gayo seringkali dikatakan sebagai daerah Putih, daerah nasionalis. Bang Win Wan Nur, sekali lagi mohon untuk dapat memikirkannya. Ibrahim Hasan yang meminta kepada Seharto agar diberikan status DOM kepada Aceh ini. Tapi apa yang dilakukan orang Gayo, mereka lebih mendekati TNI. Ketika saya tanyakan kepada orang Gayo, siapa yang memfasilitasi TNI ada di Takengon, Tagore CS (Syukur Kobat), sehingga mereka amat dibenci GAM waktu itu. Saya tanyakan lagi kenapa mereka mau ? Mereka menginginkan rasa aman, mereka bukan pemberontak, mereka bukan pembunuh saudara seiman kecuali mereka terancam keselamatannya. Saya Tanya kepada Bang Win Wan Nur, apakah mereka pengecut ? Tidak mereka tidak mau berperang dengan yang seiman, yang mengucapkan Laa Ilahaillallah, lain kalau melawan Portugis, Belanda, Jepang yang notabene Kafir.

Bang Win Wan Nur, silahkan catat perkataan saya ini untuk masa yang akan datang, ini datang dari hati saya sesama orang Gayo yang sama-sama berasal dari daerah asal, Ketol dan Isak. GAM (Pesisir sekaligus pendatang/melayu muda), GAYO (penduduk asli, melayu tua) dan NKRI (saudara seiman/lebih kepada melayu tua) adalah seperti lingkaran setan, tidak akan pernah hilang permasalahannya, walau abang mencoba untuk memutusnya. Jalan terbaik menurut hemat saya adalah dengan membagi Aceh menjadi 2, yaitu ALA dan NAD, atau 3 jika memang memungkinkan, dengan ABBAS. Mungkin Abang tidak percaya, tapi genetika kita selalu berpengaruh terhadap anak cucu kita, saya sudah berikan contoh antara Sunda dengan Jawa. Bahkan Jawa Barat sendiri kemudian ada daerah yang berpisah dengan sebutan Banten, yang sekaran APBD nya melebihi Jawa Barat. Sebagai informasi kepada Abang bahwa ide perpisahan itu sudah mulai ada sejak tahun 1959, ini juga dikarenakan perbedaan kerajaan antara Parahyangan dengan kerajaan yang ada di Banten. Begitu juga dengan Aceh dan Gayo, memang sama-sama Islam, tapi ada yang berbeda antara kita, secara bahasa kita sudah berbeda, budaya juga berbeda. Sekali lagi Bang Win Wan Nur, jika memang menginginkan Aceh yang damai, menginginkan kemajuan rakyat Aceh, ada baiknya kita serahkan semua kepada yang punya, kasarnya kita bagi-bagi kekuasaan. Ini bukan dendam, tapi jalan yang terbaik. Saya membayangkan bagian dari kekuasaan Kesultanan Iskandar Muda saling membangun tanpa ada lagi pertikaian-pertikaian yang terjadi, walau sebenarnya ini kerugian, karena kita melepaskan daerah yang seharusnya kita kuasai.

Saya mengerti Bang, sebagai orang asal, pada awalnya saya juga tidak setuju dengan ALA, bukan karena takut dengan GAM, tapi karena saya tahu bahwa Aceh itu punya orang Gayo, saya juga tahu kalau secara sejarah kita bisa kembali menguasai Aceh secara keseluruhan, mereka sudah merampas daerah kekuasaan kita dengan cara-cara yang tidak benar, darah Raja-raja Gayo itu masih mengalir di orang Gayo, sehingga rasa segan orang Aceh kepada orang Gayo tidak akan pernah bisa hilang sampai dengan kiamat nanti. Waktu itu, bagi saya NO ALA, tapi mari kita buktikan bahwa kita akan mengalahkan mereka seperti zaman muyang datu kita, kita melakukan perubahan-perubahan, utamanya melalui pendidikan.

Tapi kemudian saya berpikir teramat panjang, bila ini dilakukan maka kita membutuhkan waktu yang lama, belum lagi resistensi-resistensi yang harus dihadapi, saya terpaku dan hanya bisa mengatakan bahwa jika ini dilakukan orang Gayo masih belum mempunyai persatuan atau wadah yang kuat, karena ada sifat orang Gayo yang seperti Bang Win Wan Nur katakan, selalu berargumen, selalu tidak mau kalah, sebenarnya seperti apa yang kita lakukan sekarang ini hanya akan membuat orang Aceh tertawa, bahkan Belanda juga tertawa, seperti apa yang dilakukan Iwan Gayo membuat Irwandy tertawa. Irwandy mengatakan “Bung Iwan Gayo, anda berhasil memperlihatkan bahwa orang Gayo itu memang seperti itu, dan contohnya adalah anda,” atau ketika kita berdiskusi “Win Wan Nur teruskan perjuangan anda, buktikan bahwa orang Gayo itu tidak satu, mereka juga mudah dipecah belah,” sedih ya Bang. Ketika kita berdialog orang lain tertawa. Tapi tidak apa ini adalah proses pendewasaan bagaimana kita mencoba untuk berargumen sekaligus menuangkan pikiran dari orang-orang yang mencintai Gayo dengan persepsi berbeda. Maaf, saya hanya tidak suka kalau kita ditertawakan orang Aceh, kasarnya lebih baik saya berkelahi dengan abang sampai salah satu terbunuh tanpa diketahui oleh orang Aceh, mungkin ini pula yang menyebabkan KP3ALA seperti menggunakan kaca mata kuda, walau akhirnya skandal Iwan Gayo terjadi juga.

Kembali ke topik tadi, hal ini semakin membuat saya yakin bahwa apabila tidak dengan Provinsi ALA kita akan sulit dalam melakukan pembangunan di Gayo, karena sesungguhnya memang kita sudah agak tertinggal, jauh tertinggal dari Aceh Pesisir Timur yang selama ini sudah melahirkan tokoh-tokoh nasional, tapi tidak dengan Gayo. Bang Win Wan Nur, saya pernah menyisiri hampir seluruh wilayah NTT, dari daerah yang semiskin itu sudah lahir tokoh-tokoh nasional yang bisa dibanggakan, tapi mana orang Gayo ? Orang yang dahulu hampir menguasai Sumatera, Kesultanan yang amat dihormati oleh dunia internasional, kemana ? Untuk menjadi legislative perwakilan NAD saja sulitnya mita ampun.

Sebelum saya lupa, Bang Win Wan Nur tidak perlu takut dengan pertikaian antara Gayo dan Alas atau Singkil, karena sesungguhnya daerah-daerah tersebut masih ada darah Gayonya. Kalau abang percaya dengan Muyang Datu, tentunya abang tidak mengatakan hal tersebut. Mohon kepada Bang Win Wan Nur, demi Muyang Datu seluruh orang Gayo untuk mengerti hal ini. Saya sebenarnya bisa mengatakan salah satu upaya untuk melakukan percepatan dalam pemisahan dari Aceh adalah pemenuhan jumlah Kabupaten/kota yang ada pada provinsi baru tersebut, dan salahsatunya adalah Bener Meriah dan Gayo Lues, ini juga yang dilakukan oleh ABBAS, adanya provinsi baru banyak sekali seperti Abdya, Aceh Jaya, dsb..dsb.. Jadi sebagai orang Gayo yang selama ini tinggal di luar Gayo janganlah abang terlalu mempermasalahkan hal ini.

Baru bulan kemari saya baru saja pulang dari Meulaboh, Abdya dan Tapaktuan. Bahkan saya sempat melihat sosok Bupati Meulaboh dan Tapaktuan, walau saya tidak berbicara langsung dengan mereka semua. Ketikan kunjungan kami ke Meulaboh bertepatan dengan kedatangan Wali Nanggroe, Hasan Tiro, dalam pemikiran saya Wali akan disambut oleh ribuan orang seperti halnya yang selalu terjadi di Aceh Pesisir Timur, ternyata tidak di Meulaboh. Massa yang ada saat itu hanya berkisar 400 orang, itupun dengan mengerahkan anak-anak sekolah, itupun kebanyakan orang-orang dari atas gunung, info dari ‘kata orang’ yang ada di Melaboh. Lantas saya tanyakan lagi, kenapa bisa terjadi, padahal Wali kan sudah datang ke NAD. Yang mereka jawab cukup mencengangkan saya. “Kami semua orang yang di kota sudah tidak simpatik lagi dengan GAM, karena mereka telah menipu kami dahulu, uang kami dibawa lari untuk membeli senjata ke Luar Negeri,”ujar mereka. Bahkan ketika kami menanyakan kepada salah satu tokoh disitu mengatakan “Orang disini sudah tidak simpatik lagi, selain itu kami tidak ada tipe pemberontak disini. Kebanyakan yang mejadi GAM disini adalah limpahan dari pantai wilayah timur,”. Saya agak heran waktu itu, karena Bupatinya berasal dari GAM, terlebih lagi pelaksanaan kegiatan dilakukan di tengah kota yang cukup ramai. Begitu juga dengan halnya Tapak Tuan dan Abdya. Namun, mereka ternyata lebih dekat kepada orang Padang, suku Jamne. Bahasa dan makanan mereka ternyata berbau padang betul. Daerah inipun meminta untuk lepas dari NAD, menjadi ABBAS akibat ketidakadilan dn budaya tadi. Dan yang menarik lagi adalah ternyata dukungan dari rakyat cukup besar walau tidak terlalu terekspos seperti di bagian tengah Aceh.

Dari sini saya dapat memprediksikan bahwa Partai Aceh suaranya tidak akan menjadi mayoritas, walaupun sekarang mereka mencoba menyusup ke Partai Nasional untuk melakukan penggembosan, tapi rasanya tidak akan berhasil, juga karena mereka tidak menguasai dareah Barat Selatan dan Tengah. Yang ironis lagi, dalam berbagai pandangan saya adalah bahwa ketika Partai Aceh tidak menang, karena tidak menguasai perkotaan dan daerah Tengah dan Selatan, serta semakin turunnya popularitas Irwandy dan Nazar, semakin terbelahnya GAM, habisnya dana BRR pada tahun 2009, semakin tidak popularnya KPA, maka yang kemudian terjadi adalah ketidakamanan, kenapa saya katakan demikian. Karena sekarang ini sebagian besar anggota GAM tidak berpendidikan dan tidak mempunyai keterampilan, yang dikuatirkan dari mereka adalah kembali memberontak, bahkan sekarang sudah ada salah satu sayap GAM yang tidak menyetujui MoU Helsinky. Bila ini terjadi, maka yang kasihan adalah GAM, pembersihan atau sering saya sebut dengan tsunami khusus anggota GAM dengan penebasan habis oleh TNI. Saya hanya ingin katakan bahwa perdamaian yang abang banggakan itu masih sangat semu, dan saya mencoba memandang dari sisi lain, bahwa dengan adanya ALA maka perdamaian akan terjadi, tidak akan ada lagi pemberontakkan, ini yang pertama kali harus kita sadar betul sebagai orang Gayo, yang sering abang katakan sebagai korban tidak langsung PERANG BODOH ini.

Saya baru saja mendapatkan cerita , dari ‘kata orang’ di tengah Aceh sana, bahwan kemarin baru saja saja datang orang-orang Banda Aceh untuk melakukan pendekatan terhadap Mukim dan Gecik di Bener Meriah, mereka semua dikumpulkan, para Gecik dan Mukim itu terlihat membuat merah padam muka perwakilan dari Banda Aceh karena ternyata para Gecik itu memaki ketidakadilan pemerintahan Banda Aceh sekarang ini. Saya juga saat ini dari ‘kata orang’ yang berada disana bahwa penggiat ALA sepertinya sedang mempersiapkan diri mereka untuk mengikuti Pemilu, yang agenda utamanya adalah menggalang kekuatan untuk Partai Nasional dan menggembosi Partai Lokal yang merupakan kaki tangan GAM, utamanya Partai Aceh, bahkan dari ‘kata orang’ ketika seorang tokoh sekaliber seperti Iwan Gayo yang sudah kembali kesana untuk mensosialisasikan Partai Aceh hanya dapat melihat para pemuda atau tokoh Gayo satu per satu meninggalkannya ketika sampai pada urusan yang satu ini. ‘Kata orang’ juga. Bahwa ternyata semakin lama rakyat Gayo semaikin ingin percepatan pelepasan diri dari NAD, karena menurut mereka masa transisi ini lebih berbahaya dibandingkan nanti sudah lepas dari NAD, mereka rupanya hanya menginginkan perdamaian yang abadi rupanya.

Jadi saya agak heran juga dengan mereka aktifis yang ada di Banda Aceh yang tidak mendukung ALA, ‘maaf’ apakah mereka sudah memang dicuci otaknya atau apakah mereka takut karena diancam atau karena mereka mendapatkan beasiswa dari NAD atau karena mereka memang pegeson. Kalau saya berpikirnya hanya mudah saja, mungkin karena lingkungan mereka yang benar-benar Aceh tersebut yang membuat mereka seperti itu. Padahal saya seringkali ‘ngobrol’ dengan orang Aceh sendiri bahwa mereka tidak peduli dengan pemecahan NAD menjadi 3, dengan adanya ALA dan ABBAS, bagi orang Aceh itu yang penting keamanan. Mereka mengatakan tidak takut kekurangan apapun, Banda Aceh sekarang bagi mereka akan menjadi Kota Wisata Islami, Pelabuhan Internasional seperti halnya SIngapura, belum lagi hasil laut yang optimal diolah dan perkebunan. Sedangkan ABBAS mengatakan mereka kaya akan tambang, perkebunan juga hasil laut akan tetapi sekali lagi karena GAM semuanya menjadi terbengkalai. Terlebih lagi ALA sudah barang tentu sudah siap lagi dengan semua hasil tambang yang sama sekali masih belum tersentuh, perkebunan dan wisatanya. Bagi mereka percepatan pembangunan lebih utama, karena saya sering ke Banda Aceh saya bisa tahu ini, saya juga sudah pernah ke Jantho. Pernah suatu waktu saya ditunjuki satu kampung tempat pelatihan GAM, bahkan teman saya orang Aceh itu malah berujar “Seharusnya kalau TNI mau, itu kampung sudah dibumihanguskan melalui udara,”. Terlebih lagi untuk tengah Aceh, rasanya saya sudah pernah kunjungi semua, yang terlihat adalah ketimpanngan pembangunan antara pesisir Timur dengan Tengah dan Barat Selatan, ini adalah kenyataan yang tidak bisa sipungkiri Bang Win Wan Nur.

Lantas, setelah tsunami terjadi pembangunan yang luar biasa disana sini, ternyata kesemuanya merupakan bantuan dari NGO-NGO dan BRR, terlebih lagi di Meulaboh dan Banda Aceh, jadi bukan karena Irwandy sebagai Gubernur. Malah teman-teman saya orang Aceh menderita betul karena sekarang KPA sudah formal melakukan pajak nanggroenya, para Panglima seolah-olah melebihi legislative yang langsung dipilih rakyat Aceh.
Mungkin teman mahasiswa dan praktisi itu mempunyai perbedaan, karena mahasiswa hanya bermain pada tatanan konsep sedangkan praktisi atau rakyat merasakan sendiri kepedihan-kepedihan akibat dari KPA atau GAM sekarang ini.

Tahun 1998 saya juga terjun ke jalan untuk menurunkan Soeharto, seolah-olah saya sudah paling tahu permasalahan bangsa ini. Segala sumpah serapah, cacian, makian, dukungan diberikan asal Soeharto jatuh. Namun, jauh panggang dari api, ternyata sampai saat ini KKN tetap berjalan, namun di Pusat mungkin agak sedikit lebih ketat karena sekarang ini sudah banyak koruptor yang ditangkap. Tapi bagaimana dengan NAD ? KPA masih bisa seenaknya, BRR masih tidak jelas, apakah ini semua karena alasan MoU Helsinky atau karena masih rentannya perdamaian seperti yang sering dijadikan alasan oleh Win Wan Nur. Apakah dengan alasan perdamaian lantas kita bisa membiarkan ketimpangan terjadi ? Apakah ini idealism seorang Win Wan Nur yang menceritakan dirinya sediri tentang sepak terjangnya di kemahasiswaan. Seorang Win Wan Nur yang mengaku sebagai satu-satunya cucu Tengku Ashaluddin yang menginginkan Islam kaffah di Gayo (‘maaf’ saya membaca ketika mengklik google tentang nama anda). Seseorang yang mempunyai nama begitu indah dalam bahasa Gayonya Win yang selalu dalam cahaya, cahaya Allah tentu maksud kakek dari Bang Win Wan Nur, bukan gemerlap dan cahaya harta duniawi yang semu, mudah-mudah Bang Win Wan Nur tidak seperti Hasan Tiro yang berbeda dari Kakeknya, lebih kepada menghalalkan tumpahnya darah yang seiman, sedangkan Kakeknya adalah tokoh Aceh yang amat dikagumi baik agamanya yang tidak akan mungkin menghalalkan tumpahnya darah sesame muslim. Saya yakin itu karena Win Wan Nur adalah seorang Gayo tulen yang berasal dari daerah asal.

Saya sangat tertarik dengan tulisan Bang Win Wan Nur yang mengatakan Dendam yang harus diputus. Saya setuju itu, dengan membangun saling pengertian. Rasanya masayarakat Aceh di ABBAS sudah mengerti itu Bang, masyarakat di ALA juga sudah mengerti itu, rasanya sebelum Bang Win Wan Nur melakukan itu mereka telah berupaya untuk mencoba mengerti dendam ini. Dengan apa, dengan ALA dan ABBAS. Sudah cukup lama rakyat Aceh mencoba mengerti kemauan dari GAM, saudara mereka. Sudah cukup lama rakyat Aceh memberikan pajak nanggroe. Sudah cukup lama ketidakamanan yang dirasakan rakyat Aceh. Dengan ALA dan ABBAS sepertinya semuanya bisa dilakukan, karena rakyat Aceh sudah merasa duduk sama tinggi dan sama rendah, rakyat Aceh sudah bisa mengangkat harkat mereka masing-masing. Tidakkah Bang Win Wan Nur merasakan bahwa selama ini GAM terlalu percaya diri dengan mengatakan bahwa mereka paling berjasa dengan perdamaian di Aceh. Laknatullah, seharusnya mereka malu, karena mereka semua Aceh menjadi tidak aman, karena mereka semua ada perang. Seharusnya Bang Win Wan Nur hidup di zamannya Hasan Tiro dan mengatakan “Bung Hasan Tiro, anda harus berpikir ke depan, dengan anda memulai perang ini akan dampaknya terhadap anak cucu kita, baiknya kita berdialog, mereka tetap seiman dengan kita, Indon”. Atau abang sekarang berkata kepada pimpinan GAM, Bapak Irwandy dan Nazar sebelum juga terlambat “Abang Hasan Tiro, sepertinya anggota GAM kita sulit untuk dapat diprediksikan, ada indikasi perpecahan tujuan, bahkan dikuatrikan akan malanggar tujuan perdamaian, pembagian NAD menjadi 3 wilayah adalah salah satu solusi untuk membangun damai Aceh, bukan mementingkan tujuan utama kita untuk merdeka, tapi mari kita dahulukan kepentingan rakyat Aceh”. Itu juga kalau Abang memang cinta perdamaian.

Bang Win Wan Nur, perdamaian baru akan tercipta kalau semua sudah duduk sama tinggi dan rendah, sudah saling menghormati. Tapi tidak sekarang ini, GAM merasa perdamaian berasal dari mereka, menjijikkan Bang. Abang harusnya mengkritisi MoU Helsinky, adakah dukungan kepada rakyat Aceh, tidak semua untuk kepentingan GAM. Mereka tidak pernah sadar bahwa mereka telah melukai rakyat Aceh, tidak, mereka hanya tau mereka yang terlukai. Sudah berpuluh tahun Bang.

Beralih ke scenario, terjadinya perang kembali di Gayo karena adanya ALA adalah sesuatu hal yang memungkinkan, dan saya tidak menutupinya Bang. Saya sudah katakan bahwa perang akan terjadi bukan dari orang Gayo, akan tetapi dari GAM, Nazar sudah mengatakan, Fauzan sudah mengatakan. Bahkan dengan alasan ini ada kemungkinan TNI akan menghabiskan GAM. Makanya bisa saya katakan jika saya berpikiran mudah, yang berperang nantinya adalah TNI dan GAM, sedangkan rakyat Gayo kembali dalam posisi korban perang. Namun kali ini kita sudah mempunyai tujuan yang jelas, mempertahankan Provinsi ALA, mempertahankan harkat orang Gayo, mempertahankan jalan tol menuju masayarakat ALA yang maju. Dan secara strategis saya mengatakan ini bukan PERANG BODOH, tapi PERANG PINTAR. Secara kekuatan GAM di daerah ini amat sedikit, sebagai contoh kejadian Atu Lintang suka tidak suka adalah aksi massa yang bisa dilihat keberanian orang Gayo melawan kesewenangan KPA. Perang akan lebih cepat berlalu, bahkan sepertinya tidak akan ada perang yang betul-betul, karena basis GAM memang betul-betul. Bukankah ini, korbannya lebih sedikit dibandingkan kembalinya terjadi pemberontakkan oleh GAM dikemudian hari. Korbannya adalah orang-orang yang saat ini sudah di data KPA untuk dapat dihabisi. Ini yang saya takutkan, karena KPA telah mendata anggotanya berdasarkan ‘maaf’ uang, sehingga tidak semuanya orang KPA adalah GAM, paling tidak mereka adalah simpatisan GAM. Mereka semua akan dihabisi. Jelas dengan ALA dan ABBAS tidak akan ada korban lagi dari siapapun, hanya tinggal bagaimana caranya kita sama-sama merelakan masing-masing wilayah untuk berdiri sendiri, tidak ada lagi curiga, tinggal bagaimana membangun.

Sedangkan untuk perpecahan yang kerap kali dikatakan oleh Bang Win Wan Nur, rasanya tidak akan menjadi seperti itu, ketika ALA yang sudah diperjuangkan itu telah keluar ini menandakan bahwa sudah ada persatuan pada daerah tersebut. Lagian untuk menjadi pemimpin sekarang sudah ada PILKADA, rasanya alasan ini kalau bisa kita hilangkan saja dalam diskusi kita. Karena Gayo ke depan akan lebih pluralis dengan inti keturunan Gayo. Aceh Tenggara merupakan perpaduan Gayo dan Padang, Aceh Tengah perpaduan Gayo dan Jawa serta Aceh, Singkil perpaduan Gayo dan Batak, dsb..dsb.. Tetap saja ada unsure Gayo pada diri mereka. Bang Win Wan Nur tidak usah kuatir sudah sejak berabad-abad lalu kita sudah melakukan perpaduan genetic, tapi nama Gayo tetap eksis.

KP3ALA, saya juga amat berharap dahulunya jika KP3ALA dapat secepatnya menggolkan provinsi baru ini, tapi ntah kenapa saya seringkali kecewa juga dengan Komite ini. Sebelum saya lanjutkan saya hanya menegaskan walau saya menurut Bang Win Wan Nur adalah pegiat ALA, namun saya bukan dari KP3ALA, malah saya sempat benci dengan yang namanya KP3ALA, ketika saya mendengar bahwa ada beberapa anggota KP3ALA yang menerima uang dari Gubernur Aceh sebelumnya untuk mencegah terjadi pemekaran wilayah di NAD. Karena kalau dipikir secara rasional seharusnya ALA ini sudah lama terbentuk dengan alasan keamanan. Tidak usah saya sebutkan orangnya, mereka juga mungkin terkena scenario dari GAM.

Ketika Iwan Gayo melakukan maneuver membawa hampir sebagian besar Kades ALA ke Jakarta untuk memperjuangkan ALA saya kembali memperhatikan sepak terjang mereka, kembali saya menjadi kecewa karena ternyata Iwan Gayo tiba-tiba membelot ke Irwandy hanya untuk menjadi Ketua Komite untuk daerah Aceh tertinggal, dengan alasan yang seperi kita berdua ributkan Bang, Bang Win Wan Nur mengutamakan dialog walau kami tidak tahu kemana akan dibawa dialog tersebut nantinya atau saya merasakan sudah cukup dialog bahwa ALA harus secepatnya dijadikan. Kembali ke Iwan Gayo, ternyata ironisnya lagi setiap aksi disana ternyata hanya dirancang oleh Iwan Gayo sendiri tanpa ada koordinasi dengan pengurus KP3ALA yang lainnya, termasuk dengan mengedepankan blankon dibandingkan dengan kerrawang Gayo. Saya tahu bahwa Iwan Gayo itu adalah seorang ahli komunikasi, sudah barang tentu ia sudah memikirkan efeknya ini, makanya ketika ia dipecat ada sedikit harapan saya dengan KP3ALA. Paling tidak sekarang semua orang tahun bahwa keinginan ALA itu berasal dari grass root bukan hanya segelintir orang Gayo saja yang selalu dikatakan haus kekuasaan (walau persepsi ini juga salah karena ada PILKADA).

Saya juga selalu katakan bedakan antara orang Gayo dan Aceh, sekali pengkhianat tetap akan menjadi pengkhianat, sebagai contoh anak Reje Linge yang tidak bisa disunat ia lari ke Karo dan selalu menjadi orang Karo, beda dengan Teuku Umar, yang ketika berkhianat dengan Belanda, karena memang seperti itulah orang Gayo. Oleh karena itu, saya amat menghargai Bang Win Wan Nur sudah jelas megatakan dipihak mana. Begitu juga dengan GAM mereka amat menakuti Panglima-panglima mereka dari Gayo, karena keloyalan mereka dan keberanian mereka, walau mereka sekarang sering kali dilupakan oleh pimpinan GAM, itu juga yang terjadi dengan Aman Dimot, sekali lagi inilah yang dinamakan perseteruan tradisonal itu tetap saja ada.
Bang Win Wan Nur, saya rasa konsep ALA sudah cukup jelas, bagaimana ALA memfokuskan daerahnya kepada perkebunan, menjadikan Singkil sebagai pelabuhan laut hasil perkebunan, mengelola bahan tambang yang ada, yang paling utama adalah perdamaian hakiki. Sebenarnya banyak konsep yang bisa digunakan untuk daerah yang berpotensi ini. Jika Bang Win Wan Nur perhatikan bahwa Gorontalo bisa semaju sekarang hanya karean satu, focus kepada Jagung, daerah tersebut juga mempunyai pelabuhan sendiri juga birokrasi yang bersih, belum lagi Banten. Jembrana selalu dikenal dengan pendidikan yang gratis sampai SMA dan juga birokrasi 1 pintu, seperti hanya Sragen selain birokrasi yang bersih juga penggunaan TI nya yang luar biasa oleh daerah tersebut. Bang, saya hanya bisa katakan mari kita rebut ALA, biar kita jadi pemimpinnya, semua orang bisa jadi pemimpin sekarang karean Pilkada, tapi mohon Bang Win Wan Nur agar merelakan terlebih dahulu kita lepas dari NAD, jadi dulu wadahnya bari kita berjuangn untuk dapat mengisinya. Tagore, Syukur Kobat, Zam-zam belum tentu jadi Gubernur Bang, jika memang Abang tulus tentu akan banyak yang mendukung Abang untuk memimpin negeri muyang datu kita. Saya yakin Bang Win Wan Nur pasti sedikit banyak kedepannya akan mempunyai ambisi kearah sana, dan itu adalah sah-sah saja. Terlebih lagi sebagai seorang mantan aktifis seperti Abang. Bahkan kalau Bang Win Wan Nur bisa meyakinkan saya atau yang lain untuk kemajuan orang Gayo, maka kami semua akan berdiri di belakang Bang Win Wan Nur atau siapa tahu kita bisa bersaing lagi atau bahkan banyak yang dari mailing list ini bersaing dengan kita, bukannya kita atau mereka berambisi tapi kadang jalan hidup kita kadang mengatakan lain. Yang terpenting tujuan saya dan Abang dan semuanya adalah untuk kemajuan rakyat Gayo.

Sedangkan untuk pola perjuangan ALA, saya juga mengetahui memang banyak kelemahan-kelamahan pada KP3ALA, tapi saya juga berpikir ada baiknya kita mendukung mereka, dengan alasan semuanya sebenarnya sudah mereka lakukan ditengah kekurangan mereka. Saya yakin sebagai seorang yang cinta dialog amat mengerti ini. Seorang dialog ini tentunya akan menghargai ketika KP3ALA sudah bisa ke DPR memperjuangkan ALA, berhasil meloby pihak-pihak DPR bahkan hampir semua fraksi sebenarnya sudah setuju dengan ALA, tinggal saja Gubernur NAD dan MoU Helsinky yang belum setuju, bahkan kabar terakhir mengatakan bahwa tinggal menunggu di tandatangani Presiden SBY. Yang pasti prediksi ke depan untuk calon Presiden kuat adalah Megawati (PDI-P, Partai yang jelas mendukung pemekaran) dan SBY (pada dasarnya beliau sudah setuju dengan pemekaran, bahkan beliau sudah pernah ke Takengon dan mengatakan bahwa daerah kita adalah Indonesia Mini). Mudah-mudaham semuanya sukses Bang Win Wan Nur. Walau menurut sumber saya mengatakan bahwa KP3ALA sekarang berharap pengesahan itu dilakukan sebelum Pemilu, kita lihat saja perjuangannya. Tapi saya yakin bahwa Bang Win Wan Nur mempunyai hati yang tulus untuk orang Gayo.

Terima kasih atas ajakan Bang Win Wan Nur untuk mengunjungi daerah-daerah tertinggal di NAD, kampung saya sendiri di Aceh Tengah masih dalam kondisi yang masih mengenaskan, saya juga sudah seringkali mengunjungi pelosok, seperti daerah NTT dari pegunungannya sampai dengan di pesisirnya, bahkan saya pernah masuk ke daerah tertinggal di Papua yang orang-orangnya masih memamakai koteka bahkan saya sudah juga mengunjungi salah satu kampung di pinggir sungai di Kalimantan, ke daerah Jenepentho yang terkenal dengan daerah Sulawesi yang penuh dengan batu tanahnya, atau mengujungi daerah Bengkulu dan Padang, dsb… dsb…, sepertinya hampir semua provinsi sudah pernah saya kunjungi, paling tidak saya mengetahui kondisi lokal disana, karena saya senang bertanya, terima kasih Bang, saya amat merasakan perbedaan sebuah perkotaan di Kabupaten di luar Jawa dibandingkan dengan sebuan Kecamatan di Jawa, saya juga amat menyadarinya. Bukan saja di Aceh tapi hampir seluruh pelosok negeri ini cukup tertinggal selain dengan ada juga daerah-daerahnya yang sudah mulai maju di Jawa maupun luar Jawa. Tapi tawaran ini sudah barang tentu tidak akan saya sia-siakan, jika ada kesempatan, waktu , uang dan umur Insya Allah saya akan bersama Abang mengunjungi dengan lebih dalam lagi daerah-daerah tertinggal di NAD

Terakhir, Bang Win Wan Nur, permohonan maaf saya karena masih beranggapan bahwa ALA layak diperjuangkan bagi orang Gayo. Alasan Bang Win Wan Nur saya rasakan masih belum kuat, dalam artian Bang Win Wan Nur terlalu mengangkat permasalahan keamanan, tapi Bang Win Wan Nur tidak pernah melihat dampaknya kedepan bagi orang Gayo. Menakutkan terjadinya perebutan kekuasaan yang menurut saya tidak bisa dibenarkan, bagi saya Bhineka Tunggal Ika, jika memang berbeda kenapa harus takut berbeda, saya rasa setiap pejuang Mei 1998 mengerti itu, Soeharto itu hanya pandai menyeragamkan tanpa pandai menghargai perbedaan yang ada. Pemekaran yang diharapkan dapat mempercepat masyarakat Aceh.

Saya hanya mencoba mengajak Bang Win Wan Nur dapat berpikir sejernih mungkin untuk orang Gayo, tidak takut dalam mengambil keputusan dan resiko yang harus diperjuangkan untuk kebaikan di masa yang akan datang bagi orang Gayo, bisa mengangkat harkat, martabat dan marwah orang Gayo, terlebih lagi untuk keamanan yang hakiki bukan hanya sesaat.
Hanya ini yang bisa saya tuliskan, mungkin tidak sebanyak tulisan Bang Win Wan Nur, saya tidak terlalu pandai menceritakan tentang diri saya sendiri. Saya hanya bisa balas sebanyak 12 halaman, 6310 kata, 468 baris dan 41 paragraph untuk ukuran A4.

Berijin
Kosasih Bakar
Anggota Asosiasi Korban GAM

Tidak ada komentar: