21 November 2008

Gayo Bukan Chauvisme (Dialog Dengan Win Wan Nur)

Ulasan Win Wan Nur:

Beberapa hari setelah kunjungan kami ke Borobudur, aku bersama klienku berkunjung ke Kraton Yogyakarta, dalam kunjungan ke keraton ini kami tidak bersama-sama dengan Pak Bekti. Di sini kami langsung
ditemani oleh Guide resmi Keraton yang berpakaian batik warna merah. Guide inilah yang menjelaskan setiap detail bangunan, pernak-pernik dan adat dalam keraton.

Dalam lingkungan keraton yang luasnya 1 kilometer persegi ini terdapat banyak sekali bangunan-bangunan dengan berbagai fungsi.

Di setiap bangunan dan halaman yang sangat bersih dalam lingkungan keraton ini aku melihat banyak sekali pekerja yang ternyata adalah para abdi dalem keraton. Mereka berpakaian biru dengan blangkon dan
sarung khas jawa. Mereka ada yang sekedar duduk khusuk seperti bersemedi, bersila langsung di atas pasir tanpa alas, ada yang menyapu halaman, membersihkan debu yang melekat di instrument musik dan perabotan milik keraton dan ada pula yang membaca buku-buku yang ditulis dalam huruf sanskerta dan bahasa jawa.

Pemandangan seperti ini jauh lebih menarik perhatianku daripada sekedar mendengarkan penjelasan guide tentang sejarah dan seluk-beluk keraton, bagiku Manusia adalah bagian paling menarik dari seluruh
alam semesta

Sebelumnya, aku sudah sering mendengar cerita tentang bagaimana taatnya para abdi dalem ini kepada sultan junjungan mereka. Tapi rasanya tentu berbeda kalau aku mendengarkan cerita itu langsung dari orangnya. Karena saat ini aku berada di keraton ini aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mengenallangsung manusia yang disebut Abdi Dalem ini. Aku ingin merasakan langsung emosi mereka merasakan sendiri bagaimana bentuk ketaatan mereka yang melegenda terhadap raja junjungan mereka.

Aku mendekati seorang Abdi Dalem yang sedang membersihkan debu di salah satu bangunan keraton, aku duduk di sampingnya dan mulai mengajaknya bercakap-cakap. Aku menanyakan nama dan bertanya
bagaimana ceritanya dia bisa menjadi seorang Abdi dalem di keraton ini. Namanya Pak Muchlosid, dia mengaku telah menjadi Abdi dalem di keraton ini sejak beberapa tahun yang lalu.

Pak Muchlosid bercerita kalau sekarang di Keraton ini sekarang ada peraturan yang mensyaratkan bahwa yang boleh melamar untuk menjadi Abdi Dalem harus yang berumur di bawah 40 tahun. Mendengar ini aku
merasa penasaran dan menanyakan jumlah gaji yang diterimanya. Ketika itu kutanyakan, Pak Muchlosid dengan bangga mengatakan kalau dia tidak digaji apa-apa. Dia bekerja sebagai Abdi Dalem murni karena Lillahi Ta'ala. Pekerjaan sebagai Abdi Dalem yang dia lakukan sejak pagi hingga sore ini adalah bentuk pengabdiannya yang tulus dan tanpa pamrih kepada Sultan junjungannya. Pak Muchlosid pun tampak begitu bangga akan pengambdiannya ini, karena menurutnya sebenarnya banyak sekali orang lain yang berminat menjadi Abdi Dalem tapi ditolak. Kata Pak Muchlosid, dalam keraton ini Abdi Dalemlah yang membutuhkan Keraton, bukan sebaliknya.

Ketika kutanyakan bagaimana caranya dia menghidupi keluarganya kalau seluruh waktu produktifnya dihabiskan dengan bekerja di Keraton ini, Pak Muchlosid menjawab kalau unytuk itu dia memelihara ayam yang
dikelola oleh istrinya. Urusan ekonomi keluarga itu sama sekali bukan urusannya. Aku benar-benar takjub mendengar penuturan Pak Muchlosid ini, lebih takjub lagi ketika aku mendengar pengakuan yang sama keluar dari mulut Abdi Dalem lain yang kuajak bicara.

Sehabis dari keraton, kami berjalan-jalan di pasar burung. Pasar ini sangat bersih, sangat berbeda dengan Pajak Petisah di Medan atau Pasar Ampera dekat rumahku di Jakarta . Ketika aku bertanya mengenai hal ini kepada beberapa pedagang yang berjualan di sana , kenapa pasar ini bisa sedemikian bersihnya. Mereka mengatakan, itu karena mereka tidak ingin pasar terlihat kotor jika tiba-tiba Sultan datang berkunjung kesana.

Begitu dahsyatnya pengaruh Sultan dalam kehidupan Orang Jogja, begitu besarnya rasa taat dan rasa hormat mereka kepada raja junjungan mereka. Bahkan Islam, agama yang katanya sangat egaliter dan memandang setiap manusia dengan derajat yang samapun tidak mampu mengikis 'mentalitas borobudur' dari dalam diri orang Jogja. Dengan mentalitas seperti ini tidak heranlah kalau makna Demokrasi bagi orang Jogja yang merupakan salah satu pusat dunia intelektual di Indonesia ini adalah meminta Sultan untuk menjadi penguasa seumur hidup.

Sehabis dari pasar burung, kami kembali ke hotel. Sore harinya kami melanjutkan perjalanan menuju Surabaya dengan menumpang kereta api.

Saat berada dalam gerbong kereta yang membawaku menuju Surabaya . Aku merenungkan apa yang kurasakan dan kualami selama di Jogja. Membayangkan Borobudur yang megah, membayangkan Pak Muchlosid dan
para Abdi Dalem lainnya yang memiliki kesetiaan tanpa batas terhadap rajanya.

Kemudian aku mencoba membayangkan apa jadinya jika ada orang yang berencana membangun Borobudur di Aceh. Sekuat apapun aku berusaha aku tidak berhasil membayangkannya. Aku teringat pada ucapan seorang
antropolog Belanda bernama Snouck itu, Belanda yang paling dibenci di Aceh ini mengatakan. Orang Gayo adalah 'True Republican'. Berdasarkan hasil penelitiannya, Hurgronje mengatakan berkebalikan denan Jawa,
Orang Gayo adalah orang-orang yang bebas dari rasa takut terhadap raja atau pemimpinnya. Tidak seperti orang Jawa yang selalu mengatakan 'Inggih' terhadap semua titah rajanya, Orang Gayo selalu berani dan tidak pernah merasa ada beban jika mengatakan hal-hal yang berbeda dengan pendapat pemimpinnya.

Masyarakat dengan karakter jenis ini sampai kapanpun tidak akan pernah mampu membangun karya seni seagung dan seindah Borobudur .

Aku merenung sebentar, lalu kuperhatikan wajah-wajah klien perancisku yang 3 hari belakangan ini terus bersamaku. Wajah-wajah dari orang-orang yang mematuhi apapun yang aku katakan dalam setiap aktivitas
yang mereka lakukan.

Kemudian aku mengingat kembali wajah-wajah mereka yang sangat antusias mendengarkan aku bercerita saat kami mengobrol di Meja makan, saat aku bercerita tentang hal-hal kecil. Tentang diriku, keluarga dan juga tentang putri kecilku yang sekarang tumbuh besar dalam kesadaran sebagai seorang warga dunia yang tidak mengenal batas-batas artifisial yang disebut negara.

Aku juga mengingat saat akupun mendengarkan cerita mereka tentang kampung dan keluarga mereka, tentang budaya minum anggur mereka, tentang keju Perancis yang jenisnya ratusan banyaknya. Seperti mereka
yang penuh antusias mendengarkan ceritaku akupun mendengarkan cerita mereka dengan antusiasme yang sama. Saat itu aku dapat merasakan dengan jelas betapa indahnya hidup seperti ini, hidup dalam perasaan setara, tidak ada rasa lebih rendah atau perasaan lebih tinggi sebagai sesama manusia.

Mengingat itu tiba-tiba aku merasa bersyukur, aku sadar Gayo dengan karakter khasnya memang tidak akan pernah bisa membangun karya seni berbentuk fisik yang nyata dan bisa diraba seindah dan seagung Borobudur yang kini menjadi kekagumanku dan juga dunia. Sebuah artefak yang menjadi bukti tingginya peradaban masyarakat yang membangunnya dulu.

Tapi kepadaku dan semua orang Gayo generasi sekarang, muyang datuku berhasil mewariskan karya seni lain yang tidak kalah indah dan agungnya dibandingkan Borobudur . Bedanya karya seni warisan muyang datuku ini hanya dapat dirasakan tapi tidak dapat dilihat dan diraba secara fisik. Karya seni Gayo yang indah dan agung itu adalah mentalitas Gayo yang oleh Hurgronje digambarkan sebagai mentalitas 'TRUE REPUBLICAN' yaitu perasaan setara dalam relasi antar sesama manusia.

Karya seni warisan muyang datuku ini adalah karya seni yang sama seperti yang bisa kita temukan dalam eindahan setiap relief peradaban modern di berbagai belahan dunia.

Inilah 'Borobudur Gayo' warisan muyang datuku yang paling berharga yang akan kujaga baik-baik dan akan kuwariskan kepada gayo-gayo keturunanku.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur. blogspot. com


Tanggapan Kosasih Bakar:

Pluralisme

Marilah bersama kita lihat bersama sebuah ayat Al Qur’an yang menceritakan tentang pluralisme dan kebersamaan. Seperti:

Ide tentang pluralisme dalam Al-Quran sudah disebutkan sejak penciptaan manusia. Tuhan sebagai Dzat yang transenden menciptakan manusia dari sepasang laki-laki dan perempuan, dan dari keduanya dijadikanlah manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa (QS 49:13)

Seandainya terjadi perselisihan antar sesama mukmin hendaklah dikembalikan kepada Al_Qur’an dan Assunah, karena keduanya adalah pegangan setiap mukmin. Rasulullah bersabda:”Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, kalian akan selamat jika berpegang teguh pada keduanya, yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah NabiNya”. (HR. Abu Dzar)

Jadi, adalah teramat jelas berdasarkan ayat-ayat itu bahwa sesungguhnya semua manusia dihadapan Allah SWT adalah sama, yang membedakannya adalah keimannya. Tidak ada seorang manusiapun yang tahu ketika lahir di dunia ini, apakah ia bersuku Aceh, bersuku Jawa, bersuku Gayo atau lainnya. Mereka juga tidak tahu apakah mereka akan berkulit putih atau hitam atau sawo matang, yang mereka tahu hanyalah menangis sebagai awal kehidupan mereka.

Bahkan semakin membuat saya terhenyak dan mengeluarkan air mata adalah ketika tahu bahwa Hasan Tiro dan penerusnya melalui Gerakan Aceh Mereka telah menghalalkan darah sesame muslim yang tumpah di bumi Indonesia, sebuah bumi dengan mayoritas terbesar penduduknya Islam, sebuah Negara yang kaya dan terdiri dari berbagai macam suku, sebuah Negara yang seringkali dikatakan sebagai Macan Asia Yang Tidur, Negara tersebut kini masih dalam kesulitan-kesulitan yang mendera karena berbagai ragam kesulitan-kesulitan baik KKN, separatism, Krisis Moneeter dan lain sebagainya.

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (Perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat:10)

Terbayang oleh saya ketika GAM berperang mengatakan “Allahu Akbar,” kemudian di sisi yang lain TNI yang notabene muslim juga mengatakan “Allahu Akbar,” merinding saya membayangkannya. Dalam perang semua bisa terjadi, jangan katakana kejahatan perang hanya dilakukan oleh TNI, kejahatan perang juga dilakukan oleh GAM. Seperti GAM menceritakan bahwa Rakyat Aceh diperkosa, dibunuh, dicincang oleh TNI, begitu juga sebagian rakyat Aceh mengatakan bahwa mereka juga diperkosa, dicincang, dibakar oleh GAM. Semua berlomba untuk mengabadikan setiap kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh masing-masing lawannya.

Kesalahan dari GAM adalah ketika ia membenci Suku Jawa, karena merasa NKRI itu diwakilkan oleh Jawa, padahal NKRI itu terdiri dari banyak suku bangsa. Mereka berupaya membangun nasionalisme rakyat Aceh tersebut melalui hal tersebut, kesalahan konsep ini berakibat fatal ketika ternyata rakyat Aceh sudah banyak yang berasal dari suku Jawa sejak zaman Iskandar Muda, bahkan pada zaman kemerdekaan. Sekaligus ini menafikkan salah satu sunnatullah bahwa manusia itu diciptakan oleh Allah berbagai ragam untuk saling mengenal.

Hal ini semakin menarik, dikala permusuhan tradisional antara Aceh dan Gayo mencuat, ketika sejarah memperlihatkan bahwa Aceh dan Gayo itu mempunyai bahasa yang amat berbeda, ketika Aceh dan Gayo mempunyai adat yang berbeda, sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa Gayo tidak mau dikatakan Aceh atau Aceh tidak mau dikatakan Gayo, atau ketika mereka saling memperolok dengan sebutan ‘Gayo Re’ dari orang Aceh atau ‘Aceh Pungo’ dari orang Gayo yang sudah demikian tertanam sejak zaman nenek muyangnya.

Ketika dipertanyakan siapa suku asli di Aceh, maka sudah jelas jawabannya adalah suku Gayo, akan tetapi ketika dipertanyakan sejauh mana kemurnian suku Gayo sekarang ini atau siapa yang benar-benar suku Gayo? Abad pertama yang menceritakan tentang Kerajaan Linge seringkali dikatakan sebuah generasi pertama dari suku Gayo. Namun, abad-abad berikutnya dan seterusnya sudah tentu generasi itu melakukan perkawinan silang, terlebih lagi dengan sifat orang Gayo yang labih menyukai untuk perkawinan angkap atau mengambil menantu dari luar daerahnya. Ini sangat memungkinkan, karena dalam suku Gayo tidak diperkenankan menikah dalam satu kampong dan hukumannya adalah di parak dahulu. Keterbukaan orang Gayo memang luar biasa. Setelah selama hampir 19 abad dengan banyaknya perkawinan maka yang akan menjadi pertanyaan adalah siapa suku Gayo itu ? Jawaban yang termudah adalah suku yang tetap menggunakan bahasa Gayo dan tetap mempertahankan adat Gayo untuk menjalani kehidupannya.

Aceh Lauser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABBAS) merupakan salah satu akibat dari konsep kemerdekaan GAM tersebut, sebuah konsep yang pragmatis. Selama ini hampir dalam setiap statemennya GAM mengatakan bahwa isu ALA dan ABBAS disebarkan oleh pihak-pihak NKRI tanpa pernah mau melihat kenyataan bahwa memang pada daerah tersebut sering terjadi ketidakadilan yang kerap kali diterima, banyak hal sebenarnya, sebagai contoh ketika masih zaman Orde Baru setiap pimpinan yang ditunjuk dari Pusat kebanyak orang-orang Aceh pada daerah Gayo, ini tentu menandakan bahwa usaha mereka menganggap orang Gayo itu lemah dan tidak mampu dalam mengelola daerahnya, atau dampak lainnya adalah ketika SDM yang ada di Gayo amat rendah, sampai sekarang masih bisa dihitung yang S2 atau S3 nya, belum pernah ada seorang Menteri dari Gayo, padahal sebenarnya ada beberapa tokoh dari Gayo yang jelas bisa menduduki jabatan ini, ini adalah akibat dari permusuhan tradisional antara Gayo dan Aceh seperti halnya yang terjadi antara suku Sunda dan Jawa sampai saat ini.

ALA dan ABBAS merupakan salah satu strategi untuk dapat mengamankan Aceh di masa yang akan datang, dengan ALA dan ABBAS maka konsep Aceh Merdeka akan hilang, adalah tidak memungkinkan Aceh Merdeka hanya sebanyak 30% dari wilayah Aceh sekarang. Kembali kembali kepada suku Jawa, ironisnya pada daerah ALA dan ABBAS sudah begitu banyak transmigran yang ada, bahkan telah melakukan perkawinan antar suku, sehingga ikatan batin dari kedua-dua suku tersebut sudah amat mengental.

Sesungguhnya ini juga yang ditakutkan bila GAM berhasil memerdekakan diri mereka dengan konsep 4 negara bagian, akan timbul peperangan sebelumnya antara suku Jawa dengan suku-suku lain yang ada, ini akan mengakibatkan ketidakamanan kembali, yang akan terjadi adalah peperangan antar etnik. Kemudian apa yang akan terjadi dengan anak-anak yang merupakan hasil dari perkawinan silang, haruskah mereka memilih kepada suku siapa, ama atau inenya ? Setelah ini selesai pertentangan antara Gayo dan Aceh juga tidak akan berhenti, karena sebagian orang Gayo sudah amat keras mengatakan Asal Linge Awal Serule, mereka adalah penguasa Aceh dahulunya. Ini akan terus berlanjut, kemudian akan timbul yang namanya Gayo Merdeka yang sudah barang tentu akan didukung oleh suku Jawa. Terbayang oleh saya sebuah peperangan yang tidak akan pernah habis dari bumi Aceh yang kita cintai karena Faham Chauvinisme (Kesukuan yang tinggi) dari suku Aceh. Yang akan terjadi adalah Geonesida (pemusnahan satu suku) Jawa, lantas kemudian Gayo.

Selain dengan perang, maka salah satu jalan untuk menghilangkan satu suku adalah dengan budayanya, seperti halnya Kute Reje diganti dengan Banda Aceh, ini adalah satu contoh bagaimana Aceh akan menghilangkan kembali sejarah Gayo. Bisa dibayangkan nama-nama yang diberikan pada daerah Aceh dahulunya sekarang sudah berganti, nama-nama yang didapat dari perjalanan Sengeda bersama Gajah Putih, seperti Biren, dsb. Inilah yang mereka lakukan, GAM akan menjadikan bahasa Aceh sebagai bahasa nasional bahkan mengganti semua sebutan-sebutan yang berbau Gayo, bila ini terjadi maka anak cucu kita tidak akan pernah mengenal Gayo lagi seperti halnya kita sekarang tidak betul-betul mengetahui Kerajaan Linge denagn sesungguhnya. Ada sebuah anekdot, ketika 50 tahun nanti sewaktu Aceh Merdeka dan tidak mampu menghilangkan Chauvinismenya maka anak-anak dari orang Gayo akan menanyakan kepada orangtuanya “Ama, Gayo itu apa sih,” (dalam bahasa Aceh), lalu ayahnya menjawab “Gayo itu adalah batu hitam yang dulu berasal dari daerah bernama atu lintang,”. Sungguh menyedihkan bukan. Apakah Tanah leluhur kita akan dijual dengan semudah itu, wahai serinenku yang mendukung GAM.

Belum cukupkah kita yang menguasai seluruh Aceh kini hanya tinggal di dataran tinggi, dan seringkali mereka takut kepada kita seperti halnya melihat orang yang tertinggal atau tidak berpendidikan, Penguasa Daerah Pesisir Utara Sumatera. Tidakkah kita pernah berpikir kenapa kita sampai terusir ke atas gunung, tidakkah kita berpikir ini semua karena kita memang seringkali perang oleh Aceh, kita selalu termakan oleh tipu Aceh. Serinenku, mari kita berpikir jauh sekali ke depan. Sudah kita hancur oleh Perang Bodoh ini, kemudian kita menjual tanah leluhur kita dengan harga murah dan dengan mengorbankan sejarah kita yang seringkali mereka korbankan.

Berijin.

Tidak ada komentar: